Anin memandangi pantulan dirinya di cermin besar yang dihias melati dan janur. Sentuhan terakhir dari MUA membingkai wajahnya dengan sempurna. Kebaya brokat berwarna krem lembut melekat anggun, lengkap dengan paes hitam yang menambah kesan ayu dan sakral. Untuk sesaat, ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri.
"Cantik banget, Mbak," puji sang MUA sambil membereskan alat-alat riasnya. "Selamat ya, semoga lancar sampai selesai. Saya pamit dulu.” Anin mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih. Tak lama, terdengar ketukan di pintu. “Assalamu’alaikum…” suara itu tak lain milik Bu Lastri, ibunda tercinta. Bapak dan Ibu masuk membawa nampan berisi sepiring nasi hangat, semur ayam, dan air putih. "Nduk, sarapan dulu ya," ucap Ibu lembut. "Ibu bawain ayam semur kesukaanmu." Anin tersenyum kecil, “Makasih, Bu. Aku sebenernya deg-degan, sampe lupa makan.” Bapak berdiri tak jauh, menatap putrinya yang duduk anggun di depan cermin. Pandangannya sulit ditebak, tapi matanya jelas menyimpan lautan rasa. Bangga, haru, dan mungkin sedikit berat melepas. Ibu duduk di samping Anin, menyendokkan nasi dan potongan ayam perlahan ke mulut putrinya. "Pelan-pelan, ya. Biar lipstikmu nggak luntur," katanya, membuat Anin tersenyum kecil. Bapak berdiri tak jauh, menatap putrinya yang duduk anggun di depan cermin. Pandangannya sulit ditebak, tapi matanya jelas menyimpan lautan rasa. Bangga, haru, dan mungkin sedikit berat melepas. "Bapak keluar dulu ya. Sebentar lagi mulai." Begitu ayahnya keluar, Anin menatap punggung yang selama ini menjadi pelindung hidupnya. Dadanya sesak. Tak lama lagi, tanggung jawab itu akan berpindah ke Arjuna. Di halaman yang sudah dihias dengan pelaminan megah bernuansa cokelat keemasan, para tamu duduk dengan khidmat. Arjuna duduk di depan penghulu, didampingi saksi dari kedua keluarga. Penampilannya gagah dengan beskap dan blangkon senada. Wajahnya terlihat tenang, tapi jemarinya yang saling menggenggam memperlihatkan sedikit kegugupan. Penghulu memulai dengan salam dan khutbah singkat, lalu mempersilahkan Pak Minan untuk melangsungkan ijab. Tak lama, Pak Minan menjalankan tugas terakhirnya sebagai wali dari Anin. Dengan suara yang sedikit bergetar, ia mulai mengucapkan ijab. “Saya nikahkan engkau, Arjuna Pranata Wicaksana bin Wiryono Wicaksana, dengan putri saya, Anindya Kirana binti Minan, dengan mas kawin berupa emas 5 gram, uang sebesar dua puluh satu juta rupiah, dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai.” Arjuna menarik napas. Matanya menatap lurus. “Saya terima nikahnya Anindya Kirana binti Minan, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai,” ucapnya dalam satu tarikan nafas "Sah!" seru para saksi serempak, disusul ucapan syukur dari tamu yang hadir. Suara saksi dan penghulu menggema. Tepuk tangan pun menyusul. Mata Arjuna langsung mencari-cari sosok gadis yang baru saja resmi menjadi istrinya. Tak lama, Anin berjalan pelan dituntun oleh ibunya menuju meja akad. Sesampainya di meja, sang penghulu menyodorkan buku nikah kepada Anin. Tangannya sempat gemetar. Tapi suara Arjuna berbisik dekat di telinganya membuatnya sedikit tenang. “Tarik napas dulu, Dek,” ucap Arjuna lembut. Anin mengangguk kecil dan mulai membubuhkan tanda tangan. Setelah semuanya selesai, penghulu tersenyum hangat. “Alhamdulillah, sah sebagai suami istri.” Anin menunduk dengan mata berkaca-kaca, lalu meraih tangan Arjuna dan menciumnya dengan lembut. Arjuna membalas dengan mencium kening Anin, membuat suasana haru kembali terasa. Kamera-kamera mengabadikan momen itu. Kemudian, Arjuna membuka kotak beludru kecil dan mengambil cincin emas sederhana. Ia menyelipkannya di jari manis Anin. "Sekarang giliran kamu," bisiknya. Anin mengambil cincin pasangannya dan menyematkan di jari Arjuna. *ੈ✩‧₊˚༺☆༻*ੈ✩‧₊˚ Anin tampak anggun dalam balutan gaun modern berwarna nude gold yang berkilau halus di bawah sinar rembulan. Rambutnya sudah dilepas dari sanggul adat dan dibiarkan jatuh bergelombang ke bahu. Namun senyumnya tampak lelah, tapi tak bisa menyembunyikan debar yang terasa sejak tadi sore. Sekitar pukul sembilan malam, Bu Minah, ibu Arjuna, mendekat dengan tatapan penuh makna. “Le, nduk, masuk aja ya. Udah malam...” katanya pelan sambil menyentuh lengan Anin dengan lembut. Tak perlu dijelaskan lagi waktunya mereka berdua… Arjuna dan Anin saling berpandangan sejenak sebelum mengangguk pelan. Arjuna menoleh ke ibunya. "Iya, Bu." Dengan lembut, Arjuna menggenggam tangan Anin, membawanya ke dalam rumah. Ia sempat berhenti sejenak untuk membantu mengangkat ekor gaun Anin yang menjuntai panjang. "Biar nggak berat," katanya pelan. Anin tersenyum tipis. Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya, campur gugup dan malu. Arjuna membuka pintu pelan. Aroma melati dan bunga sedap malam langsung menyambut, bercampur dengan harum lavender dari lilin aromaterapi yang menyala di meja kecil dekat jendela. Anin melangkah masuk lebih dulu. Sepatunya ia lepas satu-satu, lalu duduk di ujung ranjang sambil menarik nafas panjang. Arjuna menutup pintu perlahan. “Mas...” suara Anin pelan, agak ragu. “Hm?” “Boleh minta tolong... bukain resletingnya?” ucap Anin lirih, pipinya mulai memerah. Arjuna terdiam sepersekian detik, lalu mengangguk cepat. “Oh, boleh. Sini, Dek.” Anin berdiri pelan, membelakangi Arjuna. Resleting di bagian belakang gaunnya cukup panjang dan tersembunyi di antara hiasan renda. Baru beberapa detik Arjuna menyentuh resleting itu, terdengar ketukan dari pintu. Tok tok tok! Ketukannya cepat. Seperti tidak sabaran. Arjuna menoleh. “Bentar ya, Dek,” katanya cepat. Anin mengangguk, buru-buru meraih selimut dan menyelubungi tubuhnya yang setengah terbuka. Saat Arjuna membuka pintu, tampak Bu Minah berdiri dengan senyum khasnya, senyum seorang ibu yang menyimpan banyak maksud. Ditemani Ayu yang ikut menyeringai. Bu Minah mengangkat paper bag. “Ini baju tidurnya Anin, le. Ibu hampir lupa ngasih,” ujarnya sembari melirik ke dalam kamar. Matanya lalu menyapu Arjuna dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia mendekat sedikit, menundukkan suara, dan berbisik, “Inget ya, pesen Ibu... dua. Dua!” Ayu di sampingnya hanya tertawa pelan, mengacungkan dua jari sambil berkata, “Abang, dua lho targetnya, inget!” “Anak kecil nggak usah ikut campur,” ujar Arjuna sambil melirik adiknya sekilas. Ia cepat-cepat menutup lalu mengunci pintu, tapi tak bisa menyembunyikan telinganya yang mulai memerah. Ayu di luar hanya terkekeh, puas sudah berhasil menggoda sang abang. Arjuna menyerahkan paper bag itu kepada