LOGINBerdiri menatap bangunan tinggi di depannya. Senyum Kian begitu lebar, akhirnya dia bisa masuk ke perusahaan.“Semangat, Kian. Mulai hari ini, kamu harus menata hidupmu lebih baik.”Setelah menyemangati dirinya, senyum Kian berubah getir. Dia masih tidak menyangka kalau dulu bisa dibohongi Julian. Anda semua uang yang dia keluarkan untuk membayar utangnya, Kian mungkin tak perlu menjual rumah peninggalan ibunya.“Jangan pikirkan pria itu lagi, Kian. Sekarang yang perlu kamu lakukan adalah jangan mengulangi kesalahan yang sama.”Kepala Kian mengangguk setelah menenangkan dirinya sendiri. Menarik napas dalam-dalam, Kian melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung HW. Company.Langkah Kian begitu mantap memasuki lobby, sampai tatapannya tertuju ke meja resepsionis. Dia tidak melihat resepsionis yang kemarin jutek padanya, berjaga di sana.Mengedikkan kedua bahu, Kian melanjutkan langkahnya menuju ruang HRD.Begitu sampai di sana, Kian menemui Kepala HRD yang memberikan surat tugas juga lanya
Kedua tangan Kian hampir saja mendorong kasar tubuh Arthur kalau saja dia tak melihat wajah Arthur yang sangat pucat.Melepas rengkuhan tangan Arthur di lengannya. Kian segera bangkit dari berbaring, duduk di samping Arthur yang masih memejamkan mata, lantas menyentuh kening pria ini.Wajah Kian berubah tegang merasakan kening Arthur sangat panas, belum lagi kelopak mata Arthur berkerut dalam, seperti tak bisa tidur dengan nyenyak.“Arthur, kamu sakit?” tanya Kian dengan nada sedikit lirih.Tidak ada respon dari Arthur, tapi Kian bisa melihat wajah Arthur yang kesakitan.Turun dari ranjang dengan cepat, Kian segera keluar kamar mengambil air dingin untuk mengompres di dapur.Saat kembali ke kamar. Kian meminta Arthur berbaring terlentang. Tampak jelas wajah Arthur yang pucat, bahkan tubuhnya benar-benar panas.“Berbaringlah dengan tenang, aku akan mengompresmu,” kata Kian.Mengambil sapu tangan yang sudah dia celupkan ke air dingin, Kian dengan perlahan menyentuhkan kain itu di kening
Saat malam hari.Arthur masih duduk di ruang kerjanya, meski tidak melakukan apa pun. Dia hanya diam dengan tatapan menerawang jauh, mengingat setiap kata penekanan yang diucapkan oleh kakeknya.Hal yang paling dia ingat saat sang kakek berkata, “Jika bukan aku ini yang merawatmu sampai dewasa, siapa lagi? Keluarga ibumu yang entah dari mana asal-usulnya? Jangan seperti ayahmu yang menikah dengan wanita sembarangan. Jadi, ikuti perintahku sebagai balas budimu.”Arthur malas berdebat dengan sang kakek, hingga tanpa kata dia lebih memilih untuk tak menanggapi Arron saat meninggalkan pria tua itu.Ketika mendengar suara ketukan dari luar, tatapan Arthur tertuju ke arah pintu yang baru saja terbuka dan Kendrick muncul dari sana.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Arthur.Kendrick menatap bingung saat mendengar pertanyaan Arthur begitu di sampai di depan meja.“Ya, karena Anda lembur, jadi saya juga lembur, Tuan.”Mengarahkan pergelangan tangan ke hadapannya, Arthur menatap arloji yang sud
Kian menatap Kepala HRD dan staff yang sedang saling bisik. Jemarinya semakin meremas kuat, panik dan takut wawancara ini gagal kini menghantuinya.Kian tidak bisa mengecewakan Arthur, sehingga Kian berusaha meyakinkan.“Meskipun saya belum pernah bekerja di perusahaan, tapi saya pastikan akan memberikan yang terbaik untuk perusahaan dengan kemampuan saya.”Orang-orang di depannya kini menatap pada Kian. Tatapan-tatapan asing ini membuat Kian panik.“Tidak masalah jika belum memiliki kemampuan.”Kian terdiam dengan tatapan tak percaya ke arah Kepala HRD.“Dilihat dari nilai dasar dan kemampuan, semuanya bagus. Kami memutuskan untuk memberimu kesempatan, tiga bulan masa training. Jika dalam tiga bulan kamu berhasil melakukan tugas-tugas yang diberikan, maka kami akan mengangkatmu menjadi pegawai tetap di HW. Compani.”Kian menegakkan tubuhnya, setiap kata yang meluncur dari bibir Kepala HRD, seperti tidak nyata.“Saya diterima, Bu?” tanya Kian memastikan.Kepala HRD menutup berkas resu
Di ruang kerja Arthur.Begitu mendapat pesan dari Kian, tangannya bergerak cepat mendial nomor HRD untuk mempertanyakan jadwal wawancara yang sudah diatur sebelumnya.“Selamat pagi, Pak Hadwin.”“Rekrutan yang aku ajukan, kenapa tidak ada jadwal wawancara formalitasnya hari ini?” Nada suara Arthur dingin dan dalam ketika bicara.“Ada, Pak. Saya sudah menjadwalkannya hari ini. Bahkan, saya sekarang ini sedang menunggu kedatangannya.”Kening Arthur berkerut dalam mendengar penjelasan Kepala HRD, jadi siapa yang salah?“Dia tidak diizinkan masuk untuk wawancara oleh bagian resepsionis. Jika ada sedikit saja kesalahan yang kalian lakukan padanya, maka tanggung sendiri resikonya.” Ucapan bernada ancaman yang keluar dari bibir Arthur, terdengar penuh penekanan dan tak terbantahkan.“Saya akan segera mengeceknya langsung, Pak. Anda jangan khawatir, hari ini juga saya pastikan Anda menerima laporan penerimaannya.”Setelah mendengar balasan memuaskan itu, Arthur mengakhiri panggilan itu begitu
Kedua kaki Kian bergerak secepat dia bisa. Tangannya terulur meraih lengan kakek yang diteriakinya, dengan cepat Kian membawa kakek itu ke bahu jalan.“Kakek, itu sangat berbahaya,” spontan Kian sedikit membentak pria tua itu.Pria tua yang tak lain Arron, terkesiap menatap Kian yang bernapas terengah sambil menatap panik padanya.Kian melihat kakek tua ini diam. Sadar jika sudah membentak, Kian mengatur napasnya agar stabil, sebelum kemudian berkata, “Maaf Kakek kalau aku membuat Kakek terkejut. Tapi apa yang Kakek lakukan tadi sangat berbahaya. Apa Kakek tidak lihat, lampu untuk pejalan kaki berwarna merah, Kek.”Kian menunjuk ke lampu lalu lintas, setelah tadi merah, kini lampu lalu lintas berwarna hijau untuk pejalan kaki.Arron menatap ke lampu yang Kian tunjuk. Saat menatap kembali pada gadis muda yang berani menyentuhnya ini, Arron berkata, “Bukankah tadi berwarna hijau? Sekarang ini merah.”Kian terkesiap. Dia menatap bingung, sampai akhirnya menyadari sesuatu. “Kakek buta warn







