Hari ini Allura berniat untuk konsultasi ke dokter lagi. Keputusannya sudah bulat, ia ingin hamil. Entah seberapa besar rintangannya nanti. Ia hanya ingin melahirkan seorang anak untuk Rayan. Seperti pagi-pagi yang telah lalu, Allura melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Menyiapkan keperluan suami adalah tanggung jawabnya.
“Sayang,” panggil Rayan.
“Iya Mas.”
“Pasangkan dasi suamimu ini Sayang. Entah kenapa hari ini dia tidak mau menurut padaku,” ujar Rayan. Ia hanya ingin bermanja-manja dengan istrinya sebelum berangkat kerja.
“Mas ini ada-ada saja. Sini, biar Adek pakaikan.” Allura pun mulai melipat ke sana ke mari dasi berwarna biru dengan aksen garis-garis.
“Adek sudah ingin masuk kerja lagi hari ini?” tanya Rayan memandang wajah Allura yang masih serius memasangkannya dasi.
“Iya Mas. Lagi pula, badan Adek sudah sehat.” Allura merapikan dasi dan kerah Rayan. “Sudah selesai Mas. Ayo kita sarapan,” ajaknya.
“Iya.” Rayan dan Allura berjalan beriringan ke dapur. “Mas antar seperti biasa ya,” ucap Rayan setelah duduk di kursi makan.
“Iya Mas. Tapi mungkin Adek akan pulang lebih awal.” Allura mengambil nasi untuk Rayan.
“Ya, itu bagus. Adek kan baru saja sembuh.”
“Bagaimana kita ke rumah Dimas dan Claire nanti malam Mas? Jadi, pulang kerja nanti Adek bisa mampir ke toko perlengkapan bayi untuk kado yang akan kita bawa.” Sebenarnya niat utama Allura bukanlah itu, tetapi ia ingin pergi untuk konsultasi ke dokter.
“Baiklah. Maaf Mas tidak bisa menemani Adek untuk membeli kadonya. Pekerjaan di kantor mulai menumpuk karena proyek baru yang Mas tangani,” jelas Rayan.
“Tidak apa-apa Mas, yang penting Mas jaga kesehatan ya.”
“Iya Sayang.”
“Ayo kita makan sekarang Mas,” suruh Allura. Rayan pun mengangguk dan mulai menyantap sarapan yang dibuat istrinya.
Setelah sarapan selesai, Rayan mengantar Allura ke tempat kerjanya. Sepanjang perjalanan Rayan terus membahas soal anak. Nama yang akan diberikan, sifatnya akan mirip dia atau Allura, sampai berapa jumlah anak yang ingin dimilikinya bersama Allura. Jika Rayan tahu tentang penyakit Allura, sudah dipastikan ia tidak akan mengizinkan Allura hamil. Jangankan rencana untuk memiliki anak, ia bahkan tidak akan berani membahas soal anak kepada Allura. Ia tahu pasti sangat menyakitkan jika tidak bisa menjadi seorang ibu.
“Jangan lupa makan siang ya Sayang. Hati-hati juga nanti saat membeli kado,” ucap Rayan pada Allura yang hendak masuk ke kantornya. Lalu mengecup kening istrinya lembut.
“Iya Mas. Mas juga hati-hati. Adek masuk dulu ya, dah ....” Allura melambaikan tangannya pada Rayan dan berjalan masuk.
Baru saja Allura melewati pintu masuk, ia sudah disambut beberapa karyawan. Mereka saling menyerbu pertanyaan apakah Allura baik-baik saja atau sebenarnya ia sedang hamil? Tapi Allura hanya menjawab mereka dengan senyuman. Bagaimana lagi? Jika dibilang Allura baik-baik saja itu bohong. Ia sedang mengidap penyakit ganas yang terus menggerogoti kepalanya. Sekaligus merenggut setengah harapannya untuk menjadi seorang ibu. Ia berusaha tegar dan menyembunyikan masalah ini dari semua orang, termasuk suaminya sendiri.
