Hayati berusaha bersikap biasa, lalu mengetuk pintu kamar Isna yang memang tidak tertutup rapat. “Masuk,” titah Isna.
“Ini es jeruknya,” ujar Hayati sambil meletakan gelas pada nakas samping ranjang di mana Isna berada.
***
Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kantor Rama. Hari ini benar-benar sangat melegakan hati Rama. Bisa meyakinkan Isna jika dia tidak akan tergoda dan menyentuh Hayati sampai tiba hari dimana Rama akan mengucapkan talak.
Apalagi hari ini Rama merasa sangat percaya diri dengan penampilannya yang membuat dia terlihat berbeda. Para karyawan wanita saat ini semakin menatap puja kepada Rama karena penampilannya, Rama berpikir jika Isna yang memilihkan outfit yang dia kenakan.
Sore hari, Hayati yang sedang menemani Isna di ruang kerjanya tepat menghadap taman. Hayati memandang ke luar, taman yang terlihat cukup indah itu sepertinya dikelola dengan baik. “Hayati, kamu bisa pergunakan ini?” tanya Isna menunjuk laptopnya.
“Tergantung apa yang harus dikerjakan," jawab Hayati.
“Kemarilah, cetak semua desain ini. Setelah itu urutkan berdasarkan nomornya,” titah Isna. Hayati mengiyakan dan mulai mengerjakan apa yang diminta oleh Isna. Sedangkan Isna langsung keluar dari ruangan, menuju ruang keluarga. Berniat menyapa ibunya, jam segini pasti sang Ibu sudah keluar dari kamarnya.
“Bunda,” sapa Isna pada seorang wanita yang terlihat pucat dan tidak sehat. “Isna sayang, kapan kamu pulang?” Isna memeluk erat wanita itu, “Semalam, Bun.”
Bunda Isna yang didampingi perawat hanya keluar dari kamar pada saat-saat tertentu. “Rangga bilang kamu bawa seseorang, siapa?”
“Owh, asisten aku Bun. Dia aku minta tinggal di sini. Boleh ya Bun?”
Malika tersenyum, “Bolehlah, biar tambah ramai di sini. Apalagi kalau orang itu bisa membantu pekerjaan kamu sehingga kamu tidak terlalu sibuk. Bunda akan sangat senang sekali. Kamu harus pikirkan untuk segera punya keturunan dengan Rama, jangan terlalu sibuk.”
“Hmm.”
“Beri Bunda cucu yang banyak. Kalau kamu banyak anak nanti akan sangat bahagia di masa tua. Tidak seperti Bunda, punya anak dua semuanya sibuk.”
“Minta Kak Rangga segera urus perceraiannya lalu menikah lagi dan punya anak yang banyak,” sahut Isna.
Malika hanya tertawa. “Perceraian apa?” tanya Rangga yang baru saja bergabung di ruangan dan duduk disofa bersebrangan dengan Malika.
“Bunda pingin banyak cucu. Kak Rangga aja cepat urus perceraiannya lalu menikah lagi dan bikin anak yang banyak.”
Rangga hanya berdecak. “Kemana asisten kamu itu?”
Isna memicingkan matanya, menatap heran pada Rangga yang menanyakan Hayati. “Ada, lagi kerjalah. Memang aku rekrut untuk bekerja,” ujar Isna dusta.
“Bunda penasaran dengan asisten kamu, karena Rangga merasa ada yang aneh dengan kalian. Dia selalu curiga kalau melihat orang yang baru dia kenal,” ujar Malika pada Isna.
Isna menoleh pada Rangga yang menatapnya, jelas mata itu sedang mencari kebenaran dari tatapan Isna. “Curiga apa sih Kak? Takut kalau Hayati ternyata pencuri, penjahat atau ....”
“Pelakor,” sela Rangga.
“Rangga,” tegur Malika. Sial, Kak Rangga tau dari mana sih? Kuat amat feelingnya, batin Isna.
“Jangan men-judge seseorang seperti itu. Kita harus mempertanggung jawabkan apa yang kita ucapkan. Apa kamu ada bukti jika wanita itu adalah pelakor.”
“Kalau nanti asisten Isna berhasil merebut Rama baru disebut bukti. Kalau sekarang ya mana ada,” ungkap Rangga tanpa beban.
Isna menatap Rangga, “Kak Rangga dari mana bisa menyimpulkan seperti itu?”
Rangga mengedikkan bahunya. Isna tiba-tiba terkejut, “Apa jangan-jangan Mas Rangga memang masuk ke dalam Ikatan Paranormal Indonesia.” Isna terbahak dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan.
Malam harinya, saat keluarga Adam sedang menikmati makan malam. Hanya ada Malika, Rangga, Isna dan Rama di sana. Harsa Adam ayah dari Rangga dan Isna tidak setiap hari pulang ke rumah. Tentu saja berada di kediaman istri mudanya.
Yang membuat Malika terpuruk hingga sakit-sakitan seperti sekarang adalah karena Harsa ketahuan memiliki simpanan. Tapi pria itu tidak ingin menceraikan Malika dan tetap teguh pada pernikahan keduanya. Inilah yang menjadi dasar, Rangga sangat benci dengan orang ketiga.
Hayati menikmati makan malam bersama para pekerja di rumah itu tentu saja di dapur. Aska berjalan diikuti baby sitternya, “Aska kita minum obat dulu ya,” ajak baby sistternya.
Aska tetap berjalan memasuki dapur. “Loh, Aska kenapa di sini?” tanya Bu Lena sambil mengarahkan pembantu rumah tangga lainnya untuk melayani majikan mereka di meja makan.
“Aku nggak mau minum obat," ucap Aska sambil menghindari baby sitternya.
“Kalau nggak minum obat, kamu nggak akan sembuh."
Hayati yang baru saja membersihkan perangkat bekas makan malamnya menghampiri Aska. “Hai tampan, boleh kenalan?” tanya Hayati sambil berjongkok di hadapan Aska yang dijawab dengan anggukan kepala.
“Aku Hayati, nama kamu siapa?”
“Aska. Aku harus panggil apa?”
“Hmm, bagaimana kalau Uni Hayati."
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo