Juragan Arjuna berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih bersih yang baru saja disetrika. Napasnya ditahan sejenak, menenangkan degup jantung yang berdetak tak karuan. Malam ini bukan malam biasa—malam ini ia akan melamar seorang gadis, perempuan cantik bernama Anindya Kirana.
Ibu masuk ke kamar sambil memeriksa rambutnya yang dibalut kerudung satin. "Nanti ibu mau cucu dua ya, Le," bisik Bu Minah sembari merapikan bros di dadanya. "Apasih Bu, ini aja baru lamaran loh," jawab Arjuna sambil geleng-geleng. Bu Minah nyengir, lalu langsung keluar kamar. "Ibu belum siap dandan!" Arjuna menghela napas panjang, lalu berjalan ke teras, tempat ayahnya, Pak Wiryono, sudah duduk sejak beberapa menit lalu sambil menyeruput kopi panas. Pak Wiryono menoleh pelan, menatap anak lelakinya dengan mata yang tenang. "Koe memang siap dengan semua ini, kan, Le?" Arjuna mengangguk pelan. "InsyaAllah saya siap, Pak." Pak Wiryono menarik napas dalam. "Jangan pernah anggap pernikahan itu permainan ya, Le. Dan jangan pernah jadi pengecut. Sekali kamu ambil keputusan, tanggung jawab itu harus kamu bawa sampai akhir." "Inggih, Pak," ucap Arjuna serius. Ia tahu benar, bagi ayahnya, komitmen bukan hanya janji di mulut tapi sumpah yang tertulis di jiwa. Lalu Arjuna menatap jam di pergelangan tangannya. Matanya melebar. "Bu! Ayo, udah jam berapa ini!" teriaknya ke arah dalam rumah. Sejak tadi ibunya sibuk sendiri, mengganti baju tiga kali dan mencari bros yang katanya hilang padahal hanya terselip di lemari. Tak lama kemudian, Bu Minah muncul dengan kebaya ungu muda dan kain batik yang dililit rapi. Tangannya membawa tas kecil dan wajahnya sumringah. "Sabar dong, Le. Mau jadi calon suami itu harus sabar. Iya kan, Pak?" Pak Wiryono hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis. Mereka bertiga lalu masuk ke dalam mobil tua milik Pak Wiryono. Mobil itu sudah berusia puluhan tahun tapi masih sangat terawat. Arjuna sendiri belum berniat membeli mobil pribadi. Ia hanya punya truk yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil panen dan ternak. Perjalanan ke rumah keluarga Anin cukup singkat. Rumah kayu besar itu tampak hangat dengan cahaya lampu temaram yang keluar dari jendela-jendelanya. Saat mobil berhenti di halaman, Bu Lastri langsung keluar menyambut mereka dengan senyum lebar meski wajahnya terlihat letih. Di belakangnya, Pak Minan berdiri sambil mengangguk hormat. "Monggo, silakan masuk," ucap Bu Lastri ramah. "Maaf ya, nak arjuna... Anin-nya belum bisa hadir secara langsung," kata Bu Lastri. "Yo ndak papa loh, Nduk," sahut Bu Minah sambil menepuk tangan Bu Lastri. "Yang penting sehat, dan restunya jelas." Video call dibuka. Di layar, wajah Anin muncul. Ia mengenakan kerudung tipis warna biru muda, wajahnya sedikit pucat, tapi senyumnya tetap ada. Hati Arjuna berdebar aneh melihatnya. Semua duduk di ruang tamu. Teh hangat dihidangkan, piring berisi kue kering diletakkan di tengah meja. Setelah beberapa basa-basi dan saling lempar senyum, Arjuna mengangguk ke arah orang tuanya. Ia kemudian duduk lebih tegak dan menatap layar ponsel yang dipegang Bu Lastri "Assalamualaikum, Bu Lastri, Pak Minan, dan... Anin," ucap Arjuna perlahan. Suaranya tenang tapi terdengar jelas. "Pertama-tama, terima kasih karena sudah menerima kedatangan kami malam ini. Saya datang ke sini bukan hanya sebagai Arjuna, anak dari Bu Minah dan Pak Karno, tapi juga sebagai seorang pria yang ingin menunjukkan keseriusan.” Tangannya mengepal ringan di atas lutut. "Saya ingin