"Aku meminta maaf, Amore," ucap Marvin dengan nada serak dan rendah, setelah dia mengganti pakaian dan begitu juga dengan Zelda.
"Aku bukan keponakan kandungmu, karena itu kan, kau melecehkanku?" cicit Zelda, menatap takut bercampur gugup pada Marvin.Semuanya membaik akhir-akhir ini, tetapi karena kejadian 'itu, semua kembali buruk dan kelam. Andai waktu bisa diputar. Sungguh! Zelda tak ingin ikut dengan Marvin."Amore, tidak begitu." Marvin duduk di depan Zelda– di mana Zelda terduduk merenung di atas ranjang, memeluk lutut dengan air mata yang terus berjatuhan melintasi pipi. "Aku melakukan kesalahan padamu, dan aku meminta maaf," ucap Marvin dengan lembut dan tulus, mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Zelda."Aku tulus ingin menjagamu, kau satu-satunya keluargaku. Hanya kau dan aku, Amore," ucap Marvin lagi. Dalam hati dia mengumpat dan menggeram marah.Sialan! Itu disebabkan oleh wanita jalang tadi.Ketika dia pulang, Zelda tak ada di rumah. Dia terus menunggu namun yang datang malah seorang maid, mengantarkan minuman padanya dan berniat menggoda Marvin. Seumur hidup, baru kali ini ada maid jalang yang lolos masuk ke rumahnya.Selama ini, bahkan tak ada perempuan yang berani terang-terangan menyukai Marvin. Dia terkenal dingin dan sadis, meskipun wajahnya rupawan tetapi banyak perempuan yang memilih menjauhinya. Mereka takut!Baru jalang tadi yang dengan lancang menggoda dan bahkan menjebaknya.Saat Marvin sadar dia dijebak, Marvin langsung masuk dalam kamarnya. Dia buru-buru berendam dengan air dingin untuk menghilangkan hasrat yang membakar dirinya. Hampir saja dia berhasil, perlahan rasa terbakar dalam dirinya menghilang– pikirannya mulai jernih dan debaran jantungnya mulai normal. Namun, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka– Zelda di sana, dalam keadaan basah kuyup dan terlihat menggiurkan.Panas kembali dengan cepat menyebar ke tubuh Marvin. Hasratnya muncul dan bahkan lebih besar. Pikirannya kacau, tak melihat Zelda sebagai keponakannya– melainkan sesuatu yang nikmat untuk dikonsumsi."Maafkan aku, Amore …," serak Marvin kembali, setelah dia menjelaskan apa yang terjadi. "Aku memerintahkan mereka untuk tidak membiarkan siapapun masuk, Amore. Kenapa kau bisa masuk?" ucap Marvin kembali, perlahan menarik Zelda dalam dekapannya.Zelda hanya diam ketika Marvin membawanya ke pelukan pria ini. Dia membiarkan tubunnya yang menggigil ketakutan di peluk oleh Marvin.A--apa dia yang salah jika begitu? Seorang maid menghadangnya saat itu, tetapi Zelda yang nekat masuk dan enggan mendengarkan penjelasan maid itu. Tapi …--"I--ini kamar Paman?" ucap Zelda dengan nada lirih dan pelan, tercekik di tenggorokan– lidahnya terlalu kaku untuk berbicara dan rasanya dia masih ketakutan walaupun Marvin sudah menjelaskannya."Humm.""Kenapa-- kenapa … aku di sini?" gagap Zelda, kepalanya kacau dan dia sendiri sulit menyusun kalimat yang benar. Dia terlalu takut! Masa depannya hancur oleh pamannya sendiri. Lalu sekarang apa? Menuntut tanggung jawab? Tidak mungkin Zelda melakukannya. Dia ogah jika harus menikah dengan Pamannya sendiri. Wa--walaupun Marvin hanya adik angkat ayahnya. Tetap saja di mata Zelda pria ini pamannya dan sosok yang harus dia hormati seperti seorang keponakan pada paman.Lagipula usia mereka terpaut jauh. Zelda masih berusia dua puluh satu tahun, sedangkan pria ini …- tiga puluh lima tahun. Usia mereka terpaut empat belas