Share

Bab 2. Surat Wasiat

Penulis: Wijaya Kusuma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 20:54:11

“Tuan Besar! Astaga!” Aji, asisten Daniswara. Baru keluar dari ruang kerja, hendak menghampiri Tuannya. Namun yang ia dapatkan sesuatu yang mengejutkan baginya. 

Aji segera memanggil ambulan, membawa tuannya menuju ke rumah sakit keluarga mereka. 

Suara langkah kaki bergema di lorong rumah sakit. Bau obat-obatan menyengat, bercampur dengan aroma antiseptik dan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Di depan ruang IGD khusus yang tertutup rapat, suasana mencekam. 

Para perawat berlalu-lalang dengan cepat, membawa peralatan medis, sementara di balik kaca buram, tim dokter tampak sibuk menyelamatkan nyawa seorang pria lanjut usia yang baru saja mengalami serangan jantung mendadak.

Neina duduk di bangku tunggu, tangan gemetar memegang sebotol air mineral yang sudah tidak dingin lagi. Matanya nanar menatap ke depan, tapi pikirannya entah melayang ke mana. 

Di sebelahnya, Aji Prakoso, asisten pribadi pria yang berada di ruang IGD. Dengan jas hitam rapi dan wajah penuh kekhawatiran, berdiri mondar-mandir. Dengan ponsel yang terus digenggamnya, khawatir ada panggilan penting masuk dan ia bisa segera menerimanya. Pandangannya terus terpaku pada pintu ruang IGD.

Neina bingung dengan situasi yang terjadi pagi ini. Pikirannya kalut, bahkan ia tak terpikir untuk meminta izin kerja. Niat hati menyampaikan keputusan yang telah diambilnya. Justru malah berakhir dalam situasi yang begitu mengkhawatirkan. 

“Berapa lama lagi mereka akan keluar?” gumam Neina, suaranya hampir tak terdengar.

Aji menoleh, nafasnya berat. “Dokter bilang mereka masih mencoba menstabilkan kondisi Tuan Besar. Jantungnya berhenti berdetak beberapa menit sebelum berhasil dinyalakan kembali. Berarti Tuan Besar dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, Neina.”

Neina menggigit bibir bawahnya. Ia menyesal. Apa semua ini dirinyalah yang menjadi penyebab dari kondisi pria tua di dalam sana saat ini? Karena kehadirannya yang mungkin dianggap tidak pantas akan keputusan yang ia pertahankan, tapi karena tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Dan menunggu—dalam ketidakpastian—selalu menyiksa.

Neina berharap agar kondisi Pak Daniswara baik-baik saja, ia tidak dikejar oleh rasa bersalah nantinya. 

Suara langkah kaki tergesa mendekat. Dari arah lorong, seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam yang tampak mencolok di tengah ruang rumah sakit muncul dengan napas tersengal. Kecemasan tersirat jelas pada kedua matanya. Berlari segera mendekat pada Aji yang datang menyambut kehadirannya.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Keandra tak percaya.

“Saya juga tidak tahu, Tuan Muda. Kejadiannya begitu tiba-tiba,” ungkap Aji jujur sesuai yang terjadi pada tuannya. 

“Bagaimana kondisinya?” tanya Keandra lagi penuh rasa penasaran. 

“Dokter masih berusaha menangani di dalam.” 

Keandra mengusap kasar rambutnya yang sedikit acak, seolah ia berlari dari tempat parkir menuju ruang IGD. Matanya menyapu ruangan hingga akhirnya berhenti pada sosok Neina.

Keandra Dipta Sakti. Cucu satu-satunya Daniswara, sekaligus pria yang kini berdiri mematung menatap Neina seperti menatap teka-teki yang tak ingin ia pecahkan. Untuk apa wanita yang seharusnya ada di kantornya itu berada di sini?

“Kenapa dia ada di sini?” tanyanya pada Aji tanpa menyembunyikan nada curiga.

Aji yang sedari tadi memegang ponsel langsung mematikan layar dan menyelipkannya ke dalam saku jas. “Neina kebetulan ada di dekat lokasi saat kejadian. Dia yang bantu menghubungi ambulans, Tuan muda.” Aji tidak mungkin mengatakan jika Neina berada di rumah kakeknya saat kejadian. 

“Bantu?” Keandra menyipit. Pandangannya berpindah ke Neina, tajam seperti pisau siap menghujam. 

“Jadi kebetulan saja? Seperti yang terjadi di kantor? Seperti yang terjadi di rumah waktu itu?”

