แชร์

Bab 7 Salah Paham

ผู้เขียน: Clavita SA
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-11-24 06:43:48

Malam tiba, saat ia hanyut dalam lamunannya. Namun  itu tak bertahan lama, sebab berisik pintu dibuka dari arah luar membuatnya seketika tersentak, lalu menoleh dengan wajah datar. Raut mukanya seolah menyimpan sedikit tanya. `Siapa itu?` pikirnya, menelan ludah tegang.

“Kamu ikut saya sekarang!” ajak Aderson, memasang wajah dingin.

Camelina sudah tidak aneh lagi dengan ajakan itu. `Apa malam itu belum cukup menyiksaku sampai  badanku sakit semua?` batinnya menerka sembari menghela nafas.

 Begitu Aderson ada di dekatnya, ia langsung bertanya, “Sampai kapan kita akan melakukan itu?” tanya Camelina.

Sudah kedua kalinya Aderson mendapat pertanyaan yang serupa dari Camelina dan ia pun ingat pernah menjawabnya, menurutnya kali ini tidak perlu ia jawab lagi.

“Gak usah banyak tanya!” jawab Aderson dengan ketus.

`Padahal aku cuma tanya, kenapa jawabannya harus seketus itu? Memangnya pertanyaanku tadi itu salah?” umpatnya, pelan.

Walaupun tampak tidak peduli, rupanya Aderson mendengarkan setiap perkataan Camelina, hal itu membuatnya langsung menyahut, “Lain kali kalau mau mengumpat, pastikan orangnya sudah pergi!”

Camelina langsung memukul-mukul pelan bibirnya yang asal bicara. “Kenapa bibirku refleks bicara, dan kenapa dia itu kalau bicara selalu ketus dan menyebalkan?” ucapnya dalam hati dengan bibir komat-kamit.

Aderson menarik pergelangan tangan Camelina yang sejak tadi hanya diam tanpa menuruti perkataannya itu. Tarikan tangannya saat itu bahkan sangat kasar dan tidak peduli apakah sikapnya menyakiti Camelina atau  tidak.

“Hentikan, Tuan! Sakiiit!” rintih Camelina. “Kenapa  Tuan senang sekali mencengkeram erat pergelangan tangan saya?” protesnya.

“Berhenti memanggil saya, Tuan. Bagaimanapun kamu itu istriku!” tekannya.

Aderson menghentikan langkah kakinya.  Sekalipun sikapnya dingin, tetapi tampak sekali ia mengamati Camelina yang kesakitan. Begitu ia lepaskan pergelangan tangannya, Camelina langsung menyentuh bagian tangannya yang sakit.

“Gak usah manja. Pergelangan tanganmu tidak sampai bercucur darah!”

“Kita memang suami-istri, tapi tetap saja saya merasa seperti pembantu di rumah ini ...!” keluh Camelina. Matanya berkaca-kaca, ia menahan dirinya untuk tidak menangis.

“Sejak awal, yang selalu mengurus rumah ini  `kan memang kamu. Itu sudah menjadi pekerjaanmu.”

“Kalau bukan karena dipaksa dan diancam,  tentu aja saya lebih memilih dipecat daripada diperistri tapi tidak dianggap sama sekali!” cecarnya. Air matanya yang sempat terbendung pun akhirnya menetes. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain dan langsung menyekanya saat itu juga. Ia tidak mau dianggap sebagai wanita lemah,  meski kenyataannya bahwa ia sensitif.

Aderson tersenyum meledek, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Camelina.  Ia berbicara di telinga istrinya dalam  jarak yang sangat dekat. “Memangnya kamu siapa, belaga mau menolak setelah melakukan pencurian! Gajimu saja tidak mampu menutupi semua perhiasan yang kamu ambil itu!” balas Aderson dengan nada angkuh di hadapan Camelina.

“Sekarang membela diri gak ada artinya lagi. Tenang aja, saya akan memberikan keturunan pada keluarga ini. Tapi ...,” Camelina menatap Aderson dengan berani. Ia berusaha membela dirinya di hadapan pria yang menurutnya terlalu angkuh itu. “ ... Kalau ternyata pelakunya bukan saya dan saya bisa memberikan bukti itu. Apa  yang bakal Tuan lakukan untuk menebus semua prasangka buruk yang menyakiti hati saya selama ini?” lanjutnya, menantang.

“Saya yakin kamu gak akan mampu membuktikannya, kecuali mau mengkambinghitamkan orang lain!”

Ejekan Aderson terhadapnya semakin menguatkan tekadnya untuk mencari tahu kebenaran dan meluruskan kesalahpahaman yang mencoreng nama baiknya. “Kalau ternyata benar bukan saya pelakunya, Tuan mau apa?”

“Saya berikan setengah dari saham yang saya miliki buat kamu.”

Tanpa berpikir panjang, Aderson langsung mengatakan hal itu begitu saja. Sebab saat itu ia yakin bahwa Camelina hanya sedang mencoba membela diri di hadapannya karena belum menerima kenyataan terhadap bukti yang ada.

“Baik, saya pegang ucapan Tuan.”

“Jangan panggil Tuan, panggil saya Mas!” Aderson tetap tidak suka dengan cara Camelina memanggil dirinya yang mana baginya sangat mengganggu di telinga. “Saya tidak mau dianggap majikan yang pernah memperkosa pembantunya, padahal  kenyataannya kamu istriku dan sudah menjadi kewajibanmu untuk selalu melayani suami kapanpun!”

Aderson melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda tadi, sedangkan Camelina hanya mengikutinya saja di belakang. Setelah berada di ruang keluarga, Aderson berhenti di  hadapan Sarah dan Berliana.

“Apa ini orang yang sudah memecahkan piring Mama?” tanya Aderson kepada Berliana tanpa ada basa-basi.

“Iya, tapi  gak apa-apa. Lagi pula itu cuma piring, ya walau kamu tahu sendiri kalau itu kenang-kenangan kita saat  pergi ke Prancis bersama mendiang kakek kamu.”

Camelina menoleh ke arah Aderson dengan bibir yang mengerut lancip menahan kekecewaan dalam dada. “Dendam pribadi apa yang dia simpan sampai memojokkanku begini?” batin Camelina, geram. "Harusnya aku tolak saja permintaannya tadi!" gerutu Camelina dalam hatinya.

Sarah yang melihat wajah Camelina dalam kondisi tertekan itu membuatnya tersenyum puas. Ia merasa senang karena Aderson menuruti keinginannya tersebut. Camelina tidak tahu dibalik kejadian ini ada peran Sarah yang mengompori Aderson.

Aderson menoleh ke arah Camelina, lalu berkata, “Kalau begitu,  biar aku yang ganti piring pecah itu.”

Sontak saja sepasang mata Berliana dan Sarah langsung membelalak tak  percaya. Keduanya saling menoleh satu  sama lain.

Begitu juga dengan  Camelina yang bingung dengan sikap Aderson. “Sebenarnya apa rencananya?” batin Camelina. Ia tidak mengerti dengan cara suaminya yang seperti menjatuhkan tetapi juga membela.

“Apa dia sedang membuatku malu?” duga Camelina dalam pikirannya.

Sarah yang awalnya tersenyum  senang karena sempat berpikir bahwa Camelina kemungkinan akan dihukum lagi.  Bayangan buruk mengenai Camelina itu seolah ditebas habis  kenyataan lain. “Sialan! Wanita jalang! Apa-apaan juga suamiku ini, kenapa dia malah menolongnya?!” umpat Sarah dalam hatinya.  Sarah mengepalkan salah satu tangannya, amarahnya seakan ia kumpulkan dalam kepalan tangan itu.

“Maass!”  seru Sarah sambil mendengus.

Sarah yang tengah dalam keadaan kesal pun langsung menarik lengan Aderson menjauh dari mereka semua. “Mas, aku  mau bicara sama kamu!”

Sampai di tempat yang sepi – tepatnya luar rumah, Sarah langsung menyatakan keberatannya atas tindakan Aderson itu.

“Mas, kenapa kamu malah ikut campur dengan urusan dia? Biarin aja dia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri!”

Aderson menyentuh kedua pipi Sarah seraya menatap sepasang matanya. “Jangan bahas ini lagi, anggap saja itu sebagai imbalan atas kesiapannya untuk melahirkan anak kita.”

