Share

Memilih Pergi

Author: Aldra_12
last update Last Updated: 2025-12-09 15:08:55

Setelah menghubungi seseorang. Arthur kembali melangkahkan kaki menghampiri Kian yang menunggunya.

Mengulurkan ponsel milik Kian, Arthur berkata, “Sudah.”

Kian mengambil ponselnya, memasukkan ke tas kecil miliknya, sebelum kembali menatap Arthur dan bertanya, “Bagaimana? Temanmu mau membantumu memberitahu majikanmu soal kondisimu?”

Arthur menjawab pertanyaan Kian hanya dengan sebuah anggukan.

Kian kini mengangguk-angguk.

“Aku akan memposting rumahku untuk dijual. Kita pindah ke kota, pekerjaanmu juga di kota, kan?” tanya Kian.

Walau tampak tegar, tapi sorot mata Kian menyembunyikan kepedihan dan juga rasa berat karena harus menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya.

Kembali ke rumah Kian.

Kian mengemasi barang-barangnya, tidak ada yang berharga selain surat rumah dan pakaian-pakaian yang dimilikinya.

Sedangkan Arthur, dia hanya duduk memperhatikan Kian yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Keningnya berkerut samar, dilihat sekilas, pakaian-pakaian Kian tidak ada yang bermerek sama sekali.

“Aku tidak membawa banyak barang, hanya pakaian saja,” kata Kian.

Arthur tak merespon sama sekali ucapan Kian, sampai gadis itu memandang ke arahnya sekarang.

“Di rekeningku masih ada sedikit sisa uang. Bisa digunakan untuk mengontrak rumah, mungkin sebulan sampai rumah ini terjual,” kata Kian dengan sedikit ragu.

Di kota besar, biaya kontrakan juga hidup pasti lebih mahal, membuat Kian ragu apakah sisa uang yang dimilikinya akan cukup atau tidak.

“Tidak perlu mengontrak. Aku punya tempat tinggal di kota,” balas Arthur. Dia bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekat ke arah Kian berdiri.

Menatap langkah Arthur yang semakin dekat dengannya, membuat Kian tiba-tiba saja salah tingkah, apalagi tatapan Arthur yang tajam tertuju padanya, seolah ingin mengintimidasinya.

Arthur menghentikan langkah tepat di hadapan Kian. Dia lantas menoleh ke tas milik gadis ini.

Kian merasakan jantungnya mendadak berdegup dengan cepat, padahal Arthur tidak bicara apa pun dan tidak melakukan apa pun.

Untuk membuang rasa canggung yang menyergah di dadanya, Kian lantas berkata, “Itu, apa kita tinggal dengan orang tuamu?”

Pandangan Arthur langsung tertuju pada Kian yang baru saja selesai bicara, kepala Arthur menggeleng pelan. “Tidak.”

Kian membentuk huruf O dengan bibir, sampai Arthur kembali bicara.

“Tapi setidaknya rumahku bisa dijadikan tempat berteduh.”

“Baiklah kalau begitu, uang tabunganku bisa untuk makan kita dulu.” Kian melebarkan senyumnya. Dia tak ingin pergi tanpa persiapan, sehingga Kian harus mengatur segalanya dengan hati-hati sebelum mereka melangkah pergi.

Setelah sepakat. Kian dan Arthur benar-benar meninggalkan rumah Kian.

Menaiki bus menuju kota besar, sepanjang jalan Kian hanya duduk diam memandang jalanan yang mereka lewati.

Sedangkan Arthur. Dia tak nyaman duduk berdesakan dengan banyak orang dalam bus. Bahkan Arthur sampai menempel pada Kian agar lengannya tidak tersenggol penumpang lain yang berdiri di dekatnya.

Menyadari Arthur semakin merapat ke arahnya. Kian menatap ekspresi wajah Arthur yang tampak tak nyaman. Suaminya ini terus mencoba menyingkirkan lengan agar tidak tersentuh penumpang lain, hingga Kian menyadari kalau Arthur sepertinya memang tak terbiasa naik bus atau tidak nyaman karena Arthur masih terluka.

“Mau tukar tempat duduk?” tanya Kian.

Arthur terkesiap. Dia menatap Kian yang sudah memandangnya.

“Aku akan berdiri, kamu bergeserlah ke kursiku, aku akan duduk di sana.”

Arthur tak banyak bicara. Dia memilih mengangguk dan melakukan yang Kian katakan.

Begitu sudah bertukar tempat duduk. Kian melebarkan senyum melihat ekspresi wajah Arthur berubah tenang.

Saat itu, Arthur menoleh ke arah Kian, membuat tatapan mereka bertemu. Dan dia, melihat senyum lepas di wajah Kian.

**

Setelah perjalanan beberapa saat. Akhirnya mereka tiba di kota. Kian dan Arthur turun di salah satu halte bus.

Kian mengedarkan pandangan ke sekitar, tempatnya berpijak dekat dengan area pemukiman elite di kota itu.

“Ayo,” ajak Arthur dengan nada suara datarnya.

Menenteng tas berisi pakaian, Kian langsung berjalan mengikuti Arthur menuju salah satu komplek perumahan yang dekat dengan halte tempat mereka turun tadi.

“Tunggu.” Kian menahan lengan Arthur, membuat pria itu berhenti melangkah dan kini menoleh padanya.

“Kamu tinggal di komplek ini?” tanya Kian memastikan.

Arthur menoleh ke arah gerbang komplek sebelum kembali menatap pada Kian. “Ya.”

“Kamu punya rumah di perumahan elite ini?” tanya Kian memastikan sambil menunjuk ke area komplek.

Arthur lupa soal pengakuannya, sehingga dia buru-buru menjawab, “Ya, tapi rumah ini milik majikanku. Aku hanya diberi fasilitas untuk menempati, katanya daripada rumahnya kosong.”

Kian mengerutkan kening, dia menoleh ke arah komplek sebelum menatap Arthur yang sekarang mengalihkan pandangan darinya.

“Baik sekali majikanmu.”

Mendengar balasan Kian, Arthur yakin kalau gadis ini percaya, sehingga dia segera mengajak Kian pergi ke salah satu rumah yang ada di komplek itu.

Saat mereka tiba di depan pintu rumah. Arthur menekan menyentuhkan sidik jarinya di gagang pintu sebagai pemindai, lalu membuka pintu itu untuk Kian.

“Akan kutambahkan sidik jarimu nanti agar kamu bisa keluar masuk rumah dengan leluasa.”

“Hah, apa?” Kian keheranan, dia menatap gagang pintu yang bisa dibuka hanya dengan sidik jari.

Arthur menatap Kian yang sedang terkagum-kagum, dia mengembuskan napas pelan, sebelum berkata, “Masuklah dulu. Aku harus pergi menemui majikanku.”

Kian mengangguk-angguk pelan.

Saat Arthur memutar tumit untuk pergi, Kian menahan lengan Arthur lalu bertanya, “Di dalam benar-benar tidak ada orang lain, kan? Apa kamu akan pergi lama? Apa di dalam ada makanan? Aku lapar.”

Arthur diam sesaat, rumah ini lama tak ditempatinya, jelas tidak ada makanan di dalam sana.

“Tidak ada siapa pun di dalam. Aku tidak akan lama, nanti kubawakan makanan saat kembali.”

Kian melebarkan senyum, dia mengangguk pelan sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.

Arthur memperhatikan sampai pintu rumah kembali tertutup, baru setelahnya dia pergi meninggalkan Kian di dalam rumah sendirian.

Berjalan menuju ke garasi di samping rumah. Arthur membuka pintu mobil yang terparkir di dalam garasi, lalu dia masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesinnya.

Setelahnya, dia melesatkan mobil sedan hitam itu meninggalkan garasi dengan sangat cepat.

Mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Tatapan Arthur begitu tajam membelah jalanan yang dilewatinya, sampai dia sampai di area perumahan elite, masuk lebih dalam menuju sebuah rumah besar yang ada di salah sudut area perumahan itu.

Hanya dua kali tekan klakson mobil, gerbang besar rumah langsung terbuka. Mobil yang Arthur kendarai melewati gerbang besar itu, menuju ke halaman rumah mewah yang ada di dalam sana.

Turun dari mobil dengan tubuh tegap dan tatapan penuh wibawa, beberapa pelayan di depan langsung membungkuk ke arah Arthur.

“Selamat sore, Tuan.” Para pelayan menyapa serempak.

Dengan nada suara tegas, Arthur bertanya, “Di mana Kakek?”

“Ada di dalam bersama Tuan Oliver, Tuan.”

Tatapan Arthur menajam mendengar nama Oliver. Tanpa kata, Arthur mengayunkan langkah masuk ke dalam rumah mewah itu.

Derap sepatu yang dipakainya menggema di ruangan besar yang Arthur lewati, sampai akhirnya langkah kakinya berhenti saat tiba di ruang keluarga.

“Arthur, akhirnya kamu pulang. Kakek mencarimu dari kemarin,” sapa Oliver–sepupu Arthur, sambil meletakkan cangkir yang dipegangnya kembali di meja.

Arthur melempar tatapan sedingin es ke arah Oliver. Tidak ada satu pun orang di rumah ini yang tak tahu kalau Arthur dan Oliver selalu berselisih dan tidak pernah akur.

“Apa ada yang berharap aku tidak pulang, hah?” Tatapan Arthur begitu tajam.

Oliver hanya tersenyum tipis. Dia mengabaikan kalimat dari Arthur.