Allura duduk dibangkunya. Mencoba membuang semua rasa sakit yang terus menerpa hatinya dan berusaha fokus dengan pekerjaannya hari ini. Beruntung pekerjaannya hari ini tidak begitu banyak. Ia dapat mengerjakannya dengan cepat dan segera pergi ke rumah sakit. Ia harus bisa konsultasi ke dokter sekaligus membeli kado untuk Claire sepulang kerja nanti.
Untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya, Allura diam-diam membeli obat pereda nyeri secara ilegal. Ia tidak punya pilihan lain lagi. Jika ia membelinya di rumah sakit, ia harus terpaksa menjalani pengobatan dan ia tidak akan bisa hamil. Entah berapa lama pengobatan akan terjadi jika Allura ingin sembuh. Kalaupun sudah lama ia berobat, belum tentu juga ia sembuh dan bisa hamil. Ini adalah keputusan yang benar-benar berat untuknya.
Allura menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Ia izin untuk pulang lebih awal dengan alasan ia baru sembuh dan harus checkup ke dokter hari ini. Ya, itu memang benar. Tapi untuk memutuskan ia tidak ingin diobati dan memilih hamil. Allura pun bergegas ke rumah sakit.
“Bagaimana Bu Allura? Sudah memutuskan untuk berobat?” tanya Dokter.
“Saya sudah memutuskan Dok. Saya tidak ingin diobati, tapi Saya ingin hamil,” ujar Allura dengan yakin. Hatinya begitu teguh memutuskan hal itu.
“Itu adalah keputusan yang sangat besar Bu Allura. Tapi Saya salut Bu Allura bisa mengambil keputusan seberat ini. Apa suami Ibu tahu tentang penyakit Ibu ini?” tanya Dokter itu lagi.
“Tidak Dok. Saya tidak ingin dia tahu tentang penyakit Saya. Jika dia tahu, dia pasti tidak akan mengizinkan saya hamil,” jelas Allura. “Jadi bagaimana Dok? Apa yang harus saya lakukan?
“Sebentar ya Bu, biar saya cek lagi.” Dokter memeriksa semua kemungkinan yang terjadi jika Allura hamil.
Allura hanya diam melihat Dokter yang tampak serius membaca berkas-berkasnya.
“Bu Allura punya waktu satu bulan untuk bisa hamil,” ucap Dokter setelah beberapa saat.
“Satu bulan Dok?” tanya Allura tak percaya.
“Iya, satu bulan. Setelah itu Saya tidak bisa menjamin Bu Allura bisa hamil atau tidak. Karena penyakit Ibu sudah memasuki fase terakhirnya, dan Bu Allura tidak ingin menjalani pengobatan. Jadi, waktunya hanya satu bulan. Setelahnya, Bu Allura bisa melahirkan anak itu. Tapi, masa untuk Bu Allura bertahan hidup semakin sedikit karena terpotong oleh masa kehamilan Bu Allura nanti,” jelas Dokter panjang lebar.
“Keputusan Saya sudah bulat Dok. Saya akan tetap ingin hamil. Saya akan berusaha selama satu bulan ini.”
“Kalau begitu kurangilah melakukan kegiatan yang berat dan membuat Bu Allura lelah. Saya akan memberi resep beberapa vitamin untuk Bu Allura konsumsi.” Dokter pun menulis beberapa nama obat di kertas dan memberikannya kepada Allura.
Sepulangnya dari rumah sakit, Allura langsung menuju toko perlengkapan bayi. Ia bingung harus membeli apa untuk sahabatnya Claire. Ia berkeliling di bagian baju-baju bayi. Matanya terfokus pada baju bayi berwarna merah jambu yang sangat manis. Sangat imut, pikirnya. Ia ingin membeli baju itu untuk anaknya sendiri, tapi ia sadar kalau ia belum tentu bisa hamil. Akhirnya ia putuskan tetap membeli baju itu, tapi untuk anak Dimas dan Claire. Ja juga membeli beberapa mainan dan perlengkapan bayi lainnya. Lalu menyuruh karyawan toko untuk membungkusnya menjadi satu dalam kertas kado yang cantik.