Neina berdiri. “Saya kebetulan lewat, sebab ada keperluan di sekitar lokasi. Saya tahu, pasti anda akan berpikir macam-macam pada saya. Tidak apa, jika begitu saya akan pergi,” jawab Neina atas tuduhan yang dilakukan oleh Keandra untuknya itu. 

“Tidak, jangan pergi,” potong Aji cepat. “Tuan Keandra, kita sedang tidak punya waktu untuk curiga tanpa alasan. Kakekmu sedang di ambang hidup dan mati.”

Suara itu menampar Kaendra dengan dingin. Sorot matanya tak terima dengan kabar yang Aji beri padanya, sebelum kembali melirik ke arah pintu ruang IGD. “Seberapa buruk keadaannya?”

Aji menarik napas panjang, lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku dalam jasnya. “Dokter akan menjelaskan, tapi aku rasa kamu perlu tahu sesuatu terlebih dulu.”

“Apa itu?”

Sebelum Aji sempat menjawab, pintu IGD terbuka. Seorang dokter berjas putih keluar, melepas masker bedahnya. Wajahnya lelah, matanya merah seperti menahan kantuk dan stres sekaligus.

“Bagaimana kondisinya?” tanya Keandra cepat ingin tahu keadaan kakeknya. 

Dokter mengangguk lemah. “Kami sudah melakukan semua prosedur. Kami berhasil menyalakan kembali detak jantungnya, tapi... fungsi jantungnya hanya tersisa lima persen. Kami menggunakan alat bantu untuk mempertahankan sirkulasi darah, tapi... saya harus jujur. Peluang beliau untuk bertahan sangat kecil.”

Ruangan tiba-tiba hening. Bahkan suara jarum jam di dinding pun terdengar nyaring. Neina membekap mulutnya, menahan isak penuh rasa bersalah. Ini semua karena dirinya. Sementara Keandra terdiam, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.

“Berapa lama waktu yang tersisa?” tanya Keandra akhirnya.

Dokter menunduk. “Tak bisa diprediksi. Bisa satu jam, bisa beberapa hari. Tapi—kami sarankan bersiap untuk kemungkinan terburuk.”

Ketika dokter itu kembali masuk ke ruang IGD, Aji menghela napas dan menatap Kaendra dengan sorot berbeda. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan satu bundel map berwarna coklat, rapi dan diikat tali. Ia menyerahkannya pada Keandra dengan tangan gemetar.

“Apa ini?” tanya Keandra, masih setengah limbung.

“Surat wasiat.”

Keandra mengerutkan kening. “Wasiat? Untuk apa sekarang?”

“Ini surat wasiat yang dibuat oleh tuan besar beberapa tahun lalu. Beliau mempersiapkan semua ini, berjaga-jaga jika sesuatu buruk terjadi padanya.”

Aji menatap Neina sejenak sebelum kembali menatap Keandra.

“Beliau ingin anda menikah dengan Neina.”

Keheningan kembali menyelimuti ruang tunggu. Kali ini lebih pekat, lebih tebal dari sebelumnya.

Keandra memandang Aji seolah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal. “Omong kosong apa itu?”

“Tuan Besar sangat memperhatikan masa depan perusahaan dan keluarga. Dalam salah satu percakapannya terakhir denganku, beliau menyampaikan keinginannya agar kamu menikah dengan Neina. Bukan hanya karena beliau menyayangi gadis ini... tapi karena beliau percaya, hanya Naina yang bisa menyeimbangkan emosimu. Beliau juga ingin segera memiliki cicit untuk keberlangsungan keluarga yang tidak dimiliki.”

Keandra menggeleng cepat. “Ini gila. Kau tahu ini gila, Aji.”

Keandra membuka surat itu dengan tatapan dingin. Setiap kata yang ia baca terasa seperti palu yang menghantam dadanya satu per satu.

Neina sendiri tampak bingung dengan situasi yang semakin rumit. Bahkan untuk membela diri, ia kini terjepit.

Keandra menatap tajam ke arah Neina. Semakin menghujam penuh kebencian akan sosok wanita yang tak pernah sudi untuknya hanya sekedar menatap. 

“Dari awal kamu memang punya niat menyusup ke keluarga ini, ya kan? Jadi sekretaris tanpa pengalaman, tiba-tiba akrab dengan Kakekku, dan sekarang—surat wasiat?” Kaendra menunjuk pada surat wasiat. 

“Tuan muda, tenangkan dirimu,” Aji berusaha menengahi. “Ini bukan saatnya menuduh. Ini tentang menghormati keinginan terakhir beliau.”