Arron Hadwin–kakek Arthur, kini menatap cucunya yang baru saja menghilang hampir dua puluh empat jam, lalu muncul secara tiba-tiba di rumah, seperti biasanya.

“Kamu menghilang di kencan buta yang aku siapkan. Apa kamu berusaha menghindari perjodohan lagi? Kamu sepertinya memang tidak tertarik dengan apa yang kusiapkan.”

Suara dalam sang kakek mengalihkan tatapan Arthur ke pria tua itu. Masih dalam posisi berdiri, Arthur memandang Arron saat dia berucap, “Ya, aku memang menghindari perjodohan yang Kakek buat.”

“Arthur!” Suara Arron meledak, tatapannya begitu kesal karena Arthur terus menolak perjodohan yang dibuatnya.

Sedangkan Oliver. Dia tersenyum tipis melihat sang kakek marah karena sikap keras kepala Arthur.

“Sudah kubilang, akan kubawa pengantinku sendiri,” balas Arthur dengan tenang.

“Pengantin? Bahkan dekat dengan wanita saja kamu tidak pernah, Arthur. Kakek sudah berbaik hati mencarikan pasangan yang cocok untukmu, kenapa kamu terus kabur?” Oliver angkat suara, terselip nada mencemooh di kalimat yang meluncur dari mulutnya.

Mata Arthur memicing tajam ke Oliver, satu tangannya terkepal kuat menatap mulut busuk sepupunya.

“Jadi, mana pengantin yang selalu kamu janjikan, hah? Kamu hanya banyak omong kosong.” Arron sudah naik darah menghadapi sikap keras Arthur. Dia hanya ingin Arthur menikah dan memberinya keturunan sebelum dia mati, tapi Arthur sangat keras kepala dan lebih sibuk bekerja daripada memenuhi permintaannya.

Arthur memasukkan tangan ke saku celana, lalu dia mengeluarkan surat nikah miliknya dan mengangkatnya di udara, di samping wajahnya. “Aku sudah menikah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kilat Presdir Tampan    Kasihan Sekali

    Di rumah yang Kian tempati sekarang.Kian hanya duduk dengan tatapan mengedar ke seluruh ruangan yang sekarang ditempatinya. Tidak banyak perabot di sana, tapi jelas kalau rumah itu termasuk mewah dengan desain interior yang cantik.Sejak kepergian Arthur, Kian tidak berani masuk ke dalam rumah lebih dalam, apalagi masuk ke ruangan yang ada di sana. “Kenapa dia lama sekali?” gumam Kian.Sesekali Kian menoleh ke arah pintu utama berada, tapi dia tidak mendapati Arthur kembali.Kian mengembuskan napas kasar, dia masih duduk menunggu sampai terdengar perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Mengusap lembut perutnya yang keroncongan, Kian akhirnya mengeluh, “Lapar.”Kian menoleh ke dapur. Jika Arthur selama ini tinggal di rumah ini, pasti ada bahan makanan di dapur.Bangkit dari duduknya, lalu melangkah kecil menuju dapur. Kian mencoba membuka lemari pendingin, tapi sayangnya tidak ada apa pun di sana.Kening Kian berkerut dalam, sambil memandangi lemari pendingin yang kosong melompong, dia ber

  • Istri Kilat Presdir Tampan    Tidak Direstui

    “Apa maksudmu?” Arron langsung bangkit dari duduknya. Sambil meremat pangkal tongkat yang dipegangnya, tatapan Arron tertuju ke surat nikah yang Arthur tunjukkan.“Kakek ingin aku menikah, kan? Sekarang kukabulkan, aku sudah menikah,” ucap Arthur dengan tenang.Sedangkan Oliver. Dia diam memandang surat nikah yang dipegang Arthur, tanpa sadar jemarinya saling meremat, ekspresi tak senang tersirat jelas di wajahnya.Arron mengetukkan ujung tongkat di lantai, dengan tatapan penuh amarah, Arron berkata, “Jangan sembarangan! Bagaimana bisa kamu menikah tanpa sepengetahuanku?”Suara Arron yang menggelegar, kembali menggema ketika dia berkata, “Gadis dari keluarga mana? Bagaimana pendidikannya dan bagaimana perilakunya? Kamu tidak bisa menikahi wanita sembarangan!”“Sudahlah, Kakek. Kakek ingin aku menikah, aku sudah menikah. Sekarang Kakek masih meributkan soal statusnya?” Arthur tersenyum tipis, lalu kembali berkata, “Yang terpenting aku menikah dan permintaan Kakek terpenuhi.”Setelah me