tahun! Tua sekali."Aku jarang di rumah, Zelda Amira. Dan … hampir tak pernah menginap. Karena itu, aku menempatkan-mu di sini. Ini kamar paling luas dan nyaman di rumah kita," jelas Marvin, mengelus dan mengusap lembut pucuk kepala Zelda.'Ru--rumah kita katanya? Rumahku juga?'"Aku akan bertanggung jawab, Amore. Aku akan menikahimu."Deg deg degZelda seketika menjauh dari Marvin, menatap kaget dan tak percaya dengan pria tersebut. Bagaimana bisa pria ini ingin menikahinya? Mereka paman dan keponakan!!"Aku tidak mau!" Zelda menggeleng kuat dan meringsut ke kepala ranjang– menyilangkan tangan di depan dada sembari menatap muram bercampur takut pada Marvin, "ka--kau pamanku! Aku tidak mau menikah denganmu! Aku lebih baik pergi dari sini.""Kau tidak bisa pergi dari sini." Tiba-tiba suara Marvin berubah dingin, "dan secepatnya kita akan menikah.""Paman gila?!""Aku harus bertanggung jawab padamu.""Tidak perlu! Aku--aku tidak butuh dan tak harus menikahiku," bantah Zelda."Apa yang akan kau jelaskan pada suamimu di masa depan kelak saat kau akan menyerahkan dirimu padanya? Kau akan mengatakan jika kau telah diperkosa oleh Pamanmu, begitu?!" desis dan geram Marvin, suaranya semakin dingin dan tatapan matanya berubah tajam. "Aku juga bukan paman kandungmu, kita tak ada ikatan darah, jadi kita sah-sah saja untuk menikah.""Aku tidak mau. Aku lebih baik hidup sendiri dari pada menikah dengan pamanku sendiri." Zelda dengan keras kepala terus membantah. Bagaimanapun, dia tak ingin menikah dengan pria tua ini.Sebenarnya usia tiga puluh lima tahun itu tidak tua, tetapi matang. Hanya saja, perbedaan usia mereka terlalu jauh! Zelda tidak mau!"Hidup sendiri?" Marvin menaikkan sebelah alis, "agar kau bisa keluyuran sesukamu dan bebas pulang malam. Orang tuamu sering mengadukan kelakuan burukmu padaku. Jadi aku sangat tahu!"Bohong! Bukan orang tua Zelda, karena Marvin tidak dekat dengan Zack. Tetapi, dia sendiri yang mengawasinya dari jauh. Ada rahasia antara Zelda, Zeck, dan Marvin!Zelda seketika terdiam, dia termakan ucapan Marvin. 'Jadi Paman memang dekat dengan Ayah yah? Tapi jika mereka dekat, kenapa baru sekarang aku mengenalnya? Aneh dan mencurigakan.'"Tapi usia kita sangat jauh. Aku ti--tidak mau menikah dengan Paman. Aku takut dikira simpananmu."Akibat paksaan dan rayuan iblis bernama Marvin Abelard, sekarang Zelda sah menjadi istri pria itu. Mereka menikah di rumah mewah ini, dilaksanakan secara tertutup– sengaja dirahasiakan karena perbedaan usia mereka yang lumayan jauh serta alasan tertentu lainnya. Zelda masih fokus pada pendidikannya, dan Marvin tak ingin pendidikan Zelda terganggu karena status mereka sebagai suami istri. Percayalah! Marvin punya banyak musuh, baik yang terang-terangan atau tersembunyi. Setidaknya tunggu sampai Zelda menyelesaikan pendidikannya lebih dulu, baru Marvin mempublish istrinya tersebut. "Baru pertama kalinya aku memakai gaun, dan … ini gaun pernikahanku," gumam Zelda pelan, berdiri di depan cermin sembari menatap pantulan dirinya yang tengah mengenakan gaun tersebut. Gaun ini lengan panjang dan bagian dada tertutup, sangat sopan namun tidak mengurangi kecantikannya sama sekali. "Gaun yang bagus," gumamnya lagi sembari mengangguk-anggukkan kepala. Zelda kuliah di salah satu universitas swa