Kado Allura sudah siap. Satu kotak berukuran sedang dengan pita besar di atasnya. Lalu ada kartu ucapan yang akan ia tulis bersama Rayan nanti. Setelah membayarnya, Allura pun pulang. Sesampainya di rumah, ia kembali menjadi seorang istri yang rajin mengerjakan tugas-tugasnya. Namun, ia juga ingat dengan target satu bulannya. Ia harus lebih sering mengistirahatkan dirinya dan rajin meminum vitamin yang diberi Dokter.
Rayan dan Allura sudah siap untuk berangkat ke rumah sahabatnya. Tak lupa mereka juga membawa hadiah yang sudah dibeli Allura tadi. Rumah Dimas cukup jauh, sebab itu mereka sampai setelah tiga puluh menit lebih di perjalanan.
“Wah, Rayan ... Allura ... Apa kabar?” Claire menyambut Rayan dan Allura yang baru saja datang. Ia tampak sangat senang kedatangan dua tamu itu.
“Kami baik kok,” kata Rayan. “Bagaimana denganmu dan calon anak?” tanyanya.
“Sangat baik. Mari duduk, biar aku panggilkan Dimas dulu.” Claire pun pergi ke kamarnya. Rayan dan Allura duduk di ruang tamu.
“Hai, Pak Rayan,” sapa Dimas.
“Jangan memanggilku seperti itu, di sini aku adalah sahabatmu dan Claire,” ujar Rayan.
“Oh, iya. Ini untuk kalian.” Allura menyodorkan sebuah kotak kepada Dimas.
“Astaga, sampai repot-repot membeli hadiah,” kata Dimas.
“Sudah, terima saja. Ini untuk calon keponakan kita nanti,” sahut Rayan. Dimas pun menerimanya.
“Hey, lihat! Tampaknya anakku sangat senang kedatangan Paman dan Bibinya. Dia menendang perutku tadi,” ucap Claire terkejut saat bayi dalam perutnya itu menendang-nendang.
“Wah-wah. Boleh Bibi pegang?” tanya Allura.
“Tentu saja Bibi.”
Allura pun mengelus perut buncit Claire. Ia terkejut saat bayi di dalam sana menendang.
Kedua pasangan itu terus mengobrol ria. Saling bercerita kisah pertemanannya semenjak di bangku perkuliahan dulu. Allura seakan melupakan semua kesedihannya. Ia begitu bahagia melihat Claire yang sedang hamil. Bagaimana bahagianya jika ia sendiri yang merasakan itu? Tidak terbayang betapa bersyukurnya ia jika bisa merasakan itu semua.