  • Istri Kilat Presdir Tampan    Memilih Pergi

    Setelah menghubungi seseorang. Arthur kembali melangkahkan kaki menghampiri Kian yang menunggunya.Mengulurkan ponsel milik Kian, Arthur berkata, “Sudah.”Kian mengambil ponselnya, memasukkan ke tas kecil miliknya, sebelum kembali menatap Arthur dan bertanya, “Bagaimana? Temanmu mau membantumu memberitahu majikanmu soal kondisimu?”Arthur menjawab pertanyaan Kian hanya dengan sebuah anggukan.Kian kini mengangguk-angguk.“Aku akan memposting rumahku untuk dijual. Kita pindah ke kota, pekerjaanmu juga di kota, kan?” tanya Kian.Walau tampak tegar, tapi sorot mata Kian menyembunyikan kepedihan dan juga rasa berat karena harus menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya.Kembali ke rumah Kian.Kian mengemasi barang-barangnya, tidak ada yang berharga selain surat rumah dan pakaian-pakaian yang dimilikinya.Sedangkan Arthur, dia hanya duduk memperhatikan Kian yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Keningnya berkerut samar, dilihat sekilas, pakaian-pakaian Kian tidak ada yang bermerek

  • Istri Kilat Presdir Tampan    Seorang Sopir?

    Begitu paman dan bibi Kian pergi. Gadis itu langsung menatap Arthur yang berdiri di sampingnya, dengan kedua tangan Arthur yang masuk ke kedua celana.Kemeja dan celana itu seharusnya dipakai Julian saat menikah nanti dengan Kian, tapi karena batal menikah dengan Julian, Kian akhirnya memberikan pakaian itu ke Arthur agar terlihat layak dan sopan saat prosesi pernikahan mereka tadi. Walau ukuran Julian ternyata lebih kecil dari Arthur.“Kamu tidak perlu menanggung utang-utang yang aku miliki. Kamu tidak perlu membayarnya, ingat pernikahan kita tidak seperti yang orang lain bayangkan,” kata Kian lalu menurunkan sedikit pandangannya dari Arthur. Meski bersikap tegar, dia juga sedang bingung karena sudah habis-habisan dan hanya memiliki sedikit sisa tabungan.“Aku tetap akan membayar utangmu.”Kalimat dari Arthur membuat Kian kembali menatap pada pria ini. Kening Kian berkerut samar, dia menatap Arthur yang begitu percaya diri..“Apa kamu punya uang? Apa kamu orang kaya?” tanya Kian bert

  • Istri Kilat Presdir Tampan    Pernikahan Kontrak

    Kian membulatkan bola mata lebar, bahkan kini bibir mungilnya bergerak gagap. “Ap-apa?”Paman dan bibi Kian sangat syok, mata mereka melotot seperti ingin terlepas dari tempatnya.“Apa yang kamu katakan?” lirih Kian saat merasakan pundaknya diremas kuat.Arthur menoleh Kian, ekspresi wajahnya datar, tapi tatapan matanya mengartikan sesuatu.Kian meneguk ludah kasar. Tatapan mata Arthur seperti sedang mengintimidasinya, membuatnya tak berkutik dan panik.Mengalihkan tatapannya dari Kian ke kedua orang tua di hadapannya, Arthur masih memberikan tatapan datar saat dia berkata, “Aku mencintai Kian dan aku yang akan menikahinya.”Kian gelagapan mendengar ucapan Arthur, dia sampai menatap paman dan bibinya secara bergantian sebelum menatap pada Arthur lagi dengan tatapan panik.Namun, Arthur begitu tenang, satu tangannya masih merangkul erat pundak Kian, sedangkan tatapannya tetap tertuju pada paman dan bibi Kian.Meski terkejut dengan pengakuan pria muda di depannya ini, bibi Kian mencoba

  • Istri Kilat Presdir Tampan    Calon Suami?

    Tidak bisa mengambil keputusan terlalu lama. Akhirnya Kian membawa Arthur ke rumah sederhana peninggalan orang tuanya.Kian juga memanggil dokter untuk mengobati luka di perut Arthur. Berjalan mondar-mandir menunggu Dokter selesai mengobati Arthur yang dia baringkan di kamarnya, akhirnya Kian melihat Dokter keluar.“Bagaimana kondisinya?” tanya Kian dengan tatapan panik.Jika Arthur terluka parah, lalu mati di rumahnya. Kian yang akan terkena masalah.Dokter mengembuskan napas kasar, lalu dia menjelaskan, “Lukanya tidak terlalu dalam, tapi itu luka tusuk dari benda tajam.”Kian melebarkan bola matanya.“Kalau dia sudah sadar, lebih baik segera minta dia pergi, jangan sampai kamu terkena masalah,” ucap Dokter lagi.Kepala Kian mengangguk-angguk cepat. “Tapi, bisa tidak Dokter rahasiakan keberadaannya di sini?”Kian sebenarnya bingung, apakah tindakannya benar atau tidak, hanya hati nuraninya tidak tega membiarkan Arthur tenggelam begitu saja di dasar sungai.Dokter mengangguk. Dia memb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status