"Kok bisa yah kita ke sana?" tanya Zelda, menggaruk kepala karena tak paham kenapa dia bisa melaksanakan Praktek Kerja Profesi di perusahaan itu. Setelah pernikahannya dengan Marvin, Zelda memilih libur kuliah selama tiga hari– dia memanfaatkan itu untuk healing dan ziarah kubur ke makam orang tuanya. Sedangkan Marvin, setelah malam pengantin mereka, pria itu pamit pergi ke luar kota. Ada urusan mendadak dan kepentingan. Zelda tidak masalah dan tak kepo juga pada apa urusan serta kepentingan suaminya tersebut. Shit! Sampai sekarang dia masih belum bisa menerima pernikahannya dengan Marvin. Di matanya Marvin tetaplah seorang paman. Dia tahu jika pria itu sudah menyentuhnya– pertanda jika hubungan mereka sudah layaknya seperti suami istri pada umumnya. Namun, tetap saja Zelda sulit menerimanya. Seperti …- guru. Meskipun sudah lulus dari sekolah tersebut, jika bertemu dengan sang guru, tetap saja bukan, di mata kita dia adalah seorang guru yang notabe-nya harus kita hormati. Nah, begi
"Jadi Paman yang menukar tempat Praktek Kerjaku?"Marvin dengan santai menganggukkan kepala, dia tersenyum namun itu malah mengerikan di mata Zelda–membuat Zelda meneguk saliva secara kasar dan paksa, gugup bercampur merinding menatap senyuman mengerikan suaminya. Ah, maksud Zelda pamannya. Ditambah tatapan Marvin yang selalu tajam, itu semakin membuat Zelda khawatir dan takut. 'Bagian matanya yang hitam sangat misterius. Aku seperti menyelami samudera ketika melihatnya.'"U--untuk apa Paman melakukannya?" tanya Zelda, masih menoleh gugup dan canggung ke arah Marvin. Pria ini tak sedikitpun membiarkan Zelda pindah, padahal sejujurnya Zelda risih duduk di atas pangkuan Marvin. "Mengawasi istriku." Marvin berkata dingin, menyenderkan dagu di atas pundak Zelda–secara santai dan tanpa beban sedikitpun, tak tahu saja jika Zelda risih dengannya. Dia tahu sebenarnya, tetapi Marvin memilih untuk tak peduli. Zelda sudah menjadi miliknya seutuhnya, dan sudah sepantasnya tubuh Zelda terbiasa d
Dengan ragu, dia membuka mulut dan menerima suapan dari pamannya. Ketika makanan itu sudah masuk dalam mulutnya, Zelda spontan menutup mulut dengan tangan–dia takut mual dan memuntahkannya. Namun ….Zelda seketika terdiam, fokus mengunyah makanan dalam mulut sembari memikirkan sesuatu. 'Kenapa tidak rasa rumput yah? Ini …- enak.' batin Zelda. "Kenapa?" Zelda yang masih bingung sontak menoleh ke arah pamannya, di mana dia dengan suka rela membuka mulut dan menerima suapan kedua dari Marvin. "Ini … sayur apa, Paman?" tanya Zelda sembari menatap sayur di mangkuk. Warnanya hijau dan mirip dengan rumput daun lebar. "Mirip dengan Amaranthus spinosus," celutuk Zelda sembari mengamati sayur dalam mangkuk cantik dan antik tersebut. "Humm. Amaranthus tetapi bukan kelas spinosus," jelas Marvin, menatap lamat pada sang istri–di mana kedua pipi Zelda terlihat tembem karena diisi oleh makana dalam mulut. Oh, shit! Di mata Marvin, ini sangat menggemaskan. Terlebih mata Zelda bulat, bulu matanya
Sekitar tengah sembilan malam, Zelda pulang ke rumah sang Paman. Tentunya setelah dia menghabiskan waktu bersama teman-temannya, nongkrong untuk menghilangkan stress ala mahasiswa angkatan akhir. Sejujurnya, Zelda merasa sedikit takut karena ini sudah malam dan dia baru pulang. Dia takut berhadapan dengan Marvin, di mana pamannya tersebut akan memarahinya habis-habisan. Namun, rasa ke khawatiran Zelda tersebut seketika lenyap saat tak melihat mobil yang biasa Marvin pakai terparkir di tempatnya. Karena mungkin Marvin sering mengenakan mobil hitam mewah tersebut, dia punya parkiran khusus yang bisa dipantau dari luar–seperti yang Zelda lakukan sekarang. Dan … mobil sang Paman belum ada di sana. Artinya, pamannya belum pulang. "Yes yes yes …!" Zelda memekik senang, menaikkan tangan yang dikepal lalu menarik tangan dengan semangat sembari melangkah riang masuk dalam rumah mewah tersebut. "Atau jangan-jangan Paman ke luar kota lagi," monolog Zelda sembari berjalan riang, menaiki tangg