Anin yang sedang membersihkan make up Anin menerima paper bag itu dari tangan Arjuna. Ringan, tapi entah kenapa jantungnya jadi berat. “Mas, aku izin pakai kamar mandinya ya,” ujarnya pelan, setengah gugup. Arjuna mengangguk. “Iya, Dek. Hati-hati, lantainya agak licin.” Anin tersenyum sekilas lalu masuk ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup, ia menatap bayangannya di cermin sebentar. Nafasnya ditarik dalam. Tangannya mulai membuka paper bag yang katanya berisi baju tidur. Tapi saat bungkusan itu terbuka wajahnya langsung bersemu merah.Aroma mentega yang meleleh di wajan menguar ke seluruh dapur. Anin sedang membolak-balik sosis sapi dengan wajah serius, meski sesekali ia melirik roti yang sudah menguning di atas pemanggang.Tiba-tiba, dua lengan melingkar dari belakang, hangat dan erat.“Kamu masak apa, Dek?” suara serak itu membelai telinganya.Anin mengangkat alis sambil tersenyum tipis. “Masak sarapan lah, Mas. Masa masak bom?” sindirnya dengan nada santai, mencoba melepaskan tangan suaminya yang makin mengerat seperti ingin meremukkan tulangnya.“Ya siapa tahu kan kamu mendadak ahli kimia,” sahut Arjuna sambil mempererat pelukannya, dagunya disandarkan ke pundak istrinya.“Mas, jangan peluk terus, nanti gosong sosisnya,” keluh Anin, mencoba melepaskan diri. Tapi Arjuna seperti tak punya niat sedikit pun untuk melepaskan.“Yang gosong bukan cuma sosis, hati mas juga bisa gosong kalau kamu terus cuekin,” bisik Arjuna jahil.Anin mendelik ke belakang, lalu tertawa kecil. “Awas ya, nanti aku gosongin beneran.”Akh
Bab 12.Pagi itu, matahari belum tinggi saat Bu Minah melangkah ke toko sembako langganannya. Dengan daster bermotif bunga dan tas belanja anyaman di tangan, ia langsung disambut hangat oleh beberapa ibu tetangga yang sudah duduk di bangku panjang di depan toko."Bu Minah, pelaminané kemarin apik tenan loh!" seru Bu Warti sambil nyengir lebar."Iyo, makanannya juga enak, iso nambah ping telu aku," timpal Bu Yani, tertawa kecil.Bu Minah tersipu malu. "Alhamdulillah, sing penting sampean wareg," ucapnya sambil mengibaskan ujung kerudungnya yang sedikit berdebu.Obrolan berlangsung hangat, hingga satu suara nyinyir pelan menyusup."Bu Minah, nduk Anin kuwi arep tetep nggo Jakarta maneh ta?" tanya Bu Sri, matanya menyipit.Bu Minah yang sedang memilih telur, sedikit terhenti gerakannya. "Eh... aku ya durung ngerti nduk arep piye. Tapi mungkin iya, soalnya kemaren katanya masih ada urusan di kota," "Ngono ta... soale kok kesannya ora niat ngurus Arjuna. Mosok wis dadi bojone juragan, ise
Bab 11.Suara bagasi mobil dibuka menggema di halaman rumah Anin. Ayu, adik Arjuna, langsung turun lebih dulu, menyingsingkan lengan bajunya. Hari itu, mereka resmi pindahan. Barang-barang Anin akan dibawa ke rumah baru, rumah tempat ia dan Arjuna akan memulai kehidupan sebagai suami istri.“Yang mana dulu nih, bang?” tanya Ayu antusias sambil menunjuk ke tumpukan kardus di teras.“Yang ringan-ringan dulu, Yu. Biar nggak ngos-ngosan pas naik nanti,” jawab Arjuna, tersenyum kecil.Anin keluar dari dalam rumah, memanggul tas jinjing dan membawa koper besar. Nafasnya sedikit tersengal.“Dek, koper itu berat, sini mas aja yang bawa,” kata Arjuna sambil menghampiri dan langsung menarik koper dari tangan Anin.“Enggak apa-apa kok mas, aku kuat,” sanggah Anin, meskipun wajahnya sudah memerah karena mengangkat koper tadi dari kamar ke teras.“Ya justru karena kamu kuat, makanya sekarang gantian mas yang bawa,” jawab Arjuna cepat. Candanya membuat Anin hanya bisa menghela nafas sambil tersenyu
