Share

Istri Kedua Tuan Kaya
Istri Kedua Tuan Kaya
Author: limabersaudara

1 | Sejatinya, Tidak Ada Kasih Sayang

"1 Milyar!"

Syok. Aku kaget. Saking kagetnya aku bahkan sampai menggebrak meja dan menunjuk pria yang menyeringai padaku, saat ini. 

"Orangtuaku tidak mungkin punya hutang sebanyak itu!" Ucapku tidak percaya.

Aku melihat mama dan papa yang terus saja menunduk, sama sekali tidak pernah mengucapkan apapun setelah kedatangan Tuan ini. 

Pulang kuliah, aku sudah mendapatkan Tuan ini bertamu. Aku pikir hanya tamu biasa saja, karena sebelumnya papa juga sering kedatangan tamu serupa. Nyatanya, tidak. Aku baru mendapatkan kabar kalau papa bankrut, dan mempunyai hutang yang besar pada Tuan yang satu ini. Papa sudah tidak punya apapun, bahkan rumah yang kamu pijak saat ini sudah digadaikan, tapi belum menutupi hutang mereka.

Tuan ini berdiri, mengancingkan jasnya dan berjalan mendekatiku. Aku sangat tidak menyukai tatapannya itu, terlalu sombong bagiku. 

"Tenang, baby girl. Jangan emosi seperti itu," ucapnya. Tangannya sudah mulai nakal dengan memainkan rambutku. 

"Hutang kedua orangtuamu memang tidak sebanyak itu. Aku memberikan 1 Milyar untuk dirimu juga, baby girl. Ada syarat yang harus kamu penuhi," ungkapnya. Menyeringai lagi padaku. Aku sudah tidak nyaman dengan ini semua. 

Oke, aku mengakui kalau Tuan ini memang tampan, berwibawa, pembawaannya bagus, kaya raya, dan mungkin adalah idaman semua wanita yang ada di dunia ini. Bagiku, tidak sama sekali. Aku tidak membutuhkan pria yang begitu sombongnya mengenalkan harta kekayaannya pada semua orang, hanya demi sebuah pengakuan. Tidak, aku benar-benar tidak membutuhkan hal itu. 

Aku menghempaskan tangan Tuan Sombong yang satu ini. Menatapnya tidak suka, melengos begitu saja dan berjalan menaiki tangga. Di pertengahan tangga, ia kembali bersuara.

"Kalau kamu tidak melunasi hutang kedua orangtuamu, terpaksa aku akan memasukkannya ke dalam penjara. Aku hanya memberikan kamu syarat, baby girl. So, apa yang terlalu sulit bagimu?" 

Menghela nafas panjang, tidak kuat dengan semua ini. Aku berjalan lagi mendekatinya. Menarik tangannya untuk duduk di dekatku.

"Clara, kami mohon lunasi hutang kami berdua. Ini semua juga demi kamu dan Dani--"

Aku langsung menghentikan mama untuk berbicara. Selama ini aku diam, semakin tertindas. Bersuara pun semakin bersalah. 

"Demi aku dan Dania? Aku tidak salah dengar, kan ma?. Memangnya selama ini apa yang mama lakukan untuk Clara?. Tidak ada, kan?. Clara membiayai kuliah Clara sendiri, membiayai biaya liburan sendiri meski kita perginya bersama sekeluarga, Clara sampai lelah kerja seharian hanya untuk memenuhi kebutuhan Clara sendiri. Sedangkan Dania mendapatkan kasih sayangnya dari mama dan papa!" Ujarku, terlewat emosi. 

Aku tidak terima dengan semua ini. Aku lelah menjadi pihak yang salah terus. Tidak ada yang menyayangiku di rumah ini. Semuanya menyayangi Dania. 

"Mama membiayai kuliah Dania, I'm okey. Mama memberi uang jajan pada Dania, I'm still okey. Mama dan papa memberikan kasih sayang yang lebih pada Dania, I think it's just enough. But now, ketika kalian mendapatkan masalah, kalian lari pada Clara dan meminta bantuan. Sangat menyakitkan!" Ucapku.

"Kami mohon, untuk terakhir kalinya." Ucap papa, memohon. Bahkan sampai bersimpuh padaku seperti harga dirinya sebagai seorang ayah sudah ia perjualbelikan. 

