Share

5 | Hanyalah Seorang Gadis Seharga 1 Milyar

Satu jam kemudian, dia sudah kembali ke rumah ini. Aku pikir, dia akan ke sini 2 minggu lagi. Entah, ia terlihat begitu tampan di mataku sekarang ini. Tidak terlihat sama sekali kalau dia punya hati bak iblis, memperlakukanku dengan kasar. Tapi maaf, perasaanku sudah tidak ada untuknya. Untuk dirinya yang selalu menyakiti diriku.

Aneh. Dia begitu aneh. Dia langsung ikut berbaring denganku, memelukku bak tidak pernah terjadi apapun. Kenapa dia harus seperti ini? Aku bahkan lebih nyaman dengan perlakuan kasarnya sekarang.  

"Butuh sesuatu, baby girl?" Tanyanya, padahal matanya masih tertutup rapi. 

'Iya, aku butuh kamu melepaskan ku dari status pembodohan ini. Istri kedua? Hey! Ini bahkan penyiksaan batin.' batinku.

Aku mengabaikannya, melepaskan tangannya dari pinggangku. Entah kapan aku memakai baju. Tapi seingatku, terakhir kali dia lah yang melepas handuk yang aku pakai di dapur. 

Melihatku bangun, dia juga bangun. Aku keluar dari kamar, meninggalkannya dengan ekspresi kebingungan. Tidak, hatiku butuh ketenangan. Terlalu banyak pikiran negatif yang masuk ke dalam pikiranku saat ini.

Entah kenapa aku ingin sekali masuk ke ruangan yang satu ini. Namun sayangnya ruangan itu terkunci rapat seakan-akan ada rahasia besar yang ada di dalamnya. Tidak, suatu hari nanti, aku akan masuk ke ruangan itu, melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Aku berjalanan menuju belakang rumah. Kemarin, aku baru menemukan tempat ini setelah 2 minggu lebih berada di rumah ini. Halaman belakang dengan kolam ikan di tengahnya. Ah iya, ada bangku panjangnya juga. Minimalis memang, tapi sepertinya bisa membuat pikiranku lebih lega dari sebelumnya. 

Semakin lama melihat ikan itu berenang kesana-kemari, aku ingin memberinya makan. Untung saja di sampingnya sudah tersedia pakan ikan, entah sejak kapan. Aku melakukan tes ombak, memberikannya sedikit. Baru saja melakukannya, semua ikan ini berebutan ingin mendapatkan pakan ikan itu. Membuatku senang, aku semakin banyak memberikan mereka pakan. Sebisa mungkin semuanya mendapatkan hal yang sama. 

Kadang, ada yang terlalu aktif sampai menyipratkan air itu saat mereka berenang. Hampir baju bagian depanku sudah basah karena ke-aktifan mereka. Tapi ya, aku sedikit bisa tenang dari sebelumnya. 

"Apakah aku perlu membuatkan kolam ikan di kamar mu, baby girl?"

Suara itu membuat tanganku berhenti memberikan pakan ikan. Menghela nafas panjang, aku bangun dan meninggalkan tempat ini. Tidak memperdulikan Ryan yang bersandar di pintu dengan senyuman anehnya. 

Aku menuju dapur. Haus. 

Tapi ternyata tujuanku tidak hanya minum saja. Melihat ada stok mie instan yang begitu banyak di samping kulkas, membuatku jadi ingin memakannya. Memang, makanan ter-enak versiku adalah mie instan. Aku yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari mama dan papa, makanan ini lah yang menjadi penyelamatku.

Saking senangnya, aku memasak dua bungkus sekaligus. Terlalu biasa, aku menambahkan sawi dan satu telur ke dalam mie. Aromanya sudah menyeruak masuk ke Indra penciumanku. 

"Astaga…."

Hampir saja aku melepas panci mie ini. Aku kembali dikejutkan dengan kehadiran Ryan di meja makan. Ia menumpu dagunya sambil melihat ke arahku. Ada apa dengan pria ini?.

"Kamu tidak boleh memakan itu, baby girl. Akan beresiko untuk kehamilanmu." Ucapnya. 

Aku menatapnya tajam, begitu intens. Kenapa sekarang dia peduli disaat aku sudah sangat membencinya?. Aku benci dirinya dan setiap yang ada pada dirinya. 

Sama sekali, aku tidak mendengarkannya. Aku malah semakin menantangnya. Duduk di depannya dan makan mie instan ini dengan santai. Hampir setengah sudah masuk, tinggal setengah lagi, tapi aku butuh air minum. Baru saja hendak bangun, bahuku di tekan untuk duduk kembali. Ia memberikanku air minum.