“Mas, itu bukan karena kamu sudah mulai tertarik dengan wanita itu, kan?”  tanya Sarah dengan nada khawatir.

Aderson tertawa kecil. “Kamu terlalu cemas, sayang. Aku cuma mau memberikan sesuatu buat Mama supaya senang dan tidak bersedih lagi karena barang miliknya rusak.”

Pada saat yang sama, pandangan Aderson langsung teralihkan pada objek lain yang membuat wajahnya tampak cemas. “Nanti saja kita bicara lagi.”  Ia berlari ke arah objek yang ditatapnya itu.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 62 Sedikit Dicurigai

    "Mana mungkin buang air selama ini!" sergah Sarah, tidak setuju dengan pendapat Tio. Camelina fokus makan pesanan sebelumnya yang memang sudah ada di meja makan. Ia tak mendengar segala keresahan Sarah karena dirinya berpikir bahwa itu bukan urusannya. "Kalau dia tahu aku bersama Mas Aderson, dia past akan sangat murka, aku yakin itu," batin Camelina. Ia menghentikan kunyahannya sejenak dan terbuai pada pikirannya selama beberapa detik lamanya.Baru saja Camelina selesai mengatakan demikian dalam hatinya, Aderson kembali ke meja itu. Ia berdiri di depan Sarah sambil berkata, "Makannya sudah selesai, 'kan? Aku antar kamu pulang!" ungkapnya.Tanpa sedikitpun melirik ke arah Camelina, bahkan saat Camelina melirik ke arah suaminya. Aderson pergi begitu saja, Sarah yang melihatnya berjalan lebih dulu, membuat ia bergegas menyusul."Kenapa cepat-cepat pulang?" tanya Sarah. "Aku harus ke kantor. Kalau kamu masih mau disini, berarti kamu pulang sendiri."Aderson tidak pedulikan apapun, ia

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 61 Berpendirian Teguh atau Keras Kepala

    "Kenapa kamu memilih pekerjaan dibanding uang?" Aderson masih tidak paham dengan pola pikir wanita yang ada di hadapannya. Wanita aneh yang sangat sulit didekati dan tak bisa ditebak sama sekali."Kalau tidak mau memberikannya tidak masalah. Tapi ..., saya tidak menyangka kalau hal sesederhana itu saja ternyata tidak mampu diberikan."Kalimat yang terlontar keluar dari mulut Camelina saat itu membuat Aderson merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang Camelina katakan.Aderson ingin membuktikan bahwa perkataan Camelina sangat keliru. "Kamu sedang hamil. Nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan janin itu? Apa kamu sanggup mempertanggungjawabkan semuanya?" balas Aderson.Camelina terdiam sejenak, lalu setelah itu kembali bicara. "Kehamilan dan pekerjaan tidak bisa disangkut pautkan! Tidak ada hubungannya sama sekali!"Tekad yang kuat membuat Camelina tampak keras kepala di kata Aderson. Tetapi, karena hal itu pula suaminya kewalahan dan tak mampu membuat C

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 60 Walau Beda Tipis, Tapi Berbeda

    "Kamu kenapa, Melina? Apa kamu lapar?" tanya Tio. Ia menepuk bahu Camelina, hingga terbangun dari lamunannya. Sadar bahwa air matanya sempat keluar, ia menyekanya segera. Namun, Tio yang sudah memperhatikan Camelina diam sejak tadi melihat sendiri matanya yang basah dan bekas air mata mengalir. Camelina tidak menyadari keberadaan Tio karena terlalu hanyut dalam pikiran yang terus dihantui oleh kesedihan. "Yuk, kita sarapan dulu!" ajaknya. Camelina memang merasa lapar. Ia tidak menolak. Ketika Tio bangkit dari duduknya, Camelina juga ikut berdiri. "Di bawah ada makanan yang enak. Kita sarapan di sana saja!" "Iya," sahut Camelina dengan lirih. Ia terus menyeka bekas air mata yang sempat terjun ke pipi itu. Tio membantunya menyeka air matanya. Mereka menaiki lift. Di sana pun Camelina hanya diam. Tidak banyak bicara dan sesekali meng'iya'kan tawaran yang dilontarkan Tio kepadanya. Sementara Aderson, ia yang sudah berada di sebuah cafe di bawah. Dirinya duduk menyantap

