Share

4 | Hamil

Hanya menggunakan handuk, aku keluar dari kamar mandi. Aku pikir, dia akan sama seperti sebelumnya. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, mendapatkan kenikmatan yang menjadi alasannya ke rumah ini, dia akan pergi meninggalkanku. Malah, yang aku lihat, dia bersandar santai dan menghadap ke arah kamar mandi. Tepatnya ke arahku. Aku menatapnya nanar, dia terlihat tenang. Memperlihatkan tubuhnya yang begitu kuat. Tapi maaf, perlakuannya pada wanita sangat lah buruk. 

"Wow…" Ucapnya, memperhatikanku dari atas sampai bawah. Pria ini hanya menginginkan tubuhku saja. 

Mengabaikannya, bahkan tangisku pun belum bisa aku redakan. Melengos begitu saja, aku keluar dari kamar ini. Menutup pintu dengan tidak sabaran hingga menimbulkan suara yang keras. 

Berlari, aku menuju dapur. Untung saja dapur ini tertutup, aku bisa menguncinya dari dalam. Aku menangis sejadi-jadinya di ruangan ini, menyambung kegiatanku tadi saat di kamar mandi. 

"Kenapa aku harus mendapatkan semua ini? Kenapa hidupku sangat lah tidak adil?" Tangisku.

Seakan orang tuaku sendiri lah yang menjual ku pada Ryan, demi hutang akibat perbuatan mereka sendiri. Memiliki adik yang ternyata ada hubungan gelap dengan kekasihku sendiri. Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Semuanya mengkhianati diriku. Aku seakan sudah tidak punya alasan untuk hidup.

Tok… Tok…

"Baby girl?" 

Aku muak mendengar suara itu. Suara pria yang menghancurkanku dengan segala tingkah manisnya nan busuknya.  Sejenak, dari kata-kata yang keluar dari mulutnya, terdengar begitu manis. Tapi nyatanya, hatinya terbuat dari api iblis. Mungkin saja dia sebelas dua belas dengan Gio.

"Baby girl!"

Dia semakin kuat mengetuk pintu. Aku merasa tertekan, kepalaku pusing tidak bisa berpikir lagi. Aku hanya bisa menutup telingaku dengan kedua tanganku, berharap tidak mendengar suaranya lagi yang terus-terusan memanggilku dari luar. 

Berada di balik pintu dapur tidak aman bagiku. Memilih berlindung di bawah meja makan, memeluk diriku sendiri dengan keadaan yang hanya terbalut handuk saja, itu pun cukup pendek. 

Semakin pusing, entah kenapa. Atau ini karena aku terlalu stress sehingga kepalaku terasa begitu berat dan sangat lah pusing. Akhir-akhir ini aku juga tidak bisa tidur dengan tenang. 

Brak...

Dia berhasil menghancurkan pintu dapurnya sendiri. Dasar pria perusak. Perusak hidupku. 

"Clara!"

Aku membungkam mulutku sendiri, supaya tidak mengeluarkan suara. Nyatanya, bukan kah itu percuma saja?. Aku tidak mungkin keluar dari jendela, bukan?. Itu sangat tinggi dan aku tidak punya sesuatu yang bisa aku naiki untuk sampai di sana. 

Berhasil ditemukan. Ryan menyingkap kain penutup meja tempatku bersembunyi. Aku semakin memeluk diriku sendiri. Tidak mau melihatnya.

"Keluar!" Ujarnya membentak, membuatku sampai terkejut. Aku tetap tidak mau keluar, tetap pada pendirianku untuk berada di bawah meja ini.

Tiba-tiba saja, dengan teganya Ryan menarik tubuhku paksa agar keluar dari bawah meja. Aku tidak terima, menendangnya beberapa kali sampai pada akhirnya dia melakukan tindakan kasar lagi. Sungguh tidak bisa di percaya, aku akan mendapatkan hal itu dari suamiku sendiri. Aku yang pernah bermimpi memiliki suami yang begitu perhatian, memenuhi segala kebutuhan dan keinginan ku nantinya, memandangku dengan penuh cinta, menjadikanku sebagai perempuan satu-satunya, hanya lah sekedar mimpi saja. Nyatanya, itu masih jauh dari kata realita kehidupan yang ingin aku capai. 

Plakk...

"Kalau di suruh keluar, ya keluar! Jangan ngeyel!" Bentaknya. 

Aku bahkan masih berada di bawahnya, mematung. Tidak bisa mengerti dengan segala penderitaan yang aku alami saat ini. Kenapa Ryan begitu tega?.

