Sudah hampir satu minggu lamanya, Elvan tinggal bersama Neya. Dan selama itu juga, interaksi dia dan Aileen sedikit terbatas. Aileen saat ini begitu sibuk dengan resort miliknya. Dalam benak wanita itu, dia ingin menunjukkan yang terbaik pada Vera agar mertuanya itu terus mempercayakan kepemilikan resort itu padanya. Dan juga agar mertuanya, tidak terus menerus menanyakan tentang keturunan, karena bagi Aileen, memberikan keturunan pada Elvan adalah suatu hal yang mustahil.Akan tetapi, hal itu tidak diketahui oleh Elvan. Aileen selalu sukses menutup kekurangannya itu dengan memanfaatkan cinta Elvan yang begitu besar padanya. Dan tentunya, Elvan tidak menyadari hal tersebut. Tak terkecuali Vera, wanita paruh baya itu sudah menaruh curiga dengan gelagat yang ditunjukkan oleh Aileen yang terus menerus menolak untuk memeriksakan kesehatan rahimnya ke dokter. Dan setelah Vera tahu jika ada wanita lain yang mengandung anak Elvan, wanita paruh baya itu tak mau membuang-buang kesempatan untu
"Ma, bukannnya aku udah bilang kalo pernikahan ini hanya pernikahan kontrak ....""Dan hanya sebatas bentuk tanggung jawabmu saja, 'kan? Mama sudah hapal perkataanmu, jadi kamu nggak usah ulangi itu. Memangnya ada yang salah kalau kalian tidur dalam satu kamar?"Elvan mengusap wajahnya dengan kasar. "Mama menginginkan hubungan kami lebih dari sekedar pernikahan kontrak?"Vera tak menjawab, wanita itu hanya beranjak dari karpet, lalu merapikan penampilannya, dan mendekat pada Neya yang saat ini berjalan ke arah mereka."Kau yang berpikiran terlalu jauh Elvan, mama jadi curiga kalau kau yang sebenarnya menginginkan hal itu. Mama pulang dulu," beo Vera, saat berjalan melewati Elvan. Tentunya, hal tersebut membuat Elvan semakin kesal, dia hanya menatap Vera dengan tatapan datar sambil menggelengkan kepalanya."Ney, mama pulang dulu ya. Besok mama ke sini lagi.""Iya ma, hati-hati, terima kasih banyak," jawab Neya. Setelah itu, dia menghampiri Elvan yang masih duduk di sofa."Mas kamu kena
Sudah dua bulan lamanya, Neya rutin mengobati rasa trauma yang dia alami pada psikiater. Dan sekarang, keadaan psikologisnya sudah jauh lebih baik. Tak ada lagi jeritan, ataupun tangis saat hujan turun pada tengah malam. Wanita hamil itu, kini bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Satu-satunya hal mengganjal di dalam hatinya, hanyalan tentang hubungannya dengan Lastri. Dan Neya, bertekad akan memperbaiki itu setelah dia melahirkan kelak.Sedangkan hubungannya dengan Elvan, kini sudah jauh lebih baik. Elvan, sering menghabiskan waktu bersamanya, dibanding dengan Aileen. Ya, Aileen memang sibuk dengan resort miliknya. Wanita itu, hanya menyempatkan diri pulang untuk menemui Elvan, satu minggu sekali saja.Sebenarnya, Elvan merasa keberatan. Namun, melihat kebahagiaan Aileen, serta semangat yang terpancar di wajah wanita itu, Elvan memilih untuk mengalah. Apalagi, Aileen juga tampak hidup dengan nyaman, tanpa tekanan dari Vera, yang kini kerap menghabiskan waktu bersama Neya.Seperti se
Elvan terus mendorong tubuh Neya hingga mereka masuk ke dalam kamar. Sesampainya di sofa, Elvan melepaskan tautan bibir mereka sebentar, lalu menarik tubuh Neya agar duduk di pangkuannya dan kembali mencium wanita itu.Ciuman tersebut, terasa begitu mendesak bersama dengan lumatan kuat yang begitu bergairah. Neya terengah dengan kedua bibir terbuka, sedangkan tangan Elvan bergerak menjelajahi tubuh Neya, melepas kimono basah yang masih dikenakan oleh wanita itu. Elvan melepaskan tautan bibir mereka, lalu menatap Neya dengan tatapan sayu."Apa boleh?" Neya mengangguk pasrah. Elvan kembali mendekatkan wajahnya, lalu menciumi leher dan tengkuk Neya hingga wanita itu memejamkan mata. Tak puas hanya di leher, Elvan kemudian mulai menyapukan lidah kasarnya di bahu Neya."Boleh sampai mana?" desis Elvan dengan suara yang sudah diliputi kabut gairah."Semua, Mas." Neya menjawab sembari menatap Elvan dengan tatapan sayu, seakan sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada mereka. Bukan, buka