Bab 10.Sinar pagi menyusup lembut ke dalam kamar. Anin duduk dipinggir kasur, rambutnya masih acak-acakan dan wajahnya tampak setengah sadar. Ia mengumpulkan nyawa, berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa dia telah sepenuhnya milik seorang pria bernama Arjuna.Tiba-tiba suara pintu kamar mandi terbuka. Arjuna keluar, rambut masih basah, tubuh dibalut kaos longgar dan celana pendek santai."Udah bangun, Dek?" tanyanya sambil menyeka rambut dengan handuk.Anin mengangguk lemah tanpa suara. Tubuhnya bangkit perlahan, menuju kamar mandi tanpa sepatah kata. Sementara itu, Arjuna mulai membereskan kasur. Ditariknya sprei lama, dilipat rapi, lalu diganti dengan yang baru. Warna biru lembutnya serasi dengan suasana kamar."Mas, biar aku aja," ucap Anin, melihat Arjunayang masih sibuk merapikan bantal."Udah siap kok, Dek." Arjuna tersenyum singkat sambil membenahi lipatan terakhir.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka.Tok-tok-tok!"Mbak, ayok sarapan!" s
Uap hangat masih mengembun di cermin saat Anin berdiri terpaku di depannya. Butir-butir air masih menetes pelan dari ujung rambutnya, menelusuri leher dan tulang selangkanya, hingga menghilang dibalik kain tipis lingerie berwarna maroon yang kini membalut tubuhnya.Tangannya sempat ragu merapikan tali kecil di bahu. Lingerie itu terlalu terlalu tipis dan hampir transparan.Renda-rendanya hanya menutupi sebagian kecil dari tubuhnya, membuat Anin merasa nyaris telanjang. Tapi bukan hanya soal kain yang membuat jantungnya berdebar begitu keras. Ini tentang siapa yang akan melihatnya dalam balutan itu.Tok tok tok.Ketukan di pintu membuat tubuhnya tersentak."Udah siap belum, Dek? Mas mau pakai kamar mandi juga," suara Arjuna terdengar jelas dari balik pintu.Anin menelan ludah, panik sebentar, lalu cepat menjawab, “Udah siap kok, Mas. Bentar ya…”Dengan satu helaan nafas panjang, ia mencoba memberanikan diri. Ia tahu tak bisa berlama-lama di sini. Tangannya bergerak membuka kunci pintu.
Anin memandangi pantulan dirinya di cermin besar yang dihias melati dan janur. Sentuhan terakhir dari MUA membingkai wajahnya dengan sempurna. Kebaya brokat berwarna krem lembut melekat anggun, lengkap dengan paes hitam yang menambah kesan ayu dan sakral. Untuk sesaat, ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri."Cantik banget, Mbak," puji sang MUA sambil membereskan alat-alat riasnya. "Selamat ya, semoga lancar sampai selesai. Saya pamit dulu.”Anin mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih.Tak lama, terdengar ketukan di pintu.“Assalamu’alaikum…” suara itu tak lain milik Bu Lastri, ibunda tercinta.Bapak dan Ibu masuk membawa nampan berisi sepiring nasi hangat, semur ayam, dan air putih."Nduk, sarapan dulu ya," ucap Ibu lembut. "Ibu bawain ayam semur kesukaanmu."Anin tersenyum kecil, “Makasih, Bu. Aku sebenernya deg-degan, sampe lupa makan.”Bapak berdiri tak jauh, menatap putrinya yang duduk anggun di depan cermin. Pandangannya sulit ditebak, tapi matanya jelas menyimpan lautan