Dia bahkan mengangkat tubuhku paksa. Aku belum bisa mengatakan apapun, seperti Mannequin yang terus saja diam meski bagaimana pun perlakuan mereka padaku. 

Ia menghela nafas panjang, memenjarakan ku dengan lengan panjang dan kuatnya sampai aku tidak bisa kemanapun. Aku bahkan baru menyadari kalau dia hanya memakai celana pendeknya saja. 

"Baby girl, coba kamu menurut padaku. Mungkin aku tidak akan melakukan hal yang kasar padamu." Ucapnya. Aku diam, tatapanku kosong. 

Dia tidak hanya melakukannya sekali atau dua kali, tapi berkali-kali. Bahkan tadi saat tubuh kita menyatu pun, dia masih memukulku. Aku tidak mungkin bermimpi. Terasa begitu nyata bagaimana tangannya itu bertemu keras dengan kulit tubuhku. 

Dia pergi ke kulkas, menumpahkan air ke dalam gelas sampai penuh. Dia membawakannya untukku. 

Prang....

Aku menepisnya. Tidak suka dengan segala perlakuannya. Tidak menyukai pemberiannya, sama sekali. Sudah cukup rasa sakit ini saja yang aku simpan untuk diriku sendiri. Ketika nama Ryan di sebut, maka yang aku ingat adalah perlakuan kasarnya. Bukan posisinya dia yang menjadi suamiku. Apakah aku pernah dianggap sebagai istri olehnya?.

"Shit!" 

"Awww..."

Ryan menarik rambutku kuat. Saking kuatnya, aku sampai merasa kalau rambutku akan lepas sekarang juga. Tidak hanya itu, dia juga mencekik leherku sampai aku tidak bisa menghirup oksigen dengan baik.

"Jangan terlalu sombong, kamu hanya lah seorang budak. Kamu tidak ada bedanya dengan gelas yang kamu pecahkan tadi." Bisik Ryan, tepat di dekat telingaku. 

"Le...pas."

Aku kesusahan nafas. Semakin lama, tangan besar Ryan semakin mencekik leherku. Berusaha melawan, tapi percuma. Tenaganya lebih kuat daripada diriku. 

Ryan tidak lagi mencekik ku. Aku langsung menghirup oksigen yang ada di sekitar ku. Baru saja aku melakukannya, merasa lega, Ryan kembali berulah dengan melepas handukku dan menggodaku dengan tangannya yang nakal. Hal itu membuatku kembali kesusahan bernafas. 

"Kamu tidak bisa berbohong, baby girl. Kamu tetap menikmati permainanku." Gumamnya pelan.

"Ya, seperti ini lah tugas seorang budak. Di rendahkan." Ujarnya lagi.

Aku tidak terima. Sekuat tenaga aku memberontak darinya. Aku tidak bisa lepas sedikitpun, membuatku tidak punya pilihan lain selain menendang adiknya yang hanya terbungkus kain tipis.

"Awww..."

Aku berhasil terlepas darinya. Meski aku dalam keadaan yang tidak pantas, aku mencoba kabur dari Ryan. Pada akhirnya, dia berhasil menarikku lagi, menahanku dengan kedua tangannya dari belakang. Kembali memberontak, rasanya percuma. 

Tubuhku semakin lemas. Rasa pusing yang datang sangat lah hebat. 

"Masih mau mencoba menolak Tuanmu? Hah?"

"Please, lepaskan aku." Pintaku. 

"Tidak akan." Ucapnya.

Tidak. Aku tidak bisa mengendalikan hal ini. Aku semakin pusing, dan Ryan semakin mengikatku erat dengan kedua tangannya.

"Lepasssssss!"

Hitam.

🍃🍃🍃

"Kamu hamil." 

Dia hanya mengatakan itu padaku saat siuman. Aku pingsan dalam kendalinya. Setelah mengatakan itu, ia langsung pergi dari rumah ini. Siapa lagi kalau bukan istrinya yang menjadi alasannya. Dia hanya meninggalkan satu buah ponsel yang bisa aku gunakan untuk menelponnya. Hanya dirinya, karena kontak yang lain tidak bisa dihubungi. Aku sudah mencoba untuk menghubungi sahabatku, tapi percuma. 

"Sampai kapan pun, aku tidak akan mau memiliki anak dari mu, Ryan. Aku akan menggugurkan anak ini secepatnya." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status