Pintu lift akhirnya terbuka, “Loh, kamu temannya Rangga 'kan?" tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari lift. Hayati tersenyum sambil melangkah mundur memberikan kesempatan orang lain lebih dulu menggunakan lift. Karena tidak mungkin Hayati meninggalkan wanita yang baru saja menyapanya. Renata, wanita itu adalah mantan istri Rangga. "Mau kemana?" tanya Renata."Hmm." "Oh, sorry. Harusnya aku nggak tanya, have fun ya," ujar Renata sambil bertanya. Entah apa yang ada dipikiran Renata dengan mengucapkan hal itu pada Hayati.Kini Hayati dan Bu Ida sudah berada di depan pintu sebuah kamar. Entah mengapa Hayati merasa gugup, jantungnya berdetak lebih kencang. Apalagi saat pintu kamar terbuka, seorang pria yang usianya lebih muda dari Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Hayati. Kini Hayati sudah selesai di make up dan mengenakan kebaya pilihan dirinya dan Rangga. Menatap penampilannya di cermin, memastikan tidak ada cela karena tidak ingin mengecewakan Rangga. "Nona
Rangga sudah berdiri di belakang tubuh Hayati, dengan tangan berada di kedua pundak wanita yang saat ini sudah resmi menjadi istrinya. “Biar aku bantu,” ujar Rangga. Kedua tangannya mulai melepaskan satu persatu hiasan di rambut Hayati. Sesekali tubuh Rangga tidak sengaja menempel pada punggung Hayati menimbulkan efek tidak biasa untuk keduanya. Jika Rangga sudah pernah mereguk manisnya malam pertama pernikahan dan sebelumnya sudah terbiasa dengan aktivitas ranjang bersama mantan istrinya berbeda dengan Hayati. Umur yang masih muda tapi dia sudah dua kali melangsungkan pernikahan. Dengan statusnya sebagai janda tapi kondisinya masih suci, tentu saja belum ada pengalaman mengenai kegiatan malam pertama pasangan pengantin. Hayati membersihkan sisa make up di wajahnya sekaligus mengusir rasa canggung. Hayati refleks berdiri karena melihat gelagat Rangga yang semakin merapatkan tubuhnya. “Saya mau mandi dulu, Pak,” ujar Hayati sambil melangkah meninggalkan Rangga yang masih terpaku mema
“Pak Rangga, tunggu dulu,” pekik Hayati. “Kenapa?” tanya Rangga. “Pak, saya ... takut,” gumam Hayati. Bukan hanya karena ini adalah pengalaman pertamanya tapi juga bingung yang melanda hati. Ada rasa ragu dalam diri Hayati, meragukan cinta Rangga untuknya juga apakah dirinya sudah mencintai Rangga atau belum. Rangga mencebik mendengar keluhan Hayati. Mengapa harus takut jika kamu pernah melalui apa yang akan kita lakukan, atau mungkin Hayati takut jika aku akan melakukannya dengan kasar, batin Rangga. "Kamu tenang saja, aku akan melakukannya dengan pelan dan lembut," ujar Rangga mencoba menenangkan Hayati. "Cukup nikmati, karena bisa jadi kamu akan ketagihan dengan sentuhanku," ledek Rangga membuat Hayati refleks memukul pelan dada suaminya. "Sudah siap?" tanya Rangga setelah keduanya mengucap doa dalam hati. Hayati menganggukkan kepalanya pelan, membuat senyum terbit di wajah Rangga. Pria itu melepaskan handuk yang masih menutupi bagian bawah tubuhnya dan melempar entah kemana
Hayati menikmati sarapan sekaligus makan siang lebih awal. Dengan rambut yang masih digulung dengan handuk kecil karena masih basah setelah membersihkan diri. Tidak menggunakan hair dryer karena perutnya yang sudah minta diisi.Rangga yang duduk dihadapan Hayati menatap lekat perempuan yang sudah menjadi wanita seutuhnya. Menyadari berada dalam tatapan Rangga, Hayati pun menoleh.“Pak Rangga, jangan tatap aku begitu dong.”Rangga berdecak, bukan karena dilarang menatap Hayati tapi panggilan Hayati kepadanya belum berubah. “Sampai kapan kamu mau panggil aku Bapak?”“Ya seterusnya, kecuali Pak Rangga sudah tua dan punya cucu. Aku panggil Kakek Rangga,” ejek Hayati lalu terkekeh. Rangga menghela nafasnya mendengar ejekan dari Hayati.“Aku ada pekerjaan yang urgent. Kamu mau ikut atau tetap di sini? Atau pulang ke apartemen?” tanya Rangga. Hayati menatap Rangga memastikan apa yang barusan didengar olehnya adalah benar.“Pak Rangga ajak aku ke kantor?” Rangga hanya mengangguk lalu meraih g