Namun sebelum dia beranjak sedikitpun, tangan Marvin lebih dulu mengalung di pinggang Zelda; melingkar di sana dengan erat dan sangat posesif. "Pa--Paman …-" Cup'Belum selesai Zelda melanjutkan perkataannya, bibir pria itu lebih dulu menempel di atas bibirnya. Zelda membelalak kaget, beberapa detik tak bisa menguasai diri dengan hanya terdiam dan mematung. Jantungnya berdebar kencang, rasanya akan pecah di dalam sana. Bibir Marvin perlahan bergerak, menyapu dan melumat bibir lembut dan manis Zelda. Awalnya hanya lumatan dengan ritme pelan dan penuh penghayatan, namun beberapa detik setelah itu lumatan Marvin berubah kasar, menuntut dan juga rakus. Jantung Zelda semakin kacau dalam sana, wajahnya memucat dan matanya membulat sempurna. Dia tahu dia pernah melakukan ini, bahkan lebih dengan Marvin. Namun, tetap saja Zelda tidak bisa menguasai diri–dia tetap terkejut dan risih dengan semua ini. "Eungmmm," racau Zelda, memejamkan mata sembari mendorong kuat dada bidang sang paman. Bu
"Ja--jangan merokok," ucap Zelda, tiba-tiba bangkit dan langsung merampas korek saat Marvin ingin menyalakan rokok. Marvin menaikkan sebelah alis, menatap Zelda dengan manik dan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Marvin melepas rokok dari bibir, meletakkannya kembali di nakas. Smirk tipis tiba-tiba muncul di bibir seksinya, menatap lagi ke arah Zelda dengan tatapan intens yang melelehkan. "Asal kau memberikan bibirmu sebagai gantinya, aku bisa berhenti merokok." Marvin berkata dengan serak, tiba-tiba meraih pinggang Zelda–memeluknya dengan mesra, "bagaimana, Mi Esposa," tambah Marvin, meraih korek di tangan Zelda lalu meletakkannya di sebelah rokok tadi. Zelda membulatkan mata, cukup cengang mendengar perkataan Marvin. Wajah Zelda menegang dan bibirnya terkunci rapat. Entah kenapa Zelda takut jika bibirnya terbuka, Marvin akan melahapnya. Tidak! Tapi … mengganti bibirnya dengan rokok-- itu seperti apa?Zelda memiringkan kepala, menatap Marvin bingung. Tangannya berada di pundak
Bug'Berhenti dengan menghantam kepala sang CEO perusahaan. Zelda menganga di tempat dengan tubuh membeku dan mematung. Habislah dia!!Semua orang menahan nafas, menatap sang CEO dengan raut cemas dan takut-takut. Dimas-- laki-laki berusia dua puluh dua tahun tersebut segera berdiri dari lantai, membungkuk kemudian meminta maaf. "Maaf … maaf, Pak," ucap Dimas. Bukan hanya sekali tetapi dia mengulangnya beberapa kali karena takut bermasalah dengan pria berbahaya dihadapannya tersebut. Sedangkan Marvin, dia mengabaikan laki-laki yang meminta maaf padanya. Sejenak dia menatap sepatu yang menghantam kepalanya–kini sepatu itu tergeletak di lantai, di depannya. Kemudian dia mengangkat pandangannya, menatap ke arah seorang perempuan muda. Tak lain perempuan itu adalah istrinya. Marvin meraih sepatu tersebut, setelah itu menatap Zelda dengan tatapan tajam dan penuh intimidasi. "Ikut!" dinginnya. Selanjutnya kembali melangkahkan kaki, beranjak dari sana dengan diikuti oleh rombongannya. "K