melamar Anindya Kirana, putri dari Bapak dan Ibu, untuk menjadi istri saya. Bukan karena kasihan, bukan karena tekanan keadaan. Tapi karena saya percaya, dari semua yang terjadi... Allah telah menuntun langkah ini.” Ia menatap ke layar, suara mulai melambat. "Anindya... saya tidak bisa janji akan selalu sempurna. Tapi saya janji, saya akan berusaha jadi suami yang bisa kamu andalkan. Dalam suka dan duka. Dalam sempit dan lapang.” Ruangan hening sejenak. Pak Minan menoleh ke layar ponsel, lalu berkata, "Nduk, keputusan di tanganmu. Kami ikut apa kata hatimu.” Anin menarik napas di seberang layar. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Iya. Anin bersedia." "Alhamdulillah," ucap semua yang ada di ruangan hampir serempak. Suara lega, suara bahagia, suara syukur. Juragan Arjuna tersenyum. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatap layar ponsel Bu Lastri lama-lama, seakan ingin menyimpan baik-baik wajah itu di memorinya.Juragan Arjuna berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih bersih yang baru saja disetrika. Napasnya ditahan sejenak, menenangkan degup jantung yang berdetak tak karuan. Malam ini bukan malam biasa—malam ini ia akan melamar seorang gadis, perempuan cantik bernama Anindya Kirana.Ibu masuk ke kamar sambil memeriksa rambutnya yang dibalut kerudung satin."Nanti ibu mau cucu dua ya, Le," bisik Bu Minah sembari merapikan bros di dadanya."Apasih Bu, ini aja baru lamaran loh," jawab Arjuna sambil geleng-geleng.Bu Minah nyengir, lalu langsung keluar kamar. "Ibu belum siap dandan!"Arjuna menghela napas panjang, lalu berjalan ke teras, tempat ayahnya, Pak Wiryono, sudah duduk sejak beberapa menit lalu sambil menyeruput kopi panas.Pak Wiryono menoleh pelan, menatap anak lelakinya dengan mata yang tenang. "Koe memang siap dengan semua ini, kan, Le?"Arjuna mengangguk pelan. "InsyaAllah saya siap, Pak."Pak Wiryono menarik napas dalam. "Jangan pernah anggap pernikahan itu permainan ya, Le
Mentari sudah bergeser ke barat ketika suara langkah kaki berat terdengar di teras rumah keluarga Wiryono. Juragan Arjuna terduduk di teras rumah orangtuanya, tubuhnya bersandar lesu di kursi kayu tua yang biasa dipakai mendiang kakeknya duduk sore-sore. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan kebingungan yang dalam.Di seberangnya, duduk Bu Lastri. Matanya sembab, bekas air mata belum benar-benar kering. Ia menggenggam tangan Bu Minah, seakan masih berharap ini semua hanya mimpi."Jadi gini, Le..." suara Bu Minah membuka percakapan. Suaranya terdengar tenang tapi tak memberi ruang untuk penolakan. "Anin, anaknya Bu Lastri, bersedia menikah sama kamu.”"Kamu mau kan, Le?" tanya Bu Lastri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.Arjuna diam. Wajah Anin terlintas di benaknya. Gadis kota yang jarang pulang, yang selalu sibuk bekerja, dan kini... rela menikah dengannya demi menyelamatkan keluarganya? Perasaan iba dan bingung menyatu, bergolak dalam dadanya.Dengan nafas berat, Arjuna men
Sudah dua minggu sejak Anin pulang ke kampung, ia sibuk meminjam ke sana sini. Namun tak satupun yang berhasil. Semuanya menolak halus atau tak sanggup membantu. Terdesak waktu, akhirnya Anin memberanikan diri mengajukan pinjaman ke kantor—meski hatinya penuh ragu.Sekarang Anin tengah duduk di kursi empuk ruang HRD, tangannya menggenggam map pengajuan pinjaman yang mulai lemas di pangkuannya. Di seberangnya, Mbak Linda—staf HRD—tersenyum tipis, berusaha ramah walau jelas sulit menyampaikan kabar buruk.“Maaf ya, Anindya… jumlah yang kamu ajukan terlalu besar. Kami hanya bisa bantu lima puluh juta. Itu pun lewat approval manajemen.”Anin tersenyum kecil, meski matanya tampak sayu.“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Saya maklum. Terima kasih banyak sudah diusahakan.”Ia berdiri, membungkuk sopan, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan pelan. Begitu pintu tertutup, suara lembut langsung menyapanya.“Gimana, Nin?” tanya Dita, rekan kerjanya, dengan nada penuh harap.Anin hanya menggeleng pela