Setelah urusan yang benar-benar tidak bisa diwakilkan oleh Gema, Rangga memutuskan kembali ke Hotel karena Hayati masih menunggu di sana. Dalam perjalanan dia memikirkan niat Isna yang ingin bertemu Hayati, meskipun Rangga menanyakan apa motifnya harus menemui Hayati. Isna juga bertekad akan mencari Hayati dan menemukannya. Wanita itu diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan rumah tangannya bersama Rama. Jika Hayati mendengar usul Isna mungkin dia akan tertawa karena mengetahui jika Isna sudah bermain api dalam rumah tangganya. Rangga sudah memasuki area hotel tempatnya menginap, bahkan sudah memarkirkan mobil pada parkiran basement. Rangga memiliki access card sendiri untuk membuka pintu kamarnya. Tidak menemukan Hayati di living room juga pantry, Rangga akhirnya menuju kamar. Hayati terlihat berbaring telungkup di atas ranjang. Bukan posisinya yang menjadi masalah tapi pakaian yang dikenakan Hayati membuat resah yang melihatnya. Mengenakan gaun tidur yang mana memperlihatkan k
Rangga menarik kursi untuk Hayati duduk saat ada seseorang memanggil namanya. Bahkan Hayati iku menoleh karena penasaran dengan orang yang memanggil suaminya.“Kalian di sini juga,” ujar Renata.“Hm.” Rangga lalu berjalan memutar meja dan duduk bersebrangan dengan Hayati. Renata masih berdiri dengan gaya elegannya.“Ahh, kemarin sore aku bertemu juga denganmu di sini,” ujar Renata menatap Hayati. “Apa kalian memang sering bertemu dan janjian di hotel ini?” tanya Renata. Entah mengapa Hayati merasa pertanyaan Renata lebih kepada merendahkan dirinya juga Rangga. Seakan mereka memang sering bertemu di hotel itu.“Tidak,” jawab Rangga. “Hanya kebetulan dua hari ini kami ada aktifitas di sini,” sahut Rangga lagi lalu membuka buku menu. “Apa kamu mau terus berdiri disitu?” tanya Rangga tanpa menatap Renata.Hayati hanya mengulum senyum membayangkan mereka berdua makan dengan diawasi oleh Renata. “Aku sebenarnya ingin bergabung tapi ... ada janji. Have fun untuk kalian,” seru Renata lalu be
Rama membuka kembali kedua matanya mendengar ucapan Isna yang ingin menemukan Hayati. “Untuk apa kamu menemui Hayati?”“Untuk memastikan jika kalian memang benar sudah tidak ada hubungan lagi,” sahut Isna tanpa rasa bersalah. Rama menoleh ke samping menatap wajah istrinya yang menatap langit-langit kamar.“Hubungan aku dengan Hayati berakhir ketika aku mengucap talak untuknya. Kenapa kamu masih mengatakan urusan kita dengan Hayati?”Isna beranjak duduk menghadap Rama yang masih berbaring menatap ke arahnya. “Karena kita begini karena Hayati. Karena kamu menabrak ayahnya, lalu menikahinya dan menceraikannya. Kamu merasa bersalah dan aku yakin dalam hati kamu saat ini menyukai Hayati, makanya kamu bersikap dingin padaku,” tutur Isna.“Masalah kita disebabkan urusan antara kita, bukan Hayati.”“Kamu jujur deh, yakin di sini nggak ada sedikitpun rasa untuk Hayati?” tanya Isna sambil menunjuk dada Rama. “Yakin kamu nggak ada rindu pada Hayati?” tanya Isna lagi.Rama menghela nafasnya, “Sud
Hayati bergegas kembali ke dapur, masih terdengar suara bel pintu. “Loh, nggak dibuka pintunya?” tanya Bu Ida sambil menatap aneh pada Hayati yang terlihat resah.“Bu Ida, itu Nona Isna.”Bu Ida mengernyitkan dahinya, “Nggak disuruh masuk dulu?”Hayati berdecak, “Nona Isna itu adiknya Pak Rangga.”“Lalu?”Hayati menghentakkan kakinya, “Dia belum tahu kalau aku sudah menikah dengan Pak Rangga. Apalagi sebelumnya aku pernah jadi bagian dari ... Pokoknya dia nggak boleh lihat aku di sini.”“Terus gimana, Ibu nggak ngerti.”“Aku sembunyi, pastikan dia tidak masuk ke dalam kamar aku ya.” Hayati bergegas masuk kamar dan sembunyi. Bu Ida memastikan Hayati sudah tidak terlihat lalu membuka pintu.“Lama amat sih,” keluh Isna sambil melewati Bu Ida menuju sofa dan duduk di sana. “Kak Rangga belum pulang?” tanya Isna.“Belum, mungkin tidak lama lagi. Tadi pagi bilangnya mau makan siang di rumah.”Isna tidak menjawab memilih menghubungi Rangga. “Nona mau minum apa?”“Apa aja.” Isna berdecak sambi