[Mas, kok malah diem sih? Biasanya kalo aku pulang kamu semangat banget. Kamu nggak seneng aku pulang? Atau, jangan-jangan kamu lagi suka ya sama cewek lain?][Nggak Sayang, bukan gitu. Aku diem karena aku lagi bingung. Hari ini, aku mau pergi ke Kalimantan. Kalo kamu pulang hari ini, kita nggak bisa ketemu dong, Sayang.][Kamu mau pergi? Kok nggak ngomong sih sama aku. Biasanya, kamu juga ngomong dulu kalo mau ke luar kota.][Ini mendadak, Aileen. Ada masalah di lapangan yang harus kutangani, kalo kamu nggak percaya. Kamu bisa tanya ke Dewa, atau Mama.][Iya ... Iya deh, kapan aku nggak percaya sama suami aku?][Makasih ya, Sayang.][Ya udah sana siap-siap, kabari aku kalo udah pulang.][Iya Aileen.]Elvan menutup sambungan telepon sembari menghela napas lega. "Untung saja dia percaya, lebih baik sekarang aku kasih tau ke Dewa sama Mama dulu," ucap Elvan sembari mengutak-atik ponselnya."Ney!" Sebuah suara yang tak asing di telinga Elvan, menyentak lamunan laki-laki itu saat sedang me
"Kau juga sepertinya harus berusaha lebih keras, Bos."Elvan mengerutkan keningnya. "Ayolah, begitu saja kau tidak tahu? Dasar pecundang, punya istri dua ternyata tidak membuatmu pintar dalam merayu.""Jadi aku harus merayunya? Bukankah dia sudah takluk padaku?" elak Elvan."Kau memang benar-benar payah. Sekarang aku tanya padamu, apa kalian pernah punya waktu berdua selain di rumah, dan nonton bioskop waktu itu, yang tiketnya saja, dibelikan oleh Tante Vera?"Elvan menggeleng pelan. Dalam benaknya dia membenarkan kata Dewa, memang mereka tidak pernah memiliki quality time bersama, dan sialnya dia baru menyadari itu. Selama ini, hubungannya dengan Neya memang begitu kaku. Tidak banyak perbincangan dan interaksi yang mereka lakukan. Mereka hanya terlibat obrolan, saat tengah sarapan dan makan malam, tidak lebih. Melihat sikap diam Elvan, Dewa hanya menggeleng perlahan."Lalu, apa yang harus kulakukan? Saat ini, perut Neya sudah besar. Aku tidak mungkin mengajaknya pergi jauh.""Tidak u
"Pulau ini akan dinamakan dengan nama anak kita?""Ya, aku memang sengaja membelinya untuk anak kita, Ney."Neya hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya mendengar perkataan Elvan. Wanita itu, lalu menatap suaminya itu dengan tatapan sendu."Apa kamu benar-benar menyayangi anak ini?""Aku sangat menyayangi anak kita," jawab Elvan sambil bersiap untuk menyandarkan speed boatnya di jembatan kayu yang ada di dermaga."Tapi dia bukan anak kandungmu, Mas.""Tolong jangan berkata seperti itu, bagiku dia adalah putra pertamaku yang sangat kunantikan kehadirannya.""Tapi ...." Neya ingin menyela, namun Elvan menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu."Aku menikah denganmu itu artinya semua yang ada di dalam hidupmu juga bagian dari diriku, termasuk anak yang ada di dalam kandunganmu."Neya tak mampu lagi membantah, tak tahu harus berkata apa. Kebahagiaan itu, terasa di puncak. Dia tak menyangka jika rasa sayang Elvan begitu besar pada anak yang ada di dalam kandungannya. Bahkan
Elvan menatap wanita muda yang saat ini tidur di sampingnya. Tubuh telanjang wanita itu, hanya tertutup sebuah selimut putih, wajahnya terlihat sangat tenang dan damai. Elvan tahu, Neya pasti kelelahan. Setelah perjalanan dengan mengunakan spead boat, tapa jeda dia meminta Neya untuk kembali melakukan pergulatan panas dengannya. Di usia kehamilan Neya sekarang, Neya memang lebih gampang lelah. Dan setelah pergulatan panas itu, dia tertidur.Sebenarnya, Elvan pun menyadari hal tersebut, tapi hasratnya, sudah sangat sulit dia bendung. Bercinta dengan wanita hamil memang berbeda, meskipun gaya bercinta tidak bebas. Namun, ada sebuah sensasi dan kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Tak kuasa menahan rasa di dada, Elvan mendekat dan mencium pipi Neya, wanita itu mendesah pelan, mendapatkan serangan tiba-tiba di pipinya. Perlahan Neya pun membuka mata dan mendapati Elvan yang saat ini tengah menatapnya sambil tersenyum."Mas ...," ucapnya lirih, dadanya terasa bergemuruh kenc