"Ada yang mengirim pada Papa foto Fahri sedang memeluk wanita di sebuah pusat perbelanjaan. Katakan, apa benar ini Fahri?" Degh! Hati Nuraini mencelos saat Bram menunjukkan beberapa foto di ponselnya. Ranti juga terhenyak dari duduknya begitu matanya menatap foto menantunya itu. "Nak, ini benar Fahri suamimu?" tanya Ranti berusaha sabar. Wanita yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu tidak mau marah sebelum pasti tau yang sebenarnya. Nuraini hanya menunduk, haruskah dia mengatakan yang sejujurnya. Ingin disangkal pun foto itu sangat terlihat jelas, pelukan mesra mereka yang dua hari ini selalu diperlihatkan di depannya. "Kenapa diam? Benar ini Fahri 'kan?" Bram kembali bertanya dengan tegas. Lelaki yang masih nampak gagah itu begitu tidak menyukai pengkhianatan. "Katakan saja, Nak! Kami nggak akan menyalahkanmu," hibur Ranti setelah mendengar isakan Nuraini. Bram mendengkus, dia sudah menduga tanpa Nuraini menjawab dengan isakan saja itu artinya memang putrinya sedang meng
"Mama dan Papaku datang, mereka menanyakan Mas tapi aku bilang Mas lagi keluar kota," ucap Nuraini dibuat secemas mungkin agar Fahri tidak curiga. 'Degh! Bagaimana ini kalo mertuaku sampai tau aku menikah lagi. Pasti mereka akan mendepakku,' batin Fahri galau. "Mas, bagaimana bisa sekarang kamu pulang? Tapi jangan bawa Melisa," ucap Nuraini lirih. "Ehm, Mas nggak mungkin meninggalkan Melisa sendiri, Nur!" Nuraini menghela napas, dia sudah tau suaminya tidak bakal mau meninggalkan istri keduanya itu. Ranti dan Bram yang mendengarkan pun merasa geram. Sengaja Nuraini menelepon depan orang tuanya dengan mengaktifkan loudspeaker. "Ya sudah kalo kamu nggak mau, Mas! Aku akan bilang pada orang tuaku kalo kamu menikah lagi. Siap-siap aja menerima gugatan cerai," sergah Nuraini. "Jangan, Nur! Tolong beri Mas kesempatan, jangan bilang pada Papa dan Mama. Mas akan bujuk Melisa biar sementara dia tinggal sendiri dulu," pinta Fahri terdengar memelas. "Apa, Mas! Kamu mau meninggalkan aku?"
Tapi segera dicegat Fahri, "Apa, mereka di sini seminggu?" "Iya, soalnya orang tuaku super sibuk dan jarang ada waktu. Jadi, saat ini mereka sedang berlibur makanya menginap di sini. Kenapa, nggak rela pisah lama-lama dengan Melisa?" "Bukan, tapi kasihan kalo dia tinggal sendiri apalagi sedang hamil," keluh Fahri kacau. Sudah seperti ini pun kamu tetap tidak bisa berpaling dari Melisa, Mas. Kalo aku mau sekarang bisa saja mendepakmu tapi kalo semudah itu kamu pasti senang. Kamu harus merasakan penderitaan dulu seperti yang kurasakan, batin Nuraini mendengkus. Wanita muda itu membiarkan Fahri termenung di kamar lalu melangkah keluar. Hatinya sakit setiap kali dari mulut suaminya keluar tentang Melisa. Seolah-olah wanita perebut itu lebih penting dari dirinya. "Bagaimana Fahri?" tanya Ranti pelan setelah duduk di samping ibunya. "Dia terkejut saat Aini bilang Mama dan Papa mau menginap selama seminggu. Bukan itu aja, Mas Fahri malah mencemaskan Melisa di sana padahal kita tau oran
[Mas, kamu ngapain sih! Kenapa nggak angkat teleponku?] [Kok cuma dibaca aja] Kembali pesan masuk tapi cuma Nuraini baca saja. [Mas pasti lagi bersenang-senang dengan Nur 'kan. Jangan bilang Mas menyentuh dia] ditambah emot merajuk. Nuraini yang tergelitik pun ingin mengerjai Melisa. Dia berpura-pura menjadi Fahri. Gegas diketiknya balasan sebelum suaminya terbangun. [Iya, memangnya kenapa Mas menyentuh Nur? Dia masih istri Mas, kami baru saja memadu kasih. Mas sangat puas karena malam ini Nur begitu cantik dan menggairahkan] Nuraini cekikan saat mengetik pesan tersebut. Membayangkan Melisa pasti kepanasan di sana, wanita itu begitu senang sambil melirik Fahri yang terlelap. [Mas pasti bohong! Mas sudah janji nggak akan menyentuh Nur lagi sejak aku hamil] [Kalo nggak percaya, Mas akan kirim fotonya] Tidak lama foto Nuraini kirim setelah tanda silang biru berarti sudah dilihat Melisa. Cepat Nuraini hapus kembali agar Fahri tidak curiga. Benar saja ponsel berdering, Melisa memang