Satu bulan sudah berlalu. Kehidupan Rayan dan Allura berjalan seperti biasanya. Allura sudah jarang mengambil lembur di kantornya. Sedangkan Rayan masih sering lembur karena proyeknya sedang berjalan. Hari ini adalah hari libur, Rayan berencana untuk mengajak Allura jalan-jalan hari ini. Tetapi Allura menolaknya karena ia merasa tidak enak badan. Allura sedang memasak di dapur. Tapi pagi ini ia merasakan ada sesuatu yang tidak seperti biasanya. Entah penciumannya yang sangat sensitif atau memang karena ia belum makan. “Hoek!” Allura merasa sangat mual. Ia pun mematikan kompor dan berlari ke arah kamar mandi. Rayan yang melihatnya seperti itu, tampak sangat khawatir dan segera menghampirinya. “Hoeek!” Allura terus merasa mual. “Adek kenapa?” tanya Rayan. “Hoek! Tidak tahu Mas. Adek merasa sangat mual. Hoek!” Allura terus mual-mual. Raut wajah Rayan yang tadinya khawatir, kini berubah menjadi berseri-seri. I
Rayan dan Allura sangat berbahagia karena sebentar lagi mereka akan menjadi orang tua. Keluarganya akan utuh dengan kehadiran buah cinta mereka. Beribu kata syukur mereka ucapkan tidak akan bisa menjelaskan betapa bahagianya mereka. Sama seperti buih di lautan yang tidak bisa dihitung jumlahnya. “Hari ini kita cuti kerja dulu ya Dek. Kita akan ke Bandung untuk menyampaikan berita bahagia ini secara langsung. Ayah dan Ibu pasti juga ingin mendoakan cucunya ini,” ucap Rayan sembari mengelus perut Allura. “Baiklah Mas. Adek akan kirim email dulu ke kantor. Setelah itu Adek akan siapkan keperluan kita untuk di sana.” “Iya. Mas juga mau menelepon ke rumah dulu.” Allura mengirim pesan kepada Lysha kalau hari ini ia akan mengambil cuti sekaligus memberitahu kabar bahagia tentang kehamilannya. Lysha begitu senangnya sampai ia ingin mengunjungi Allura saat itu juga. Tapi ia juga merasa sedih karena Allura pasti akan segera res
Saat semua orang sudah tertidur lelap, Allura terbangun karena merasa sangat mual. Ia menahan rasa mualnya itu agar Rayan tidak terbangun. Ia menatap wajah suaminya yang tertidur pulas dengan tersenyum. Sepertinya Rayan sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya. Tak terasa air mata Allura menetes dari sudut netranya. Ia teringat kenyataan kalau hidupnya tidak akan bertahan lama dan ia tidak akan bisa melihat momen seperti hari ini lagi. Satu misinya sudah selesai. Kini ia harus mencari istri untuk Rayan sekaligus menjadi ibu untuk anaknya nanti.Allura membuat akun dating dengan identitas Rayan di ponselnya. Allura harus menemukan perempuan yang baik untuk suami dan anaknya nan
Saat hari masih petang, Allura sudah merasa mual yang luar biasa. Ia pergi ke kamar mandi dan terus mual-mual. Rayan yang mendengarnya langsung terbangun dan menghampirinya. Rayan terus mengusap-usap punggung Allura untuk membuat mualnya tidak terlalu parah, tetapi Allura tetap merasa sangat mual. “Kita ke dokter saja bagaimana Dek?” tanya Rayan. “Tidak Mas, Adek hanya mual biasa saja. Hoek ....” Allura merasa sangat pusing. Jika ia dibawa ke dokter, ia takut kalau penyakitnya akan diketahui oleh Rayan. “Tapi Mas tidak bisa melihatmu seperti ini Sayang,” ujar Rayan khawatir. “Tidak apa-apa Mas, Ibu bilang ini hal yang wajar.” Allura berusaha menahan mual dan pusingnya agar Rayan tidak terlalu mengkhawatirkannya. “Baiklah, ayo duduk di kasur saja. Mas akan buatkan sarapan untukmu.” Rayan membantu Allura berjalan ke arah ranjang. “Adek pikir, Adek izin dari kantor dulu Mas,” ucap Allura setelah ia duduk. “Baguslah,
