Share

Bab 04. Merayu Ayah Aryan

Dengan keadaan cukup lelah, akhirnya Ayah Aryan sudah sampai di kediamannya sore hari. Bagi siapa saja yang datang ke kediaman Arsawijaya, pasti akan terpesona dengan desain rumah bergaya modern itu.

Rumah mewah bak istana yang sudah di bangun pada masa kejayaan Aryan semasa muda, tak hanya dibidang usaha saja, rumah mewah nan megah ini juga menjadi saksi kerja kerasnya.

Di dalam rumah, banyak sekali interior dan eksterios, menambah kesan keindahan di rumah bak istana itu. Rumah ini ia bangun sejak bersama istrinya yang pertama, dengan mengandalkan arsitek ahli di bidang pembangunan ini. Hasilnya tidak mengecewakan, tidak hanya nyaman saat di tempati, tetapi juga bisa memanjakan mata jika melihat-lihat seluruh penjuru rumahnya.

"Mas Aryan, dari mana aja kamu, Mas?" Ayah Aryan yang baru saja memasuki rumah di sambut oleh suara sang istri keduanya.

Wanita yang memiliki hubungan gelap dengannya di masa lalu, siapa sangka jika wanita itu menjadi pendamping hidupnya di masa sekarang.

"Iya Sin, Mas habis pulang dari kantor," jawab Ayah Aryan.

Wanita yang bernama lengkap Arsinta Ratnawati itu membulatkan mulutnya. Dengan jalan berlenggok-lenggok, Arsinta menghampiri suaminya yang menatapnya dengan lekat.

Dari sejak hubungan gelap, penampilan Arsinta tidak berbeda, istrinya itu selalu glamour dan sexy diusianya yang tak lagi muda. Setidaknya, masih bisa memancing hawa nafsunya.

Arsinta mengusap dada Ayah Aryan. "Ke kantor ngapain emang, Mas? Tumben banget nggak ngasih tahu aku."

Jari-jemari Arsinta mengusap sensual dada bidangnya, lalu menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Ayah Aryan menahan napas, dengan tangan yang mengusap punggung Arsinta yang terekspos.

"Mas nggak tega bangunin kamu. Toh, ke kantor juga cuma sebentar. Mas ada urusan dengan Farraz." Kepala Arsinta mendongak, menatap wajah suaminya yang tidak lagi muda, tetapi di matanya Aryan masih tetap tampan.

"Memangnya urusan apa, Mas? Penting banget ya? Sampai harus dibicarakan di kantor, bukannya Farraz sibuk ya di jam-jam gini," ujar Arsinta.

Masa bodo ketika para maid melihat kemesraan mereka, seisi rumah juga sudah tahu bahwa majikannya selalu romantis kalau sudah berdua.

Lagi pula keduanya pasangan suami-istri, tidak ada salahnya mereka berdekatan seperti ini.

Perihal perintahnya yang menyuruh Farraz untuk menikah lagi, Ayah Aryan memang tidak memberitahukan istrinya.

"Mas berniat menikahkan Farraz lagi, Sin. Sebagai seorang Ayah, Mas hanya ingin dia memiliki keturunan agar bisa meneruskan bisnisnya di masa depan kelak."

Mata Arsinta membulat sempurna. "Apa?! Ngapain Mas nyuruh dia nikah lagi? Mas 'kan tahu anak itu seperti apa, dia pasti nggak bakalan setuju."

"Entahlah Sin. Mas sudah memberikan dia ancaman, setuju atau tidaknya itu terserah dia. Semoga saja dia menurutui permintaan Mas ini."

Gerakan tangan Arsinta didada suaminya terhenti. Sebenarnya ia tipikal orang yang masa bodo dengan urusan anak tirinya itu, sekarang ia jadi penasaran. Apa alasan suaminya ingin menikahkan Farraz kedua kalinya?

Mengingat Farraz yang sang mencintai istrinya, tentu bukan hal yang mudah. Sebagai seorang wanita dewasa, Arsinta tahu bagaimana rasanya jika hati ini sudah mencintai seseorang.

Dulu saja dia rela menjadi wanita simpanan, hanya karena cinta. Beruntungnya Aryan meminangnya dan menjadikan dia sebagai istri, mereka menikah dalam keadaan menjanda menduda dengan anak satu.

"Ancaman apa? Mas pikir dia bakalan tunduk? Aku tebak, Farraz nggak bakalan perduli dengan ancaman Mas itu," pungkas Arsinta meremehkan.

"Kita lihat saja nanti. Ancaman Mas nggak bakalan main-main. Kalau dia nggak mau menuruti permintaan Mas, Mas akan menyerahkan jabatan CEO kepada Yoga!" tegas Ayah Aryan.