Tidak. Sebenci apapun aku pada mereka, aku masih tetap menyayangi mereka. Melihat mereka berdua bersimpuh seperti ini, hati kecilku memberontak. Tanpa sadar, aku menangis. Aku benci lemah seperti ini. Aku benci tidak punya pendirian, hingga membuatku lebih mudah dimanfaatkan.

Aku menarik jas Tuan Kaya ini, menatapnya tajam. Ia terlihat santai padaku, tapi aku bukanlah orang yang bisa diajak bersantai-santai.

"Berapa hutang orangtuaku dan bagaimana caraku melunasinya. Cepat!" Paksaku. Aku ingin semua ini berakhir dengan cepat.

"Simple. Kamu hanya perlu menandatangani kontrak, maka hutang kedua orangtuamu bisa lunas detik ini juga."

Aku memperhatikannya yang mengeluarkan sebuah kontrak kerjasama. Ia menatapku lagi, dan memberikan kode padaku agar melihat kontrak tersebut.

Aku mengambil kontrak itu, mulai mencermati satu persatu kata yang tersusun di dalamnya. Aku tidak mau melewatkan satu pun kata yang membuatku merugi nantinya. Sebisa mungkin, aku menjadi pihak yang diuntungkan.

Nyatanya, aku tidak bisa berharap lebih. Setiap kalimat yang berhasil diterjemahkan oleh otakku, sama sekali menolaknya. Aku selalu membulatkan mata tidak terima dengan hal ini. 

"Sebagai istri kedua. Harus dirahasiakan. Menghasilkan anak untuk keluargamu. Tanpa cinta. Dan apa ini? Aku harus menuruti semua ucapanmu dan tidak boleh ditolak?."

Aku melempar kontrak yang diberikannya. Semua yang tertulis di lembar kertas itu, sama sekali tidak ada yang menguntungkan diriku. Semuanya mencoba untuk menjual harga diri yang aku punya. 

Bagaimana bisa aku menjadi istri keduanya namun harus tetap dirahasiakan?. Tugasku hanyalah menghasilkan anak untuknya. Oke, aku mau kalau bersama pacarku, tapi tidak dengannya. Kali ini, menjadi perempuan ular pun, tidak mengapa. Tidak ada cinta,  aku bisa bosan. Lagipula, selamanya aku tidak akan mencintai pria modelan seperti Tuan ini.

Dan yang lebih membuatku kesal lagi. Mama berlari mengambil kontrak itu, menyerahkannya padaku. Dia memohon, sujud di kaki ku. Sebegitu pasrah kah mereka padaku?.

Tuan ini semakin senang. Dia menertawakan mama, yang membuatku sama sekali tidak menerimanya. Aku bisa dihina oleh siapapun, tapi tidak dengan orangtuaku. Meski aku tidak mendapatkan cinta dan kasih sayang dari mereka.

"See, kamu lah harapan keluargamu sekarang, baby girl. Cepat putuskan atau penjara menanti kalian." Ucapnya.

Aku menatap pria itu tajam, ia hanya menyeringai padaku. 

"Jangan panggil aku dengan sebutan baby girl." Ucapku, tegas. Aku harus banyak-banyak bersabar.

"Kalau begitu, jangan panggil aku Tuan lagi. Aku akan menjadi suamimu, besok."

"Apa?! Besok?" 

"Clara, please." Ucap mama lagi. Aku semakin pusing.

"Iya, setelah kamu menandatangani kontrak ini sekarang, pernikahan kita akan digelar besok pagi. Jika tidak, polisi juga akan datang besok pagi, di waktu yang sama."

"Beri aku waktu, please." Ucapku, memohon.

"Hanya satu jam. Aku tunggu," jawabnya.  Santai.

🍃🍃🍃

Aku terus saja bolak balik di depan mereka. Mengigit jariku, tidak tahu jalan keluar dari permasalahan ini. Jika aku setuju dengan semua syarat yang diberikan Tuan ini, maka aku akan merugi bahkan harga diriku akan dijual, meski orangtuaku bisa bahagia setelahnya. Kalau aku menolak, tidak hanya mama dan papa saja yang rugi. Bahkan aku dan Dania juga akan merasakan dampaknya.