Aku tidak menerima pemberiannya. Mengambil gelas lain, mengisinya hingga full dan meminumnya hingga tandas. 

"Kenapa kamu tidak mau menerima pemberianku?" Tanya Ryan, terdengar dingin. Tapi maaf, aku tidak merasa terintimidasi sedikit pun. 

Aku mengambil panci mie ini, mau memilih tempat yang lain, yang sekiranya tidak ada gangguan lagi darinya. Baru saja aku melangkah, dia sudah menghancurkan sesuatu.

Prang…

"Kenapa kamu menolak ku?!" Tanyanya dengan suara yang keras. 

Aku tetap mengabaikannya. Membiarkannya dengan emosinya yang tidak jelas itu. Aku melanjutkan makan di depan televisi. Untuk pertama kalinya aku berada di depan benda ini. Biasanya pergerakan ku hanya seputar kamar dan dapur saja. Ah iya, halaman belakang juga.

Masih terdengar beberapa kekacauan dari dapur. Ryan melanjutkan kegilaannya. Beberapa kali terdengar suara seperti pecahan sesuatu. 

Anehnya, aku tidak takut sama sekali pada Ryan. Aku bahkan ingin menantang pria itu setiap saat. Aku ingin mengetahui seberapa sabar dia menghadapi istri kedua yang ternyata dia jadikan sebagai budak ranjang, dan berakhir dengan hamil?. Adalah suatu bencana buruk bagiku, dan aku akan menghilangkannya secepat mungkin. 

Anak ini sangat lah dibutuhkan oleh Ryan. Maka apapun yang berkaitan dengan Ryan akan aku hempaskan. Aku sama sekali tidak perduli.

"Clara!"

Sepertinya dia mendekat. Aura negatif darinya terasa begitu dekat denganku. Entahlah.

"Clara! Bangun dan jelaskan kenapa kamu menolak ku!" Teriaknya di depanku.

Aku mengabaikannya, melanjutkan makan. Namun tiba-tiba, dia malah merebut panci mie ini dengan paksa, membuat airnya menumpah ke badanku. Kuah mie ini masih panas. Beberapa mengenai pahaku, dan yang paling sakit adalah mengenai dadaku. Aku yakin, pasti sebentar lagi bagian yang kena akan kemerahan atau bahkan melepuh. Ini saja sudah terasa tidak nyaman sedikit pun.

"Jawab aku!" Paksanya lagi. Please, dia tidak melihatku yang tersiram air panas? Hanya memikirkan dirinya sendiri?.

"Mungkin kamu lah yang paling paham bagaimana rasa benci ini ada." 

Aku naik ke atas. Mengunci pintu dari dalam. Aku langsung berlari menuju kamar mandi, tanpa melepas baju aku langsung membiarkan tubuhku berada di bawah pancuran shower. Bagian yang terkena air panas terasa begitu nyeri. Aku mengepalkan tanganku, menahan rasa sakit ini. 

"Dasar iblis!"

🍃🍃🍃

Hampir 20 menitan, aku memperhatikan dadaku yang sudah terkena air panas. Sangat lah kemerahan, lebih dominan daripada warna kulitku. Pahaku juga demikian, tapi tidak semerah di dadaku. 

"Semoga saja tidak melepuh." Harapku.

Aku keluar dari kamar mandi, dan langsung terkejut dengan kehadiran Ryan di depan pintu kamar mandi. Dia berdiri tegap. 

"Berani-beraninya kam--"

"Kenapa ini? Kenapa kemerahan seperti ini?" 

Dia melihat dadaku yang kemerahan. Hampir mau menyentuhnya tapi aku menghempas tangan itu, menjauh darinya. Aku mengambil baju Ryan di dalam lemari. Baru saja hendak memakainya, ia langsung merebutnya dariku. Memaksaku untuk menghadapnya. 

Ia melepaskan handuk yang aku pakai,  menahan tubuhku untuk tidak memberontak. 

"Kenapa merah semua?" Tanyanya. 

"Kamu seharusnya jangan memperdulikan seseorang yang kamu hancurkan, Tuan Kaya." Ujarku dingin.

"Aku harus perduli!" Bentaknya.

"Aku hanyalah gadis yang kamu beli seharga 1 Milyar!" Balasku dengan suara yang tidak kalah besar darinya. 

"Tapi kamu lebih berarti dari itu," jawabnya.

Aku tertawa. Tentu saja. Dia membutuhkanku untuk menghasilkan anak bagi keluarganya.

"Karena kamu membutuhkan anak, bukan?. Aku akan menghilangkannya secepat mungkin, agar kamu tahu bagaimana rasanya sakit yang begitu mendalam, Tuan Kaya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status