Share

2 | Bukanlah Istri Kedua yang Sesungguhnya

Tak ada apapun yang bisa aku gunakan untuk berkomunikasi, sekedar menelpon mama. Ini sudah dua hari lamanya, aku sendirian di rumah ini. Tanpa ada siapapunun yang menemaniku, hanya bertemankan sepi.

Sudah dua hari pula setelah malam pertama itu, Ryan tidak kelihatan batang hidungnya. Ia bak menghilang setelah mengambil keperawananku. Terlalu klise membuatku cepat bosan. Aku melakukan aktivitas yang itu-itu saja selama dua hari ini. 

Tidur, makan seadanya, melamun, mandi, tidur, bangun, dan mengulangi hal yang sama. Untungnya adalah Ryan telah mempersiapkan isi dapurnya, sehingga membuatku tidak kelaparan ada di rumah ini. Satu helai pakaian pun, aku tidak punya. Aku menggunakan baju kebesaran yang aku duga ialah milik Ryan.

Biasanya, aku akan selalu disibukkan dengan tugas kampus, kini hilang sudah. Harapan cita-cita yang disusun rapi, sudah tidak ada gunanya lagi. Bahkan aku tidak tahu sampai kapan Ryan mengurungku di tempat ini.

Plak...

Aku kaget, tersadar dari lamunanku. Ada yang menepis bokongku dan dari bayangannya itu seperti Ryan. Sejenak, aku menghirup bau alkohol. Sudah pasti Ryan mabuk, hingga melakukan itu padaku. Kenapa dia datang padaku dalam keadaan mabuk?. 

"Kenapa kamu semakin terlihat sexy ketika memakai bajuku, baby girl?" Bisik Ryan. Sudah aku duga, ia mabuk. 

Tangannya mulai menjalar memasuki kaos yang aku pakai, sedangkan yang satunya lagi memelukku dari belakang. Ia sudah mulai menghipnotisku dengan sentuhannya. 

Aku menahan diriku untuk tidak mendesah, atau nanti Ryan akan memukulku. Di malam pertama kami, dia melarangku untuk melakukan itu seakan-akan kita berdua menikmatinya. Mulut bisa saja berbohong, tapi berbeda dengan tubuh yang terlena dengan buaiannya.

Dia juga sangat melarangku untuk menatap matanya langsung. Ia berkata kalau hanya istri pertamanya saja yang berhak menatap matanya. Tentu saja aku sakit hati, secara naluri aku sudah sangat boleh melakukan itu, padahal. 

"Kamu tidak pakai bra?" Tanya Ryan, tepat di dekat telingaku. Seketika bulu kudukku berdiri, aku merinding dengan yang dilakukan Ryan sekarang. Ia sudah berada di titik terlemahku.

"Ryan, kamu mabuk." Ucapku tertahankan. Menahan rasa ini, sangatlah menyakitkan. Aku dipaksa lemah, padahal aku juga mau melakukan hal yang lebih. 

Ryan membalik tubuhku paksa. Aku menunduk, tidak mau melihatnya. Aku terus saja menunduk, melihat kaki ku sendiri. Ryan menaikkan daguku, aku menutup mataku rapat.

Belum cukup, Ryan mengumpulkan kedua tanganku ke belakang, dia meraba wajahku dengan satu jarinya. Ah, ini sangatlah menyakitkan. Kenikmatan yang sama sekali tidak bisa dinikmati. 

"Buka matamu, baby girl. Kamu harus melihatku saat aku menginginkannya." Lirih Ryan.

"Kamu akan memukulku kalau sampai berani membuka mat--"

"Awww..."

Belum saja selesai bicara, Ryan malah menampar bokongku lagi. Terlalu keras, hingga membuatku langsung membelalakkan mata. 

Deg.

Aku terpaku melihat Ryan sekarang ini. Mata yang sayup nan gelap, bibir yang basah, semuanya membuatku tidak bisa berpikir dengan baik. Terlebih wajahnya yang tampan, sama sekali tidak bisa aku tolak. Semua bentuk keindahan ada pada Ryan. Andai aku bisa melihatnya menggagahi ku, mungkin aku tidak akan melupakannya. Hanya saja, untuk kesekian kalinya, aku hanya bisa meraba, bukan melihat.

"Kamu akan memukulku kalau sam--"

"Mmmm.."

Ryan langsung menciumku, dengan agresif bahkan sampai mengigit bibirku. Gerakannya tidak bisa aku imbangi, karena sejatinya aku juga pemula dalam hal ini. Aku hampir saja mengeluarkan suara itu, karena sentuhan Ryan pada pahaku yang terbuka. 

Suara decapan ini terdengar begitu jelas, tapi hanya aku dan Ryan saja yang bisa mendengarnya. Lama-kelamaan aku terlena dengan kecupan Ryan, aku sedikit bisa mengimbanginya. 

"Kamu harus jadi budak ranjangku, baby girl." Lirihnya sesaat setelah bibir kami berpisah. Ia mengatakan itu, menghancurkan moodku. Aku seperti di buang setelah ia mendapatkan manisnya. Bak habis manis sepah dibuang. 

"Jangan terlalu berharap ada cintaku untukmu. Cintaku hanya untuk istri pertamaku, kamu tidak berhak mendapatkannya. Kamu, hanya lah budak ranjangku."

Deg.

Definisi kesakitan ada dalam setiap kata yang dirangkai Ryan untukku. Dia menyakiti dengan kata-kata racunnya.

"Tap--"

"Berani menolak, aku bisa menghukum mu baby girl."

🍃🍃🍃

Mabuk, tidak menjadikannya memperlakukanku dengan baik. Ia kasar, bahkan aku sampai berteriak di setiap gerakannya. Ia seperti melampiaskan emosinya padaku. Tubuhku terasa sakit, ngilu.

Padahal sudah satu jam yang lalu, aku masih tak kunjung berhenti menangis. Pasalnya, Ryan tidak hanya menyakitiku dalam bentuk fisik, tapi juga batin. Dia menghinaku, mencaciku di sela gerakan kenikmatan yang ingin dia raih sendiri. Dia bahkan menamparku.

"Kamu hanyalah budak ku, jangan terlalu berharap lebih." 

Kata itu masih terngiang-ngiang di otakku. Semakin aku mengingatnya, aku semakin ingin menjauh dari Ryan. Apalah daya, dia tidak membiarkanku untuk pergi dari atas ranjang ini. Ia menarik tubuhku untuk lebih dekat dengannya. 

Ia tertidur lelap, sedangkan aku menangis meratapi nasibku. Sungguh malangnya diriku ini.

Terasa kasur di sampingku melesak. Itu pasti Ryan yang bangun. Siapa lagi?, Tidak ada orang lain di sampingku sekarang ini.

"Aku pulang. Dua hari lagi aku akan kesini." Ucapnya. 

Terserah, aku sudah tidak perduli lagi. Toh juga, pada dasarnya kamu memiliki untuk dijadikan sebagai budak ranjang, bukan istri kedua mu. Perasaan luluh yang aku miliki di malam pertama, sirna sudah sejak detik ini.

"Jangan lupa makan, baby girl." Bisiknya, mengecup pipiku singkat. Tidak lama, terdengar suara pintu yang di tutup.

Ia seharusnya mengatakan, " Jangan lupa mati ya, baby girl."

Aku lebih nyaman dengan kalimat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status