Share

Bab 05. Rencana Ibu Dan Anak

Arsinta berjalan kearah kamar putranya, menurut para maid, Prayoga sudah pulang beberapa menit yang lalu. Saking asiknya bercinta, Arsinta tidak nenyadari jika putra kesayangannya sudah pulang.

Sebelum masuk ke dalam kamar, Arsinta merapihkan penampilannya terlebih dahulu. Memalukan jika Prayoga mengetahui jika dirinya baru selesai bersenang-senang dengan suaminya.

Arsinta meringis, merasakan denyutan di area selangkangannya. Walau umur mereka sudah tua, tidak bisa dipungkiri jika Tuan Aryan masih ganas soal ranjang. Akibat gerakan kasarnya, membuat Arsinta kewalahan.

"Nak ... ini Ibu, boleh Ibu masuk?" Arsinta mengetuk pintu kamar putranya.

"Yoga ... kau sudah tidur?"

"Masuk aja Bu, aku baru kelar mandi!" sahut Prayoga di dalam kamarnya.

Sesudah dipersilahkan masuk, Arsinta memutar handle pintu dan melangkah memasuki kamar putranya.

Netra Arsinta mengedar, mencari dimana kebaradaan anak semata wayangnya itu. Pasalnya kamar sang putra sangat gelap gulita, hanya ada temaram lampu tidur saja.

Dengan hati-hari, Arsinta melangkah di tempat gelap ini. Takut kakinya tersandung sesuatu, lantaran tempat ini gelap sekali.

"Aku di belakang Ibu loh, masa nggak kelihatan?" Arsinta tersentak saat Prayoga memeluknya dari belakang, ia kaget karena sang putra memeluknya dengan tiba-tiba.

"Ini anak, bikin Ibu kaget aja! Lagian kenapa sih kamar kamu digelapin segala? Kepala Ibu pusing kalau ke tempat gelap kayak gini," gerutu Arsinta, siap mengeluarkan omelan andalannya.

"Yoga lupa nyalain lampu, Bu. Habis pulang langsung mandi, gerah banget soalnya."

Prayoga mengeratkan pelukannya, sesekali mencium pipi wanita yang sudah melahirkannya. Prayoda begidik ngeri, indera penciumannya bisa mencium aroma parfume Ayah tirinya yang melakat di badan Arsinta.

Arsinta mengelus punggung tangan Prayoga, tidak terasa jika anak yang selalu digendongnya sudah beranjak dewasa, bahkan sudah berumur 30 tahun.

Dari Prayoga bayi hingga sekarang, hanya Arsinta yang membesarkan anaknya sendirian. Dari kecil, Prayoga hidup tanpa seorang Ayah. Akibat kesalahan Arsinta yang terlena dengan gombalan sang buaya, hingga lahirlah Prayoga. Ayah kandungnya entah kabur kemana, yang jelas pria itu tidak bertanggung jawab.

"Kamu kelihatannya sedang bahagia, Nak. Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu senang? Oh, Ibu tahu, kau pasti senang karena Ayahmu?" tebak Arsinta pada putranya.

"Bagaimana Ibu bisa tahu? Padahal aku belum cerita padamu, Bu."

"Yoga ... Yoga ... Ibu tahu apa pun tentang kamu, Nak. Syukurlah jika kau senang karena hal itu. Tapi Nak, untuk mendapatkan jabatan tertinggi dan warisan Ayahmu tidak akan segampang itu."

Yang dikatakan Arsinta memang benar. Ayah tirinya itu sangat protektif jika urusan pekerjaan dan warisan, dia tidak mungkin menyerahkan begitu saja seluruh warisannya.

Selama ada Farraz, keinginan untuk menguasai kekayaan keluarga Arsawijaya kedengarannya sangat mustahil. Dari awal juga ia selalu kalah saing jika berhadapan dengan Farraz.

Ia akui, jika adik tirinnya itu orang cerdas. Dengan kemampuan otaknya, adik tirinya itu mampu menarik perhatian para kolega bisnis dan sering memenangkan tender, dikala sedang ada pertarungan bersama para pengusaha lainnya.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Bu? Supaya aku bisa menduduki jabatan tinggi dan mendapatkan warisan Ayah?" tanyanya.

"Kita harus menghasut Farraz agar dia tidak menyetujui permintaan Mas Aryan. Tapi ... mengingat Farraz itu anak yang cerdas, akan sulit bagi kita untuk menghasutnya. Dia tidak akan mudah terhasut oleh kita," balas Arsinta.

Prayoga mendudukkan bokongnya di atas ranjang, sembari berpikir panjang. "Satu-satunya penghalangku adalah Farraz. Aku harus memikirkan berbagai cara, agar Ayah memberikan warisannya atas namaku. Bukankah aku juga anak Ayah? Aku juga berhak mendapatkan sebagian hartanya."

Ah, ingin sekali Arsinta berkata jika Prayoga adalah anak tirinya. Akan tetapi ia tidak tega. Apalagi jika teringat, bagaimana suaminya memperlakukan keduanya, Farraz lebih diutamakan dibandingkan dengan putranya.

Di dalam kamar bercat putih itu, Ibu dan anak sedang berpikir. Memikirkan bagaimana cara agar Prayoga bisa mendapatkan segalanya.

Putranya sudah banyak menderita, Arsinta tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kehidupan mereka jauh lebih baik ketika Arsinta menikah dengan suaminya. Berkat suaminya, keduanya mendapatkan hidup yang layak.

"Bagaimana Bu? Apa Ibu memiliki rencana?"

Ibunya menggeleng pelan. "Tidak. Ibu belum punya rencana untuk saat ini. Bagaimana jika kau bersabar terlebih dahulu. Nikmati jabatanmu yang sekarang, Nak. Masih untung Ayahmu masih memberikanmu jabatan, jika tidak, maka sia-sia ijazah kuliahmu itu."

Raut wajah Prayoga menandakan tidak suka. "Sampai kapan aku menunggu? Si pria kaku itu selalu saja menghalangi jalanku. Ibu tidak tahu, bagaimana dia memperlakukanku di kantor. Aku sangat muak dengan sikapnya yang semena-mena seperti itu!" ketus Prayoga. Sontak dibekap oleh Arsinta.

"Pelankan suaramu, Yoga! Bagaimana jika ada yang mendengar? Kau ingin rencana kita gagal?"

"So, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus diam saja ketika pria kaku itu terus meremehkanku? Apa Ibu tega membiarkanku menjadi bahan olokannya?"

"Sabarlah Nak, Ibu akan mencari cara. Ibu akan merayu Ayahmu agar dia mengangkatmu sebagai CEO di kantor. Ayahmu bilang, kinerja kerjamu kurang memuaskan. Maka dari itu, kau harus banyak belajar agar Ayahmu puas dengan kerja kerasmu!" tegas sang Ibu.

"Jika Ibu tidak bisa merayu Ayah, biar aku saja yang akan memikirkan rencanaku sendiri. Ibu bisa keluar dari kamarku!"

"Kau mengusir Ibumu, Yoga? Ibu memintamu untuk bersabar. Memang sesulit itu? Terserah kau saja mau berbuat apa. Ibu cuma ingin memberi pesan, jangan sampai orang lain tahu tentang renacana kita."

***

Di samping brankar sang istri, Farraz tidak berhenti menahan tangisnya. Ia terisak sembari menggenggam erat tangan istrinya yang belum sadarkan diri. Menemui Grisella adalah obat dari segala apa yang ia rasakan.

Termasuk kebingungan yang saat kini mengganggu pikirannya. Baru kali ini dia sebingung ini, dia dibuat kalah telak oleh Ayahnya.

Keputusan sang Ayah siang tadi sudah bulat, tidak bisa diganggu gugat lagi. Tidak ada cara lain, cara satu-satunya adalah menerima permintaan sang Ayah. Karena jika tidak, dia akan hidup sebatang kara dan tidak akan mampu membayar pengobatan istrinya.

"Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf."

"Saat ini, aku harus terpaksa menerima permintaan Ayahku, Sella. Demi masa depan kita dan demi kesembuhanmu. Maafkan aku sudah melanggar janji pernikahan kita."

"Sekali lagi maafkan aku. Sekali pun aku mempunyai istri lain, hanya kau wanita yang aku cintai, Sella. Aku mohon ... bangunlah. Aku sangat membutuhkanmu."

Ruangan inap Grisella diisi oleh suara isak tangis Farraz, entah berapa lama ia menangis, sampai-sampai sesenggukan begini.

Farraz juga lupa, kapan terakhir kali menangis. Tanpa diduga-duga. Ia menumpahkan segala kelemahan dirinya dihadapan sang istri.

Ini sangat memalukan, harusnya ia tidak boleh lemah dan harus bisa melewati masalah ini. Yang membuat Farraz menangis bukan karena ancaman sang Ayah, melainkan munculnya perasaan bersalah karena pada akhirnya ia harus menyetujui permintaan Ayahnya yang selalu menuntut keturunan.

"Kau tenang saja, sayang. Hanya kau satu-satunya wanita di hatiku. Aku akan memberikan pelajaran pada wanita yang bersanding denganku nanti, aku tidak akan memaafkannya. Aku membenci takdir ini, dimana aku harus disatukan dengan wanita yang tidak aku cintai nantinya."

"Aku benar-benar akan memberikan pelajaran, supaya dia tahu akan posisinya. Aku harap kau segera sembuh dan kembali lagi padaku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status