Keandra mendekat, membentak dengan suara tertahan. “Hormat? Jangan ajari aku soal menghormati. Aku menghormati kakekku, tapi aku juga punya hidup sendiri. Aku tidak bisa menikah hanya karena selembar surat wasiat konyol!”

Neina menahan napas. “Aku juga menolaknya,” sergah Neina tak ingin menjadi pihak yang selalu disalahkan. 

Keandra memejamkan mata, berusaha meredam gejolak amarah yang meledak di dadanya. “Aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak kupercaya. Bahkan jika itu permintaan terakhir beliau.”

Aji melangkah maju, berdiri di antara mereka. “Aku tahu ini sulit. Tapi kalau anda bisa lihat bagaimana Pak Daniswara menyiapkan semua ini... bagaimana beliau melatih emosinya setiap kali membahas namamu dan Neina dalam satu kalimat... kamu akan tahu ini bukan sekadar permintaan. Ini harapan terakhirnya. Dia tahu waktunya sudah dekat. Beliau pasti memiliki maksud tersendiri, mengapa Neina orang yang dipilihnya.”

Keandra memalingkan wajah. Wajahnya kini dikeraskan oleh pertarungan batin yang belum selesai. Dinding yang selama ini ia bangun terhadap semua orang di sekitarnya mulai retak.

“Berapa lama aku punya waktu untuk memutuskan?” suaranya pelan.

Aji menatapnya lama sebelum menjawab, “Sampai beliau berhenti bernapas.”

Keandra menatap surat di tangannya. Tulisan tangan kakeknya menari-nari di depan matanya, seolah mengejek keras kepalanya. Bagaimana bisa ia melakukannya, jika dirinya telah memiliki seorang istri yang sangat ia cinta? 

Sementara di ruang IGD, jantung seorang pria tua berdetak dengan sisa kekuatan terakhir—menunggu keputusan yang bisa mengubah segalanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 14. Sambutan Permusuhan

    Ketika langkah kaki Neina turun dari mobil itu, lantai batu alam yang mengkilap seakan memantulkan suara debaran jantungnya. Rumah itu sangat mewah, terlalu besar dan terlalu asing baginya. Dinding-dinding putihnya berdiri megah, berjendela besar dengan teralis besi hitam bergaya industrial. Tak ada kesan ramah, tak ada sambutan hangat. Rumah itu dingin—dan mencerminkan tuan rumahnya.Beberapa orang pelayan segera datang dari arah pintu utama. Salah satu dari mereka, seorang perempuan berusia empat puluhan, tersenyum ramah. Ia melangkah maju. Raut wajahnya begitu hangat, seolah mencoba menepis dinginnya suasana. “Selamat datang, Nona Neina,” sapanya lembut, suaranya menenangkan. “Saya Bi Raras. Saya yang akan membantu Nona selama di sini. Jika Nona membutuhkan sesuatu, jangan sungkan memberitahu saya.”Senyum ramah Bi Raras sedikit meredakan ketegangan yang mendera Neina. Setidaknya, ada satu wajah yang tidak memancarkan permusuhan di tempat ini. Ia mengangguk samar, mencoba membala

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 13. Bukan Rumah Tujuan

    "Kebencian bisa berubah menjadi cinta, Neina. Dan cinta bisa melahirkan keturunan," balas Pak Daniswara, matanya menatap tajam, seolah menembus dinding pertahanan Neina. "Kau harus bisa meluluhkan hatinya. Membuatnya melihatmu bukan hanya sebagai anak yatim piatu yang Kakek tolong, tapi sebagai wanita yang pantas mendampinginya. Wanita yang akan memberinya keturunan."Neina merasa mual. Ini bukan tentang cinta, bukan tentang masa depan yang indah. Ini tentang sebuah misi. Sebuah tugas yang diberikan oleh seorang pria sekarat, yang entah bagaimana caranya, telah mengikatnya dalam perjanjian yang tak bisa ia hindari."Tapi kenapa harus Neina, Kek? Kenapa bukan wanita lain? Pak Keandra sudah memiliki istri juga. Pak Keandra bisa mendapatkan itu dari Bu Olivia …”“Itu tidak akan terjadi, Neina. Kau harus menjadi satu-satunya wanita yang menjadi istri Keandra. Bukan wanita lain. Dan kau satu-satunya wanita yang pantas memberi keturunan untuk Keandra. Bukan yang lain.” Pak Daniswara berkat

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 12. Pertemuan Dengan Daniswara

