“Kamu sakit?” tanya Hayati sambil memegang dahi Aska. Aska menganggukan kepalanya. “Sudah minum obat?” tanya Hayati lagi.
Aska menggelengkan kepalanya, “Aku tidak suka minum obat.”
Hayati tersenyum sambil mengusap puncak kepala Aska. “Hmm, Aska lebih pilih sehat atau sakit?”
“Sehat,” jawab Aska.
“Untuk sehat kita minum dulu obatnya, karena kalau sakit banyak hal yang tidak bisa Aska lakukan.”
“Hmm, aku tidak boleh berenang dan makan ice cream," sahut Aska.
“Ahhh, jadi lebih baik minum obat atau tidak?” tanya Hayati lagi.
“Minum obat,” jawab Aska. Pengasuh Aska segera menyuapkan obat yang sejak tadi sudah dipegangnya. Hayati mengajak Aska ber high five lalu tertawa bersama. Tanpa mereka ketahui, sejak tadi Rangga berdiri menyaksikan interaksi Aska dan Hayati.
“Aska,” panggil Rangga.
Aska menoleh, senyum Hayati langsung pudar bergegas berdiri dari posisinya. “Papah, aku sudah minum obat. Kalau besok aku sembuh, aku mau beli ice cream dengan Uni Hayati,” ujar Aska dengan wajah ceria.
Rangga tersenyum pada putranya, mengusap puncak kepala Aska dengan sayang lalu menatap Hayati yang masih berdiri ditempatnya sambil meremas tangannya. Para pekerja yang masih berada di ruang itu hanya bisa diam terpaku, menunggu respon dari salah satu tuan rumah yang terkenal cuek dan angkuh.
“Ayo, kamu harus kembali ke kamar,” ajak Rangga pada Aska.
“Uni, aku tidur dulu. Besok kita beli ice cream.” Aska meraih uluran tangan Rangga lalu meninggalkan Hayati yang menunduk karena sempat mendapatkan tatapan tajam dari Rangga.
***
Isna memanggil Hayati untuk membawakan dokumen yang sudah dicetaknya tadi siang. Kembali berada di ruang keluarga, dengan posisi Isna sedang duduk bersandar pada dada Rama. Hayati yang membawakan berkas yang diminta Isna, menghela nafas sebelum bergabung duduk di sofa bersebrangan dengan tempat di mana Rama dan Isna berada.
Isna seakan sengaja memamerkan kemesraannya dengan Rama, di depan Hayati. Kasihan Mas Rama, dia nggak tau kalau Nona Isna tidak sebaik yang dia kira, batin Hayati.
“Ini berkasnya,” ujar Hayati sambil menyerahkan setumpuk berkas yang sudah dicetak olehnya.
“Nah ini, desain aku yang baru. Menurut kamu, gimana? Paling cepat minggu depan akan aku urus untuk lounching, tapi pasti jadwal aku akan sibuk lagi dan harus tinggalin kamu lagi. Gimana dong?”
“Gimana baiknya aja sayang,” ucap Rama sambil mencium kepala Isna.
Hayati yang melihat momen itu hanya bisa mencibir dan menatap benci sekaligus heran pada pasangan dihadapannya. Tanpa ketiga orang itu tau, Rangga memperhatikan raut dan mimik wajah Hayati dari pintu yang tidak tertutup rapat. Menurut pendapatnya, Hayati seakan tidak suka melihat kemesraan Isna dan Akbar. Lebih ke arah cemburu dan lagi-lagi Rangga mengira jika Hayati adalah duri dalam daging untuk rumah tangga Isna dan Rama.
***
Esok pagi, Isna meminta Hayati kembali menyiapkan pakaian Rama. Betapa terkejut Hayati saat keluar dari walk in closet kamar Isna setelah menyiapkan pakaian Rama, melihat pemandangan yang sungguh tidak disangka. Rama dan Isna yang saling memagut bibir, dengan kondisi Rama hanya terbalut handuk di pinggangnya karena baru keluar dari kamar mandi.
Rama yang menyadari keberadaan Hayati mengurai kedekatannya. Menatap kesal pada Hayati. “Maaf, saya permisi,” ujar Hayati sambil berlalu.
Sialnya, rangga menyaksikan Hayati yang keluar dari kamar Isna dan bergegas masuk ke kamarnya sendiri. “Makin aneh. Aku yakin ada sesuatu diantara mereka. Ngapain sepagi ini keluar dari kamar Isna.”
Hari-hari berlalu. Hayati semakin dekat dengan Aska karena kesabarannya menghadapi anak kecil. Hayati masih dengan perannya sebagai asisten Isna yang semakin semena-mena dalam memerintah. Rama masih dengan sikap dinginnya pada Hayati meskipun jelas Hayati juga istrinya.
Hayati tidak masalah jika harus direndahkan oleh Isna dengan perannya sebagai asisten Isna. Tapi jika harus menyaksikan Isna yang seperti terang-terangan memanas-manasi Hayati dengan kedekatan dan kemesraan bersama Rama, Hayati merasa jengah.
Bukan sekali, Hayati mengatakan pada Rama untuk menalak Hayati dan memulangkannya ke kampung halaman. Meskipun Hayati belum bertemu dengan Ibunya. Seperti pagi ini, Isna meminta Hayati ke kamarnya. Hayati merasa seperti anak kecil yang ketahuan menonton film dewasa saat membuka pintu kamar Isna dan menyaksikan adegan dewasa yang dilakukan Rama dan Isna.
Hayati segera menutup kembali pintu kamar Isna dan berlari menuju kamarnya. Duduk membelakangi pintu dengan wajah dibenamkan diantara kedua lututnya. Tubuhnya berguncang dengan isak tangis. Bapak, kenapa Bapak menikahkan aku dengan laki-laki itu. Hayati tidak sanggup Pak, Hayati mau ikut Bapak, batin Hayati.
Isna berkali-kali memanggil dan mengetuk pintu kamar Hayati, tapi diabaikan oleh gadis itu. Dia muak dengan Isna yang selalu pamer kemesraan seakaan dirinya adalah wanita yang tersakiti dengan kehadiran Hayati. Padahal dia sudah mengkhianati Rama dan Hayati mendengar sendiri dengan telinganya, kebusukan dan rencana mengelabui Rama agar dapat bersama kekasih gelapnya.
Setelah bosan mengetuk pintu kamar Hayati, sepertinya Isna sudah beranjak karena suasana sudah hening. Hayati sengaja berlama-lama menunggu Isna dan Rama berangkat ke kantor. Dengan mata sembab, Hayati pun berniat keluar dari kamarnya, menganggap situasi sudah aman.
Namun, Hayati malah dikejutkan dengan kehadiran Rama. Saat keluar dari kamarnya berpapasan dengan Rama yang berjalan menuju kamarnya, mungkin karena mengambil barang yang tertinggal. Keduanya sempat terpaku di tempat. Rama yang terpaku karena melihat wajah sembab Hayati, jelas jika gadis itu telah menangis. Sedangkan Hayati terpaku karena terkejut ternyata Rama masih berada di rumah.
“Hayati,” panggil Rama. Hayati pun menghentikan langkahnya. Hayati berbalik, menatap Rama yang baru saja memanggilnya. “Kamu menangis?”
“Saya nggak apa-apa. Kapan Mas Rama akan talak saya?”
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo