“Dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang, apapun yang terjadi tetap sembunyikan kebenaran itu. Apalagi kalau suatu saat nanti sudah hamil besar, kau jangan berani keluar menunjukkan dirimu kepada siapapun!” bisik Berliana seraya menggertakkan gigi.
“Mohon maaf, Nyonya. Tapi bukankah pernikahan ini terjadi juga atas persetujuan darimu?”
Bukan maksud Camelina untuk membantah. Hanya saja ia tidak bisa terus diinjak atau bahkan dimanfaatkan. Baginya, sesekali perlu mengatakan pernyataan yang ia yakini. Wanita miskin seperti dirinya pun juga manusia yang ingin dhargai.
“Memang benar. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau derajat kita ini sungguh sangat berbeda. Aku harap kamu paham maksudku.”
Camelina tersenyum pahit seraya menahan sesak dalam dada. Namun ia tidak bisa membenarkan apa yang ia yakini dan Berliana yakini. Pilihannya saat ini adalah mengikuti alur yang ada.
“Baiklah kalau memang itu maumu.”
Tidak mau banyak terlibat dalam pembicaraan lain yang menurutnya hanya membuat sakit hati, Camelina pun kemudian meninggalkan Berliana yang ada di sana.
Sarah yang memantau Camelina dari jauh pun tersenyum dengan kepala tegak bangga karena tahu bahwa Berliana tidak semenginginkan itu antara pernikahan Aderson dengan Camelina.
Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dalam pikiran Camelina sampai kini, yaitu mengenai siapa orang yang menciptakan fitnah itu untuknya. Semuanya tampak tidak jelas dan terus membuatnya bertanya-tanya.
Dalam sesekali waktu, ia pernah berpikir bahwa mungkin saja yang memasukkan perhiasan itu ke dalam tas untuk mencelakai dirinya adalah perbuatan Sarah yang merasa tidak senang dengan keberadaannya di sana. Itu terlihat dari gelagat Sarah yang selalu menindasnya selama ini.
“Mereka sudah pulang, segera bereskan tempat tadi!” pinta Berliana.
Camelina menghentikan langkah kakinya sejenak saat mendengarkan perkataan Berliana saat itu. Tetapi, kemudian ia melanjutkan langkah kakinya tanpa menyahut perkataan mertuanya.
Satu persatu piring dirapikan. Tetapi, mendadak saja tangannya seolah kurang tenaga sekaligus kehilangan fokus.
PRAANGG!
Satu piring pecah. Sontak matanya membelalak dan segera membereskannya saat itu juga. Berliana yang juga mendengar hal itu langsung mendatanginya dengan amarah yang semakin menyala.
“Aduh, kamu ini! Bisa-bisanya menjatuhkan piring mahal! Kamu tahu tidak, piring itu aku beli di Perancis!”
Camelina beranjak dari lantai dengan wajah agak memucat. ”Tolong maafkan saya, sungguh saya tidak sengaja menjatuhkannya.”
“Alah kamu ini dengan gampangnya minta maaf. Ganti! Makanya kalau kerja harus fokus, jangan banyak melamun. Memangnya kamu mikirin apa, sih!” celetuk Berliana.
Berliana tidak menyadari sama sekali bahwa apa yang membuat Camelina banyak melamun adalah karena beban di pundaknya yang terus menumpuk. Ia merasa lelah dengan semuanya, tetapi dipaksa untuk tegar dan kuat.
“Tapi untuk saat ini saya tidak punya uang, Ma.”
“Saya tidak peduli kamu punya uang atau tidak, tapi yang pasti kamu harus ganti itu dengan barang yang sama! Oh ya, harus asli, jangan yang imitasi!”
“Makanya kalau kerja yang benar! Tuh beresin beling-belingnya sekarang! Kalau Mama terluka gara-gara kecerobohan kamu bagaimana!” ujar Sarah yang tiba-tiba datang mendorong Camelina hingga jatuh tesungkur ke lantai sampai lututnya tertusuk pecahan kecil dari piring tersebut.
Camelina memejamkan mata – menahan sakit pada lututnya yang mulai berdarah. Dan sepertinya serpihan-serpihan kecil itu ada yang memasuki kulit lapisan terdalamnya.
“Ayo, Ma, mending kita jauhkan diri dari wanita itu. Nanti Mama terluka karena beling tadi!” ajak Sarah kepada Berliana.
“Kamu benar. Ayo!”
Sarah menoleh ke belakang seraya tersenyum licik. Ia melihat Camelina yang tampaknya sedang menahan diri untuk tidak menangis sekalipun matanya sudah memerah berkaca-kaca.
"Mana mungkin buang air selama ini!" sergah Sarah, tidak setuju dengan pendapat Tio. Camelina fokus makan pesanan sebelumnya yang memang sudah ada di meja makan. Ia tak mendengar segala keresahan Sarah karena dirinya berpikir bahwa itu bukan urusannya. "Kalau dia tahu aku bersama Mas Aderson, dia past akan sangat murka, aku yakin itu," batin Camelina. Ia menghentikan kunyahannya sejenak dan terbuai pada pikirannya selama beberapa detik lamanya.Baru saja Camelina selesai mengatakan demikian dalam hatinya, Aderson kembali ke meja itu. Ia berdiri di depan Sarah sambil berkata, "Makannya sudah selesai, 'kan? Aku antar kamu pulang!" ungkapnya.Tanpa sedikitpun melirik ke arah Camelina, bahkan saat Camelina melirik ke arah suaminya. Aderson pergi begitu saja, Sarah yang melihatnya berjalan lebih dulu, membuat ia bergegas menyusul."Kenapa cepat-cepat pulang?" tanya Sarah. "Aku harus ke kantor. Kalau kamu masih mau disini, berarti kamu pulang sendiri."Aderson tidak pedulikan apapun, ia
"Kenapa kamu memilih pekerjaan dibanding uang?" Aderson masih tidak paham dengan pola pikir wanita yang ada di hadapannya. Wanita aneh yang sangat sulit didekati dan tak bisa ditebak sama sekali."Kalau tidak mau memberikannya tidak masalah. Tapi ..., saya tidak menyangka kalau hal sesederhana itu saja ternyata tidak mampu diberikan."Kalimat yang terlontar keluar dari mulut Camelina saat itu membuat Aderson merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang Camelina katakan.Aderson ingin membuktikan bahwa perkataan Camelina sangat keliru. "Kamu sedang hamil. Nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan janin itu? Apa kamu sanggup mempertanggungjawabkan semuanya?" balas Aderson.Camelina terdiam sejenak, lalu setelah itu kembali bicara. "Kehamilan dan pekerjaan tidak bisa disangkut pautkan! Tidak ada hubungannya sama sekali!"Tekad yang kuat membuat Camelina tampak keras kepala di kata Aderson. Tetapi, karena hal itu pula suaminya kewalahan dan tak mampu membuat C
"Kamu kenapa, Melina? Apa kamu lapar?" tanya Tio. Ia menepuk bahu Camelina, hingga terbangun dari lamunannya. Sadar bahwa air matanya sempat keluar, ia menyekanya segera. Namun, Tio yang sudah memperhatikan Camelina diam sejak tadi melihat sendiri matanya yang basah dan bekas air mata mengalir. Camelina tidak menyadari keberadaan Tio karena terlalu hanyut dalam pikiran yang terus dihantui oleh kesedihan. "Yuk, kita sarapan dulu!" ajaknya. Camelina memang merasa lapar. Ia tidak menolak. Ketika Tio bangkit dari duduknya, Camelina juga ikut berdiri. "Di bawah ada makanan yang enak. Kita sarapan di sana saja!" "Iya," sahut Camelina dengan lirih. Ia terus menyeka bekas air mata yang sempat terjun ke pipi itu. Tio membantunya menyeka air matanya. Mereka menaiki lift. Di sana pun Camelina hanya diam. Tidak banyak bicara dan sesekali meng'iya'kan tawaran yang dilontarkan Tio kepadanya. Sementara Aderson, ia yang sudah berada di sebuah cafe di bawah. Dirinya duduk menyantap
[Kamu di mana, Mel? Tadi malam aku ke rumah, tapi tidak ada.] Pertanyaan singkat dalam sebuah pesan yang baru Camelina buka saat itu.Saat hendak mengetik, Aderson melirik ke arah ponsel Camelina. Tetapi, Camelina menjauh dan mengetik tanpa diketahui sang suami mengenai apa yang diketiknya pada pesan tersebut.[Aku sekarang ada di rumah sakit hampera. Hah, kamu ke rumah? Serius?]Pesan itu pun dikirimnya. Baru beberapa detik terkirim, balasan pesan pun datang lagi hingga suara notifikasi pesan kembali terdengar di telinga, baik itu Camelina maupun Aderson -- suaminya.[Iya. Harusnya kamu bilang ke aku kalau kamu lagi di rumah sakit. Sekarang aku kesana, tunggu, ya!]Tio saat itu mengira bahwa Camelina yang sakit, sehingga tidak bertanya yang lainnya lagi. Ia pergi membeli buah-buahan untuk Camelina."Dia sakit apa, ya?" gumam Tio dalam diamnya.Setelah tahu bahwa Tio akan datang ke sana, Camelina memasukkan kembali ponselnya. Ia mencari toilet terdekat karena belum mencuci muka, s
"Mas, mau sarapan sama apa, biar aku yang siapkan?" tanya Sarah. Ia coba berbaik hati setelah tadi mengomeli suaminya.Namun, Aderson yang fokus mengancingkan bajunya dan merasa sudah siang, tidak mempedulikan lagi sarapan di rumah."Aku sarapan di luar saja. Sekalian mau ke rumah sakit sebentar. Kamu mau ikut jenguk Mama?" "Ikut, Mas. Aku sudah rapih."Sarah memperhatikan suaminya yang tengah sibuk dengan dirinya sendiri. "Aku memang tidak ada niat memasak juga. Malah, gara-gara wanita itu tidak ada disini, aku juga harus sarapan di luar," batin Sarah dalam diamnya.Setelah siap, Sarah memegang lengan Aderson. Ia berjalan mengikuti suaminya. "Mas, kamu kenapa tidak bilang dari awal kalau Mama dan Papa kena musibah. Oh iya, tadi .... Untuk tadi aku minta maaf karena langsung menginterogasi kamu dengan pertanyaan."Aderson menoleh. "Lain kali tanya dulu sebelum curiga."Sarah kemudian teringat pada Camelina yang belum pulang sampai pagi ini. "Mas, Camelina di rumah sakit juga?""Iya.
Malam dingin tak dapat dihentikan. Kali ini, Camelina tidak menolak apapun yang ditawarkan Aderson kepadanya. Seperti jas yang bisa menghangatkan tubuhnya."Aku tidak bisa tidur nyenyak," gumamnya.Camelina membuka matanya setelah beberapa saat mencoba memejamkan matanya agar bisa istirahat dari penatnya kegiatan."Tidurlah nanti di rumah," kata Aderson. "Saya juga akan pulang dahulu."Refleks Camelina menoleh. "Lalu, yang menunggui mereka siapa?" tanya Camelina.Aderson terdiam sejenak. Hari ini adalah hari dimana dirinya akan sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus ia urus dan ....Pria itu memeriksa ponselnya sejenak. Ia baru ingat bahwa terlalu fokus dengan orang tuanya, hingga melupakan ponselnya yang mungkin saja ada pesan atau telepon yang tak sengaja ia abaikan."Sebentar ...."Aderson membuka pesannya. Ia melihat ada beberapa pesan yang menumpuk dan sekitar lima panggilan yang tak terjawab dari Sarah.Setelah membaca pesan sebentar, ia berdiri dan kemudian bergegas pergi.