Senyuman Arsinta semakin sumringah mendengar keputusan suaminya ini. Ini hal yang ia tunggu-tunggu sejak lama. Arsinta sangat menginginkan anaknya—Prayoga menduduki jabatan tertinggi di perusahaan suaminya.

Sayangnya, sejak dulu keinginan itu tidak terwujud. Mengingat suaminya memiliki putra bahkan sedarah dengannya, membuat keinginan Arsinta pupus.

Ia rela melakukan apa saja, demi kehidupan sang putra. Sudah cukup mereka menderita di masa lalu, sebagai seorang Ibu, Arsinta pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.

"Ya sudah sih Mas. Jika Farraz menolak nggak usah di paksain. Mas 'kan masih mempunyai satu putra lagi, yaitu Yoga. Dia juga belum menikah. Suruh Yoga menikah saja, supaya dia bisa memberikan kita cucu," rayu Arsinta, menahan rasa riang gembira ketika mendengar hal ini.

"Pasalnya, kinerja kerja Prayoga belum bisa memuaskan, Sin. Dia harus banyak belajar dalam dunia bisnis. Baru dua tahun juga dia bekerja di dunia bisnis, masih banyak hal yang harus Yoga pelajari."

"Mas meremehkan anakku? Setahuku, Prayoga itu anak yang cerdas dan juga ambisius. Kenapa nggak Mas coba dulu aja?"

Lama-lama Arsinta semakin geram saat putra semata wayangnya selalu dibanding-bandingkan dengan anak suaminya itu. Dimatanya, Prayoga merupakan anak yang cerdas dan juga ambisius.

Ayah Aryan mengusap rambut panjang Arsinta yang mulai terbawa emosi. Mungkin perkataannya selalu menyinggung anak tiri dan istrinya, tapi inilah kenyataannya.

Kinerja kerja Prayoga masih belum bisa memuaskan, masih banyak hal yang harus anak sulungnya pelajari. Terjun kedunia bisnis tidak boleh sesembarangan itu, karena bisa berdampak pada perusahaan.

"Dunia bisnis bukanlah ajang percobaan, Sinta. Kamu tidak akan paham soal ini. Sudahlah, biarkan Farraz dan Yoga menjalankan tugasnya masing-masing." Tanpa membantah ucapan suaminya, Arsinta memilih untuk diam, bicara pun percuma nantinya.

***

Dengan langkah tergesa, Prayoga buru-buru turun dari mobil untuk segera masuk ke dalam rumah. Tanpa membalas sapaan para maid yang menyapanya. Pria dewasa berumur 30 tahun mengedarkan pandangan, mencari dimana keberadaan Ibunya.

Saat du kantor, Prayoga merasa senang bukan kepalang, pikirannya terngiang-ngiang dengan ucapan Ayahnya tadi siang. Ia juga bisa melihat, kalau Ayah Aryan mengatakan ini dengan sungguh-sungguh.

Baguslah, semoga Farraz menolak permintaan Ayahnya agar semua jabatan dan warisan Ayah tirinya itu menjadi miliknya.

"Ibu! Bu! Ibu!" teriaknya dengan tak sabaran.

"Bu ... Ibu kemana sih?"

"Ah ... ah ... Mas Pelan-pelan!"

"Nghh ... Mas Aryanhhh ... Pelan-pelan!"

Ketika akan mengetuk pintu, tangannya kembali ia tarik kala mendengar suara desahan di kamar orangtuanya.

Prayoga menghembuskan napas, mendengar suara seperti itu bukanlah suatu hal yang asing baginya. Dari zaman mereka berpacaran sampai sekarang, Prayoga sering mendengar desahan erotis Ibunya.

Padahal ia sangat bersemangat untuk pulang, ingin menceritakan perihal ini kepada Ibunya. Ini bukan waktu yang tepat, kedua orangtuanya sedang menikmati kebahagiaan di kamar sana.

"Ck, tidak sadar dengan umur. Sudah tua masih saja suka bercinta! Membuatku tegang saja!"

Dari pada berlama-lama didepan kamar orangtuanya yang akan memanaskan indera pendengarannya, Prayoga memilih untuk pergi saja. Ia akan membahas hal ini ketika mereka sudah selesai dengan kegiatannya.

Di dalam sana, kedua insan yang baru selesai bercinta terkapar lemas diatas ranjang dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Beginilah kegiatan mereka ketika kedua anaknya tidak ada di rumah. Menghabiskan waktu dengan bercinta sepanjang hari.

Dilihatnya wajah lelah sang suami, Arsinta kembali memakai gaun tidurnya. Mengingat hari sudah mulai malam, sepertinya putranya sudah pulang.

"Ya Tuhan, sudah jam 8 malam. Berapa jam aku bercinta dengan Mas Aryan?"

"Kamu memang luar biasa, Arsinta," puji Ayah Aryan, kemudian menutup matanya untuk ke alam mimpi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status