Tidak. Aku masih punya Gio. Iya, aku harus menghubungi pria ini sekarang juga. Semoga dia bisa membantuku. 

Aku berlari mengambil hp yang ada di depan Tuan ini. Tidak hanya membuat mama dan papa terkejut, tapi dia juga.

"Hati-hati, babi girl. Kamu bisa terluka," ucapnya. Aku mengabaikan ucapannya dan mencoba menghubungi Gio.

Deringan pertama, gagal.

Aku tidak menyerah. Mencoba menghubunginya lagi. Sampai deringan ketiga, baru diangkat olehnya.

"Apa? Aku sedang kerj-- ahh..."

Deg.

Tidak. Aku tidak mungkin salah dengar, kan?. Gio tidak mungkin melakukan itu di belakangku, kan?. Tidak, ini hanya ilusi ku saja. 

'Sayang,'

Suara perempuan. Fix, dia tega melakukan itu di belakangku. Aku sudah melakukan semuanya demi dirinya, tapi dengan mudahnya main di belakangku. Ini menyakitkan. Di satu hari, aku sudah mendapatkan kesakitan yang bertubi-tubi. 

"Clara, ada apa sayang?" Tanya Gio, suaranya seperti ditahan-tahan.

"Kita putus!" 

Aku langsung mematikan panggilan ini, dan dengan menghampiri Tuan ini. Dengan tangis yang tidak bisa tertahankan, aku menandatangani kontrak ini. 

Biarkanlah tangisanku yang menjadi saksi kehancuran seorang Clara Gyasta. 

"Aku terima perjanjian ini!" Ucapku. Melempar bolpoin yang aku gunakan untuk menandatangani kontrak menyakitkan dan berlari naik ke atas kamarku. 

"Semua ini sangat menyakitkan."

🍃🍃🍃

Aku tidak menyangka secepat itu bagiku untuk menikah. Aku belum lulus kuliah, belum menggapai cita-cita yang sudah aku susun rapi. Semuanya hancur, dalam sekejap mata.

Pernikahan yang hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. Mama, papa, dan Dania, menjadi pihak dariku. Sedangkan dirinya, hanya bersama istrinya. Benar-benar sangat dirahasiakan.

Beberapa menit yang lalu aku mengetahui namanya. Ryan Wiantara, nama yang bagus, terdengar bijaksana. Sayangnya, orangnya tidak seperti itu. 

"Sayang, terima kasih sudah membantu kami. Kami sangat bangga memiliki kamu sebagai anak kami," bisik mama.

Aku menatap mama, tajam. Tidak suka dengan pemikiran yang ada pada dirinya.

"Baru sekarang mengatakan bangga pada Clara?. Perlu kah Clara menjual harga diri baru kalian menganggap Clara? Sebegitu kah?" Tanyaku. 

Aku menangis di depan mereka, tapi apa yang aku dapatkan?. Tidak seperti kemarin, yang terlihat lemah. Sekarang mereka biasa saja, bahkan seperti lega telah melepaskan satu anaknya yang paling merepotkan.

"Kalian terlalu menyakiti Clara," tangisku.

Tidak ada seorang pun dari mereka yang mau memenangkan ku. Mereka hanya melihatku, membuatku merasa hina.

Di tengah tangisku, kami kedatangan tamu mendadak. Aku tidak sangka kalau Gio datang ke pernikahanku, padahal ini sifatnya rahasia keluarga. 

"Gio, ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku melakukan ini semua dem--"

"Siapa yang perduli?" Tanya Gio langsung. Dia menghampiri Dania, memeluk adikku sendiri.

Sebentar, ini tidak seperti yang aku lihat, kan?. Gio tidak mungkin selingkuh dengan adikku sendiri, kan?. 

"Ayo kita pergi, sayang." Ucap Gio, tersenyum manis pada Dania. Mama dan papa juga tersenyum manis pada Gio. 

"Ma, pa, Gio itu pacarnya Clara," ucapku menghentikan mereka yang hendak meninggalkan ruangan ini.

Apa respon mereka? Hanya tersenyum padaku dan pergi. Andai aku punya kekuatan lebih, aku akan hancurkan mereka saat ini juga karena mempermainkan ku dengan seenaknya. Mereka menganggap ku lemah, memanfaatkan diriku sampai pada dasarnya.