    Sunyi menyelimuti ruangan VIP rumah sakit malam itu. Hanya suara detak jam dinding dan alat bantu pernapasan yang mengiringi percakapan dua insan berbeda generasi. Pak Daniswara terbaring lemah, namun wajahnya tampak cerah saat melihat sosok yang baru saja membuka pintu dan melangkah masuk dengan perlahan."Neina," sapa Pak Daniswara lirih, senyum hangat terukir di wajah tuanya. Meski tubuhnya dibelenggu oleh infus dan selang oksigen, matanya bersinar seperti ada harapan yang kembali menyala.Neina duduk di kursi tunggal di samping ranjang perawatan. Ia tersenyum sopan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang sejak tadi membuncah di dadanya."Pak Daniswara... bagaimana keadaan Bapak sekarang?” tanyanya sopan.Pak Daniswara mengangkat tangannya lemah, lalu menggenggam tangan Neina dengan erat. “Kakek.” “Mulai sekarang, panggil aku... Kakek. Karena kamu sudah menjadi cucuku."Neina tersentak pelan. Ia menarik nafas dalam, mencoba memahami ucapan itu. "Kakek..."Semua yang dilakukan oleh

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 11. Keberanian Neina

    “Nona Neina sekarang sudah menjadi bagian keluarga Daniswara. Kamu harus mulai belajar menjaga sikap, Felix,” tegur Pak Aji yang mendapati sikap terkejut Felix.Felix tersenyum canggung, menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. “Buat apa kau bawa dia ke sini?” tanya Keandra tajam pada Pak Aji yang datang bersama Neina. Tatapan mata yang sangat tidak bersahabat yang menyambut kehadiran Neina di depan ruang perawatan kakeknya itu. Neina menegakkan tubuh. "Saya datang untuk menjenguk Pak Daniswara.""Dengan alasan apa? Menjenguk? Jangan mengada-ada," sindir Keandra. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Kau pikir aku tidak tahu?"Neina mengerutkan dahi. "Tahu apa, Pak Keandra?""Bahwa kau punya niat tersembunyi. Kau pikir kedekatanmu dengan kakekku bisa memberimu akses ke warisan? Atau jabatan di perusahaan yang lebih tinggi lagi? Kau pikir akan bisa masuk dengan seenaknya di keluargaku. Bahkan, kehadiranmu bagai racun mematikan di keluargaku."Tajam. Sangat tajam setiap kata yang

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 10. Izin Membawa Pergi

    “Kenapa malam-malam, Pak. Besok pagi saya akan mampir lebih dulu ke rumah sakit, sebelum ke kantor,” tolak Neina yang bahkan dirinya baru tiba di rumahnya sepulang bekerja.“Saya hanya menjalankan tugas, Nona.” Kalimat yang Pak Aji ucapkan baru saja itu seolah tak mampu untuk dibantah kembali. Pria paruh baya itu duduk dengan tenang namun penuh teka-teki dari sorot wajahnya, siluetnya diterpa cahaya lampu yang menyala. Ada sesuatu dalam sikapnya, dalam keheningan yang menyelimuti, yang membuat naluri Bu Lela menjerit."Bu Lela," suara Pak Aji memecah keheningan, rendah dan berat, seolah setiap katanya menanggung beban yang tak kasat mata. "Saya ingin membicarakan sesuatu."Bu Lela merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia meletakkan cangkir tehnya perlahan, bunyi 'klik' porselen itu terdengar nyaring di antara mereka. "Ada apa, Pak Aji?" tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meskipun ada gemuruh badai di dalam dadanya.Pak Aji, tatapannya bertemu dengan Bu Lela, bergant

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 9. Menjemput Neina

    Pintu mobil terbuka, dan seorang pria berjas rapi melangkah keluar. Usianya sekitar akhir lima puluhan, rambutnya tersisir klimis, dan sorot matanya tajam namun sopan. Ia tersenyum hangat, saat tatapan matanya bertemu dengan Neina. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang entah mengapa terasa dingin, seperti sapuan angin musim gugur yang membawa serta berita penting yang tak terduga.Langkah pria itu tenang namun penuh wibawa saat ia berjalan mendekat. Neina mengenali wajah itu. Pak Aji. Asisten pribadi Pak Daniswara, pria yang tak pernah absen mendampingi konglomerat itu dalam setiap acara resmi maupun urusan pribadi. Kehadirannya di sini, di ambang pintu pagar rumahnya, adalah anomali yang membingungkan sekaligus mencekam. Apa yang membawa orang sepenting Pak Aji ke tempatnya lagi? Dan kali ini, kehadiran pria itu seorang diri. Tidak bersama Tuannya yang Neina tahu, jika dia sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Bu Lela, yang tadinya sibuk melipat sarung di ruang te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status