Melisa tambah kesal, sambil menunggu dipukul-pukulnya gerbang seraya teriak. "Mas Fahri, Mas ... Aku datang, buka gerbangnya!" Suara cempreng Melisa yang ribut membuat Ranti melongok dari pintu. Wanita itu melihat satpam berjalan ke arah rumah. "Siapa dia?" tanyanya pada satpam. "Katanya istri kedua Den Fahri, Nyonya! Ingin ketemu Den Fahri," lapor satpam. "Katakan aja Fahri nggak ada di sini, usir dia! Jangan sampai Fahri tau kedatangannya," titah Ranti lalu menutup pintu. Satpam segera kembali ke posnya lalu menyampaikan pesan majikannya pada Melisa. "Benarkan kalo saya istri kedua Mas Fahri!" "Maaf, Den Fahri nggak ada di rumah. Jadi, silakan anda pergi!" "Bohong! Mas Fahri pasti di rumah, dia masih tidur 'kan! Pak, biarkan saya masuk. Mas Fahri ... Mas bangun. Kalo nggak aku bongkar pada orang tua Nur tentang pernikahan kita!" teriak Melisa dengan lebih kencang. "Diam, kalo nggak saya pukul!" bentak satpam mengacungkan pentungan. Melisa yang melihatnya menciut, apalagi s
Pukul setengah delapan Nuraini dan keluarga sudah tiba di bandara. Menjejakkan kaki masuk ke dalam sambil menyeret koper menuju tempat penyimpanan tas dan koper. "Mas Fahri ...!" Fahri membulatkan matanya setelah tau siapa yang memanggil. Seketika langkah mereka terhenti melihat seorang wanita memanggil lalu mendekati Fahri. Lelaki itu jadi salah tingkah dan menoleh ke arah Nuraini yang melongo. Wangi parfum yang dikenakan wanita itu tercium begitu dekat. Ranti dan Bram memicingkan mata karena tidak mengenalnya tapi sebersit kecurigaan melanda dalam hati mereka. "Siapa dia, Fahri?" tanya Ranti. "Ehm, kenalkan Tan saya ____" Belum selesai bicara, tangan wanita itu ditarik Fahri keluar. "Mah, Pah, kalian duluan masuk nanti Fahri menyusul. Nur, kamu temani mereka!" desaknya lalu secepatnya membawa wanita itu keluar. "Mah, Pah, Aini mau melihat Mas Fahri. Mama sama Papa nggak apa-apa 'kan di dalam dulu?" "Nggak apa-apa, pergilah! Takutnya nanti Fahri batal berangkat." Setelah men
"Fatma siapa?" tanya Bram heran. "Mantan pembantu kita dulu, bukankah dulu saat bekerja di rumah kita dia tiba-tiba hamil. Padahal saat itu belum menikah entah siapa yang sudah menghamilinya," desah Ranti menggeleng, dia masih ingat betul rumah pembantunya karena pernah diantar pulang. Bram yang mendengarnya pun meneguk ludah dan salah tingkah. "Papa kenapa?" Bram menggeleng. Ranti lalu terkenang kisah dua puluh tahun yang lalu. Wanita yang masih terlihat segar itu masih menyimpan memori tentang pembantunya. Kala itu usia Nuraini baru satu tahun, sedang aktif-aktifnya. Saking repotnya mengurus anak, Bram menyarankan agar Ranti mengambil pembantu untuk urusan pekerjaan rumah. Kala itu kehidupan mereka belum seberapa makmur seperti sekarang. Tapi, untuk menggaji pembantu Bram masih mampu. "Bu Ranti, kabarnya ingin cari pembantu ya?" tanya tetangganya saat Ranti sedang mengajak anaknya jalan-jalan sore di sekitar rumah. "Iya nih, Bu! Nuraini lagi senangnya berjalan kesana kemari, s
Usai menuntaskan hasratnya, Bram tersenyum puas. Tatapannya heran saat melihat ke dalam bak mandi tidak menemukan cairan merah. "Fatma, kamu sudah nggak perawan lagi?" Fatma terhenyak, tidak menyangka majikannya begitu memperhatikan sampai kesitu. Di tengah tubuhnya yang lelah, dia pun segera memakai kembali dasternya. "Saya nggak tau, Pak!" jawabnya pelan. "Pasti kamu sudah nggak perawan lagi, jawab aja!" "Saya masih perawan, Pak! Kenapa bapak tanya seperti itu?" "Kamu sungguh polos atau pura-pura nggak tau? Jangan bohongi saya atau ____" Belum sempat Bram meneruskan bicaranya, terdengar ponsel terus meraung minta diangkat. Gegas Bram keluar dari kamar mandi, menyambarnya dan terlihat istrinya memanggil. "Pah, kok belum jemput Mama?" "Papa sibuk, Mah! Banyak kerjaan, sebentar lagi Papa jemput ya!" "Oke kalo gitu, Mama akan ____" "Pak, saya keluar dulu. Bapak lupa pakai handuk, ini saya pakaikan!" Ranti merasa terkejut mendengar suara pembantunya. Sama halnya dengan Bram ya