Share

Lamaran

Penulis: Peonny274
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 12:59:03

Juragan Arjuna berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih bersih yang baru saja disetrika. Napasnya ditahan sejenak, menenangkan degup jantung yang berdetak tak karuan. Malam ini bukan malam biasa—malam ini ia akan melamar seorang gadis, perempuan cantik bernama Anindya Kirana.

Ibu masuk ke kamar sambil memeriksa rambutnya yang dibalut kerudung satin.

"Nanti ibu mau cucu dua ya, Le," bisik Bu Minah sembari merapikan bros di dadanya.

"Apasih Bu, ini aja baru lamaran loh," jawab Arjuna sambil geleng-geleng.

Bu Minah nyengir, lalu langsung keluar kamar. "Ibu belum siap dandan!"

Arjuna menghela napas panjang, lalu berjalan ke teras, tempat ayahnya, Pak Wiryono, sudah duduk sejak beberapa menit lalu sambil menyeruput kopi panas.

Pak Wiryono menoleh pelan, menatap anak lelakinya dengan mata yang tenang. "Koe memang siap dengan semua ini, kan, Le?"

Arjuna mengangguk pelan. "InsyaAllah saya siap, Pak."

Pak Wiryono menarik napas dalam. "Jangan pernah anggap pernikahan itu permainan ya, Le. Dan jangan pernah jadi pengecut. Sekali kamu ambil keputusan, tanggung jawab itu harus kamu bawa sampai akhir."

"Inggih, Pak," ucap Arjuna serius. Ia tahu benar, bagi ayahnya, komitmen bukan hanya janji di mulut tapi sumpah yang tertulis di jiwa.

Lalu Arjuna menatap jam di pergelangan tangannya. Matanya melebar.

"Bu! Ayo, udah jam berapa ini!" teriaknya ke arah dalam rumah. Sejak tadi ibunya sibuk sendiri, mengganti baju tiga kali dan mencari bros yang katanya hilang padahal hanya terselip di lemari.

Tak lama kemudian, Bu Minah muncul dengan kebaya ungu muda dan kain batik yang dililit rapi. Tangannya membawa tas kecil dan wajahnya sumringah.

"Sabar dong, Le. Mau jadi calon suami itu harus sabar. Iya kan, Pak?"

Pak Wiryono hanya mengangguk pelan dengan senyum tipis. Mereka bertiga lalu masuk ke dalam mobil tua milik Pak Wiryono. Mobil itu sudah berusia puluhan tahun tapi masih sangat terawat. Arjuna sendiri belum berniat membeli mobil pribadi. Ia hanya punya truk yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil panen dan ternak.

Perjalanan ke rumah keluarga Anin cukup singkat. Rumah kayu besar itu tampak hangat dengan cahaya lampu temaram yang keluar dari jendela-jendelanya. Saat mobil berhenti di halaman, Bu Lastri langsung keluar menyambut mereka dengan senyum lebar meski wajahnya terlihat letih. Di belakangnya, Pak Minan berdiri sambil mengangguk hormat.

"Monggo, silakan masuk," ucap Bu Lastri ramah.

"Maaf ya, nak arjuna... Anin-nya belum bisa hadir secara langsung," kata Bu Lastri.

"Yo ndak papa loh, Nduk," sahut Bu Minah sambil menepuk tangan Bu Lastri. "Yang penting sehat, dan restunya jelas."

Video call dibuka. Di layar, wajah Anin muncul. Ia mengenakan kerudung tipis warna biru muda, wajahnya sedikit pucat, tapi senyumnya tetap ada. Hati Arjuna berdebar aneh melihatnya.

Semua duduk di ruang tamu. Teh hangat dihidangkan, piring berisi kue kering diletakkan di tengah meja.

Setelah beberapa basa-basi dan saling lempar senyum, Arjuna mengangguk ke arah orang tuanya. Ia kemudian duduk lebih tegak dan menatap layar ponsel yang dipegang Bu Lastri

"Assalamualaikum, Bu Lastri, Pak Minan, dan... Anin," ucap Arjuna perlahan. Suaranya tenang tapi terdengar jelas.

"Pertama-tama, terima kasih karena sudah menerima kedatangan kami malam ini. Saya datang ke sini bukan hanya sebagai Arjuna, anak dari Bu Minah dan Pak Karno, tapi juga sebagai seorang pria yang ingin menunjukkan keseriusan.”

Tangannya mengepal ringan di atas lutut.

"Saya ingin melamar Anindya Kirana, putri dari Bapak dan Ibu, untuk menjadi istri saya. Bukan karena kasihan, bukan karena tekanan keadaan. Tapi karena saya percaya, dari semua yang terjadi... Allah telah menuntun langkah ini.”

Ia menatap ke layar, suara mulai melambat. "Anindya... saya tidak bisa janji akan selalu sempurna. Tapi saya janji, saya akan berusaha jadi suami yang bisa kamu andalkan. Dalam suka dan duka. Dalam sempit dan lapang.”

Ruangan hening sejenak. Pak Minan menoleh ke layar ponsel, lalu berkata, "Nduk, keputusan di tanganmu. Kami ikut apa kata hatimu.”

Anin menarik napas di seberang layar. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Iya. Anin bersedia."

"Alhamdulillah," ucap semua yang ada di ruangan hampir serempak. Suara lega, suara bahagia, suara syukur.

Juragan Arjuna tersenyum. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatap layar ponsel Bu Lastri lama-lama, seakan ingin menyimpan baik-baik wajah itu di memorinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kesayangan Juragan   Hasutan Setan.

    Bab 25.Pagi itu langit mendung, tapi suasana kampung tetap hidup. Anak-anak bermain sepeda di jalanan kecil, ibu-ibu sibuk menjemur pakaian, dan suara ayam bersahutan dari kandang belakang rumah warga. Bu Minah, dengan daster batik dan kerudung tipis yang dililit asal, baru saja memberikan uang kebersihan kepada pemuda desa yang datang menagih iuran rutin.“Makasih ya, Buk,” ucap pemuda itu, tersenyum ramah.“Sami-sami, Le. Sing semangat bersih-bersih desane,” balas Bu Minah, senyum tipis menghiasi wajahnya yang mulai berkeriput.Pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju rumah tetangga sebelah, dan Bu Minah pun kembali memperhatikan pot bunga kesayangannya yang baru saja ia siram tadi pagi—pot besar berisi anggrek bulan, ditaruh rapi di tepi halaman rumahnya.Tiba-tiba…Brakkk!Sebuah sepeda kecil melaju kencang dan menabrak pot bunga itu. Potnya pecah, tanah berhamburan, dan si anak laki-laki jatuh terguling di tanah sambil menangis kencang.“Hehh! Astaghfirullah!” teriak Bu Minah pa

  • Istri Kesayangan Juragan   Rahasia Terpendam.

    Bab 24.Anin melirik jam di handphone-nya. Sudah hampir pukul dua siang. Uap dari nasi yang tadi mengepul hangat perlahan menghilang, menyisakan dingin di meja makan. Ayam goreng yang digorengnya sebelum dzuhur sudah tak lagi renyah. Sambal tomat buatan sendiri pun mulai mengering di pinggir piring kecil.Ia duduk di kursi, diam. Tidak ada suara selain denting jam dinding dan bunyi kipas angin yang menderu pelan. Tangannya menahan dagu, matanya sayu. Arjuna belum juga pulang.Anin menghela napas berat. Ia tahu suaminya sibuk. Tapi tetap saja, ada rasa kesal. Tak ada kabar, tak ada pesan, hanya menunggu dan menunggu sampai rasa lapar berubah menjadi malas.Tak lama kemudian, suara berat memecah kesunyian.“Assalamualaikum…” suara Arjuna terdengar dari luar.Anin menjawab pelan, “Waalaikumsalam.”Arjuna masuk dengan langkah santai. Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju kamar mandi. Seperti kebiasaannya, walaupun hanya duduk di ruang kerja atau keliling kandang, Arjuna tetap mencuci ta

  • Istri Kesayangan Juragan   Orang Masa Lalu.

    Bab 23.Pagi itu, matahari baru saja naik malu-malu di balik bukit. Anin sudah bangun sejak Subuh, menyiapkan sarapan untuk Arjuna: nasi hangat, tempe goreng, dan sambal tomat kesukaan suaminya. Setelah Arjuna berangkat ke sawah, Anin membereskan dapur sebentar, lalu mengisi alat penyiram tanaman dari keran di samping rumah.Sambil bersenandung kecil, ia menyiram koleksi bunga yang ia tanam di luar pagar: mawar merah, kenanga, dan beberapa pot bunga krisan yang baru ia beli dari pasar minggu lalu. Tanah masih basah, aroma embun bercampur wangi bunga menyeruak pelan.Di seberang jalan, seorang ibu-ibu dengan daster batik berjalan sambil menenteng belanjaan di tangan kiri. Wajahnya terlihat lelah tapi semangat. Ia melambai ketika melihat Anin.“Eh Anin, lagi nyiram bunga ya?” sapa Bu Sri, tetangga depan rumah yang terkenal cerewet tapi juga cepat akrab.“Iya Bu, biar nggak layu,” jawab Anin ramah.Bu Sri melangkah pelan mendekat, meletakkan kantong belanjaan di pinggir jalan, lalu memic

  • Istri Kesayangan Juragan   Uang Bulanan.

    Bab 22. Di dalam kamar yang luas dan hangat, Arjuna membungkuk di depan lemari, memutar kombinasi angka di brankas kecil miliknya. Suara klik terdengar saat kunci terbuka, dan pintu besi pelan-pelan terbuka, memperlihatkan beberapa bundel uang yang disusun rapi. Di sofa sudut kamar, Anin duduk bersila, memainkan jari-jarinya sambil memperhatikan suaminya. Hembusan angin dari celah tirai membuat kain itu berkibar pelan. "Tirainya ditutup dulu, Dek," ujar Arjuna tanpa menoleh. "Nanti ada tuyul yang masuk." Anin tertawa kecil. “Iya, Mas. Siap.” Ia berdiri dan menarik tirai tebal itu sampai menutup sempurna. Kamar menjadi sedikit lebih redup, tapi tetap nyaman. Arjuna meletakkan dua bundel uang di atas meja kecil di hadapan Anin. "Ini untuk kebutuhan bulan ini," ucapnya singkat. Anin bergeser, duduk lebih dekat. Ia membagi uang itu dengan telaten. “Yang ini untuk makan,” ujarnya sambil menyisihkan sebagian. “Ini buat kebetulan rumah. Yang ini pakan ternak, dan ini pupuk.” Arj

  • Istri Kesayangan Juragan   Foto tersembunyi.

    Bab 21.Matahari sudah tinggi ketika Arjuna terbangun, lalu terkesiap melihat jam di dinding.“Dek... kita kesiangan,” gumamnya seraya bangkit dari tempat tidur.Anin, yang masih malas membuka mata, hanya berguling pelan. “Iya mas. Aku enggak sempat masak.”Arjuna mengenakan kaos dan celana santai. “Mas ke warung depan ya, beli sarapan dulu. Kamu beresin kamar aja.”“Hmm, iya mas... hati-hati,” jawab Anin sambil duduk di pinggir ranjang, menyisir rambut dengan jari.Setelah Arjuna keluar, Anin mulai membereskan tempat tidur. Ia merapikan bantal, menarik sprei, dan menata selimut. Tapi saat ia berjalan ke sisi ranjang tempat Arjuna biasanya tidur, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di meja kecil.Dompet kulit kecokelatan.“Mas pasti lupa bawa dompet,” gumamnya.Ia mengambil dompet itu, niatnya hanya ingin mengantarkan. Tapi jemarinya berhenti di sana. Ada rasa penasaran yang menggelitik, entah datang dari mana. “Cuma lihat sebentar, kok. Kan ini dompet suami sendiri...” bisikny

  • Istri Kesayangan Juragan   Ada Yang Cemburu.

    Bab 20.Angin lembut mengayun dedaunan, membawa suara jangkrik dan aroma tanah yang lembab selepas petang. Di teras rumah, Arjuna dan Anin duduk berdampingan. Lampu mewah menggantung cantik di teras rumah, memantulkan cahaya lembut di wajah pasangan pasutri itu.Arjuna menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mengusap pelan tengkuknya yang terasa pegal setelah seharian beraktivitas. Anin duduk tenang di sebelahnya, tangannya diletakkan di sandaran tangan kursi, sambil sesekali menatap langit yang mulai menghitam sempurna.“Beberapa kambing tadi pagi lahiran, Dek,” ucap Arjuna memecah keheningan. Senyumnya mengembang, suaranya tenang seperti biasa.Anin menoleh, bibirnya tersenyum kecil. “Alhamdulillah... banyak, Mas?”“Empat ekor. Semuanya sehat. Yang dua kembar. Nanti kamu lihat deh, lucu-lucu.”Anin mengangguk, tapi senyumnya tak bertahan lama. Matanya kembali menerawang jauh ke depan, ke arah jalan desa yang kini sepi. Di kepalanya, suara-suara asing bergaung kata-kata yang men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status