"Lihatlah, istri kedua!. Tidak ada yang menyayangimu." 

Aku membalikkan badan, Ryan dan istrinya datang menghampiriku. Mereka sama saja dengan keluarga pengkhianatku.

"Termasuk, jangan harapkan kasih sayang dari suamiku." Bisiknya. Ia melihatku dengan senyuman miringnya, sama sekali tidak ada kesan suka untukku darinya. Ia adalah definisi istri pertama yang tidak menginginkan suaminya memiliki istri kedua.

Kalian pikir aku juga mau merasa terhina seperti ini?. Tidak!.

"Nanti ada sopir yang menjemputmu," ucap Ryan, sebelum mereka pergi.

Aku sendirian di tempat ini. Entah sampai kapan rasa sakit itu menggerogoti diriku.

🍃🍃🍃

Aku hanya duduk termenung saja seharian ini. Bahkan aku belum mengganti pakaianku. Entah jam berapa sekarang, setelah diantar oleh sopir Ryan ke sebuah rumah besar ini, aku duduk termenung di depan pintu. 

Gelap, tidak aku perhatikan. Memang semuanya sudah menjadi gelap bagiku, sekarang ini.

"Baby girl?"

"Aku bukan baby girlmu. Aku adalah Clara, panggil aku dengan nama yang benar, Ryan." Ucapku, dingin.

Di kegelapan ini, Ryan bisa menjangkau ku. Dia bisa mengetahui keberadaanku dimana. Sekarang, aku bisa rasakan dia ada di depanku.

"Kenapa tidak masuk, hmm?" Tanyanya, terdengar lembut.

Tangisku meledak. Sejak awal, Ryan memang tidak pernah berkata kasar padaku, tapi caranya yang membuatku sakit hati. Kenapa aku harus menjadi istri keduanya, hanya untuk menghasilkan anak untuknya sedangkan dia bisa mengadopsi banyak anak di luaran sana?. 

Dia memelukku, aku memukul dada Ryan. Menangis, dan terus saja bergumam tidak jelas tentang rasa sakit ini. 

"Kalau memang aku tidak akan mendapat rasa kasih sayang dari siapapun, untuk apa aku tetap bertahan untuk hal yang tidak pasti?" Tanyaku. 

"Karena kita tidak boleh menaruh rasa satu sama lain, baby girl." Jawabnya.

"Ingin rasanya mengubur rasa sakit ini," gumamku tidak jelas disela tangisku.

***

Malam pertama tidak terlewat begitu saja. Aku tidak menyangka Ryan akan memperlakukanku dengan begitu lembutnya. Dia sabar menungguku untuk berhenti menangis. Perlakuannya membuatku sedikit luluh, bahkan di hari pertama pernikahan kita.

Huft, Clara, jangan menaruh rasa Karen sejatinya kalian tidak akan bisa membalas perasaan satu sama lain. 

Tanpa menyakitiku, kami bisa melalui malam pertama ini. Kini, Ryan sedang tidur di sampingku. Terlihat polos, tapi gagah dalam waktu yang bersamaan. 

Jujur, aku hanya bisa menatapnya dalam ledakan rasa yang disembunyikan. Alisnya yang tebal ini membuat tanganku gatal untuk menyentuhnya.

"Sudah cukup, baby girl."

Aku terkejut. Ternyata dia menyadariku. 

Dia langsung bangun, memakai celananya dan bergegas ke kamar mandi. Aku menunggunya di luar dengan perasaan yang tidak menentu. 

"Aku harus pulang, istriku sudah pasti menungguku di rumah," ucap Ryan, mengambil baju kaos di lemari yang entah kapan dimasukkan ke benda itu. 

"Tapi ini sudah tengah malam," ucapku. 

"Aku tidak mungkin membiarkan istriku sendirian, bukan?" Ucapnya dan keluar begitu saja dari kamar ini.

Aku hanya bisa diam. Mencoba menerima kenyataan yang ada. Pada dasarnya memang tidak akan ada yang menyayangiku.

"Aku juga istrimu, dan aku sendirian." Ucapku, menutupi diriku dengan selimut. Menutupi tangis yang meledak, tidak bisa aku tahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status