Bab 4 Tangisan bayi memecah keheningan pagi. Di tengah ruangan yang sederhana namun hangat itu, Juragan Arjuna berdiri tegap, mengumandangkan adzan lembut di telinga kanan anak mereka yang baru lahir. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suaranya tenang. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap anak itu seolah dunia telah berubah maknanya sejak kehadirannya. Selesai adzan, Arjuna menoleh pada Anin yang duduk bersandar lemah pada ranjang rumah sakit. “Dek,” katanya pelan. Anin mengangguk pelan, senyum di bibirnya mengembang meski tubuhnya masih lelah. Dengan hati-hati, Arjuna menyerahkan si kecil ke dalam pelukannya. Anin menyambutnya dengan tangan gemetar, seolah baru pertama kali menyentuh sesuatu yang begitu suci. Arjuna menunduk, mengecup kening Anin penuh kasih. “Makasih ya, Dek… Udah mau jadi istri Mas… Udah ngasih Mas gelar baru—sebagai ayah…” Anin tersenyum, air matanya mengalir tanpa suara. Ia menatap wajah suaminya, yang kini tampak begitu berbeda dari laki-laki yang dulu sekadar be
Bab 3“Anin, bangun sebentar, Nduk.” Suara itu samar, bagai gema dalam mimpi buruk. Anin meringkuk di atas kasur tipisnya, masih terlilit sisa kantuk. Namun tangan ibu mengguncang pelan pundaknya. “Ibu ada pengajian. Rantang ini tolong diantar ke sawah, ya. Bapak belum makan.” Dengan setengah sadar dan berat sebelah mata terbuka, Anin duduk. “Kenapa Ibu nggak bilang dari awal sih…” gerutunya sambil mengucek mata. Tapi tangannya tetap menyambut rantang putih dua susun yang diberi ibu. “Ibu titip ya. Pulangnya bawa rantangnya juga. Jangan ditinggal. Nanti ilang.” Ibu pergi meninggalkan kamar. Anin mematung sebentar, menghela napas panjang, lalu bergerak seperti zombie. Pertama, ia oleskan sunscreen dan sun block ke leher dan lengan—ritual wajib untuk kulit putih mulusnya. Lalu dipakainya cardigan tipis, karena di baliknya ia hanya pakai daster tidur. Rambut dijedai asal, dan tak lupa, sandal jepit. Langkahnya berat saat menuju teras. Scoopy putih susu yang dibelinya dengan hasil k
Bab 2 Langit belum sepenuhnya terang saat Anindya tiba di stasiun Semarang. Udara pagi masih menggigit, dan tubuhnya terasa lelah setengah mati. Ia memasang kacamatanya—bukan untuk membantu melihat, tapi untuk menyembunyikan matanya yang sembab. Di luar stasiun, mobil pick up tua sudah menunggu. Tetangga sebelah, Pak Raji, duduk di kursi pengemudi. “Anin ya?” sapa Pak Raji, suaranya pelan. "Iya, Pak. Makasih udah jemput.” ucap Anindya pelan. Ia membuka pintu depan dan duduk di samping sopir. Kendaraan mulai melaju. Tapi arah yang mereka tuju… bukan rumah sakit. Anin ingin bertanya, tapi urung. Mungkin, pikirnya, ibu menyuruhnya pulang dulu agar istirahat sebentar sebelum ke ICU. Lagipula matanya berat. Kepalanya berdenyut. Badannya menggigil. Ketegangan semalam belum juga reda. Sesampainya di depan rumah, dia dibangunkan oleh suara pak Raji, “Anin, wis tekan.” Ia membuka mata, mengucek pelan. Dan seketika seluruh tubuhnya membeku. Di teras rumah kecil itu, ayahnya—yang semest