Hari ini Allura sudah membuat janji temu dengan wanita dari akun dating yang ia buat untuk Rayan. Ia berharap wanita ini adalah pilihan yang tepat. Beruntungnya kalau Allura bisa menemukannya dalam dating pertamanya. “Adek benar-benar ingin periksa kandungan hari ini? Kenapa tidak lusa atau lain hari saja saat Mas bisa menemani,” ujar Rayan. “Adek periksa hari ini saja Mas. Adek bisa sendiri kok. Mas fokus saja dengan proyek Mas hari ini.” Allura tersenyum meyakinkan Rayan. “Tapi Adek harus hati-hati ya. Dan jangan lupa katakan pada Mas apa yang dokter katakan tentang anak kita ini.” Rayan mengelus perut Allura. “Iya Mas. Sudah sana berangkat, nanti terlambat lho.” “Adek mengusir Mas nih? Dulu awal-awal pernikahan kita, Adek susah sekali melepaskan Mas yang mau berangkat kerja,” goda Rayan dengan memeluk Allura manja. “Ih, sudah sana berangkat Mas.” Allura mencoba melepaskan pelukan Rayan dengan pelan. Ia tidak ingin ben
Setelah gagal di pertemuan pertamanya, Allura merasa sangat putus asa. Ia tidak tahu harus melanjutkan rencananya itu atau tidak. Kemungkinan besar wanita seperti Aisyah akan menolak kondisinya lagi. Ia pulang ke rumah dengan kondisi hati yang benar-benar hancur. Ia sangat ingin menangis. Tapi jika ia terus menangis matanya akan terlihat sembab, dan Rayan akan mengetahui kalau dirinya sedang bersedih. Sebentar lagi Rayan akan pulang dari kantor. Allura pun menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. “Sayang, Mas pulang.” Rayan tiba-tiba memeluk Allura dari belakang. Ia sengaja mengendap-endap masuk ke dapur untuk mengejutkan Allura. “Ih, Mas ngagetin Adek saja. Hampir saja Adek pukul pakai wajan penggorengan, hehe.” Allura terkekeh. “Wah jahat sekali istriku ini.” Rayan mencium pipi Allura gemas. “Ihh, sudah sana mandi dulu Mas. Bau tahu haha.” Allua mencoba menutup kesedihannya di depan Rayan. “Emm, ini bau. Sini kamu.” Rayan t
Allura menjalani aktivitas paginya seperti biasa. Bedanya, hari ini ia tidak perlu bersiap untuk berangkat ke kantor lagi. Ia sudah resmi berhenti bekerja. Sekarang waktunya sepenuhnya hanya untuk mengurus rumah tangganya. Menjadi ibu rumah tangga ternyata jauh lebih melelahkan daripada hanya menjadi wanita karier. Harus belanja keperluan rumah, memasak, bersih-bersih. Lalu jika semua itu sudah selesai, ia harus apa? Allura hanya mengobrol dengan bayi di kandungannya dan membuka akun dating. “Siang nanti Mas antar belanja ya?” tanya Rayan sebelum berangkat ke kantornya. “Memangnya Mas tidak sibuk?” “Tidak. Mas hanya perlu memeriksa beberapa dokumen saja di kantor hari ini.” “Baiklah. Kebetulan banyak barang yang akan Adek beli.” “Siap Sayang. Dah, Mas berangkat kerja dulu ya.” “Iya Mas, hati-hati.” Rayan mencium kening Allura seperti biasa lalu berangkat ke kantornya. Allura membuat beberapa daftar
Pagi yang cerah berjalan seperti biasanya. Allura mempersiapkan segala sesuatu sebelum Rayan akan pergi bekerja. Ia memasak sarapan dengan menu sederhana. Seperti omelette, sambal terasi, dan sayur bayam. Ia juga mulai membawakan bekal untuk Rayan. Lebih baik makan masakan rumahan bukan? Apalagi masakan istri memang yang terbaik. Ketimbang harus membeli masakan orang lain dan mengeluarkan uang. Rayan sangat senang sekarang Allura lebih santai mengerjakan semua pekerjaan rumahnya. Biasanya ‘kan ia harus terburu-buru karena waktunya sangat sedikit terpotong oleh pekerjaan kantornya. Setidaknya sekarang ia bisa mempunyai banyak waktu untuk istirahat dan bersikap tenang. “Mas, Adek sudah lama tidak berziarah ke makam Ibu,” ujar Allura setelah membereskan sarapan. “Ya? Kapan Adek ingin ke sana?” tanya Rayan yang langsung mengerti maksud sang istri. “Hari ini, bolehkah?” “Sendirian? Adek tahu ‘kan kalau hari ini Mas lembur?”