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 59 Cahaya Yang Seakan Hilang

    [Kamu di mana, Mel? Tadi malam aku ke rumah, tapi tidak ada.] Pertanyaan singkat dalam sebuah pesan yang baru Camelina buka saat itu.Saat hendak mengetik, Aderson melirik ke arah ponsel Camelina. Tetapi, Camelina menjauh dan mengetik tanpa diketahui sang suami mengenai apa yang diketiknya pada pesan tersebut.[Aku sekarang ada di rumah sakit hampera. Hah, kamu ke rumah? Serius?]Pesan itu pun dikirimnya. Baru beberapa detik terkirim, balasan pesan pun datang lagi hingga suara notifikasi pesan kembali terdengar di telinga, baik itu Camelina maupun Aderson -- suaminya.[Iya. Harusnya kamu bilang ke aku kalau kamu lagi di rumah sakit. Sekarang aku kesana, tunggu, ya!]Tio saat itu mengira bahwa Camelina yang sakit, sehingga tidak bertanya yang lainnya lagi. Ia pergi membeli buah-buahan untuk Camelina."Dia sakit apa, ya?" gumam Tio dalam diamnya.Setelah tahu bahwa Tio akan datang ke sana, Camelina memasukkan kembali ponselnya. Ia mencari toilet terdekat karena belum mencuci muka, s

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 58 Jangan Memberikanku Harapan

    "Mas, mau sarapan sama apa, biar aku yang siapkan?" tanya Sarah. Ia coba berbaik hati setelah tadi mengomeli suaminya.Namun, Aderson yang fokus mengancingkan bajunya dan merasa sudah siang, tidak mempedulikan lagi sarapan di rumah."Aku sarapan di luar saja. Sekalian mau ke rumah sakit sebentar. Kamu mau ikut jenguk Mama?" "Ikut, Mas. Aku sudah rapih."Sarah memperhatikan suaminya yang tengah sibuk dengan dirinya sendiri. "Aku memang tidak ada niat memasak juga. Malah, gara-gara wanita itu tidak ada disini, aku juga harus sarapan di luar," batin Sarah dalam diamnya.Setelah siap, Sarah memegang lengan Aderson. Ia berjalan mengikuti suaminya. "Mas, kamu kenapa tidak bilang dari awal kalau Mama dan Papa kena musibah. Oh iya, tadi .... Untuk tadi aku minta maaf karena langsung menginterogasi kamu dengan pertanyaan."Aderson menoleh. "Lain kali tanya dulu sebelum curiga."Sarah kemudian teringat pada Camelina yang belum pulang sampai pagi ini. "Mas, Camelina di rumah sakit juga?""Iya.

  • Istri Kedua Tuan Presdir   Bab 57 Tidak Bisa Dipercaya

    Malam dingin tak dapat dihentikan. Kali ini, Camelina tidak menolak apapun yang ditawarkan Aderson kepadanya. Seperti jas yang bisa menghangatkan tubuhnya."Aku tidak bisa tidur nyenyak," gumamnya.Camelina membuka matanya setelah beberapa saat mencoba memejamkan matanya agar bisa istirahat dari penatnya kegiatan."Tidurlah nanti di rumah," kata Aderson. "Saya juga akan pulang dahulu."Refleks Camelina menoleh. "Lalu, yang menunggui mereka siapa?" tanya Camelina.Aderson terdiam sejenak. Hari ini adalah hari dimana dirinya akan sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus ia urus dan ....Pria itu memeriksa ponselnya sejenak. Ia baru ingat bahwa terlalu fokus dengan orang tuanya, hingga melupakan ponselnya yang mungkin saja ada pesan atau telepon yang tak sengaja ia abaikan."Sebentar ...."Aderson membuka pesannya. Ia melihat ada beberapa pesan yang menumpuk dan sekitar lima panggilan yang tak terjawab dari Sarah.Setelah membaca pesan sebentar, ia berdiri dan kemudian bergegas pergi.

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status