LOGINBegitu paman dan bibi Kian pergi. Gadis itu langsung menatap Arthur yang berdiri di sampingnya, dengan kedua tangan Arthur yang masuk ke kedua celana.
Kemeja dan celana itu seharusnya dipakai Julian saat menikah nanti dengan Kian, tapi karena batal menikah dengan Julian, Kian akhirnya memberikan pakaian itu ke Arthur agar terlihat layak dan sopan saat prosesi pernikahan mereka tadi. Walau ukuran Julian ternyata lebih kecil dari Arthur.
“Kamu tidak perlu menanggung utang-utang yang aku miliki. Kamu tidak perlu membayarnya, ingat pernikahan kita tidak seperti yang orang lain bayangkan,” kata Kian lalu menurunkan sedikit pandangannya dari Arthur. Meski bersikap tegar, dia juga sedang bingung karena sudah habis-habisan dan hanya memiliki sedikit sisa tabungan.
“Aku tetap akan membayar utangmu.”
Kalimat dari Arthur membuat Kian kembali menatap pada pria ini. Kening Kian berkerut samar, dia menatap Arthur yang begitu percaya diri..
“Apa kamu punya uang? Apa kamu orang kaya?” tanya Kian bertubi.
Arthur diam sesaat mendengar ucapan Kian. Dia memandang gadis di depannya ini. Arthur tidak tahu bagaimana sebenarnya Kian, bisa saja Kian memang kebetulan menolongnya dan bagaimana kalau Kian sebenarnya gadis matre seperti gadis-gadis pada umumnya.
“A-aku … aku memang tidak kaya, tapi aku bekerja sebagai sopir di keluarga kaya,” kata Arthur begitu meyakinkan.
Kian menyipitkan mata. Wajah Arthur tak seperti sopir pada umumnya, kulitnya bersih, tubuhnya bagus dan berotot sangat terawat. Apa benar Arthur hanya seorang sopir?
Namun, Kian tidak mau berpikir berlebih.
“Kalau kamu seorang sopir, lalu kenapa kamu terluka seperti itu? Itu luka tusuk, kan?” tanya Kian dengan tatapan masih menyipit curiga.
Arthur menurunkan pandangan sambil menyentuh perutnya yang terluka, saat kembali menatap pada Kian yang sedang memandangnya penuh tuntutan, Arthur mencoba menjelaskan.
“Ini karena berkelahi. Aku ada selisih dengan salah satu pekerja, tidak menyangka saja kalau dia membawa pisau dan menusukku,” kilah Arthur.
Mengurangi kewaspadaannya, Kian lantas berucap, “Hm … jadi kamu kabur, lalu mobilmu tak sengaja menabrak pembatas jembatan dan masuk sungai?”
Kian menatap Arthur yang menganggukkan kepala. Setelahnya dia melipat kedua tangan di depan dada dan kembali berkata, “Kalau memang kamu ini sopir, itu artinya, mobil yang masuk sungai itu milik majikanmu? Bukankah itu artinya kamu harus mengganti rugi mobil itu?”
Arthur terkejut. Dia tidak mengira Kian akan membahas sampai ke sana. Dengan tetap menunjukkan ekspresi wajah yang tenang, Arthur membalas, “Tentu saja.”
“Aku akan menemui majikanku setelah ini dan menjelaskan semuanya. Majikanku baik, dia akan memahami kondisiku,” imbuh Arthur lagi.
Kian diam, berpikir. Dia menatap ekspresi wajah Arthur yang panik, lalu setelahnya menatap ke buku nikah miliknya.
‘Meski hanya menikah kontrak, tapi Arthur punya niat baik membantuku membayar utang walau entah bisa atau tidak. Jadi, mungkin aku bisa membantunya sedikit juga,’ batin Kian lalu dia mengangguk pelan.
“Begini saja, aku harus membayar utang sedangkan kamu juga harus mengganti rugi mobil majikanmu yang tenggelam. Aku akan menjual rumah peninggalan orang tuaku untuk membayar utang, daripada Paman dan Bibi terus mengejarku. Sisanya bisa digunakan untukmu mengganti mobil majikanku, ya walaupun sepertinya tidak akan cukup,” kata Kian dengan tatapan polos tanpa dusta sedikitpun.
Arthur terperangah mendengar ucapan Kian. ‘Gadis ini, padahal diri sendiri susah, tapi masih memikirkan orang lain?’ batin Arthur sambil menatap heran.
“Aku akan pindah ke kota juga, sepertinya tidak mungkin lagi tinggal di sini,” ucap Kian diakhiri senyum getir di wajah. “Aku akan mencari pekerjaan yang bisa memberiku gaji lebih besar agar bisa membantumu bertanggung jawab ke majikanmu,” imbuhnya lagi.
Arthur menatap Kian yang baru saja bicara dengan serius, sebelum gadis ini tersenyum padanya.
Berdeham pelan saat melihat tatapan Kian yang dirasa aneh baginya, Arthur sekilas mengalihkan tatapan dari Kian, sebelum kembali menatap ke gadis di depannya ini.
“Kamu punya ponsel, kan?” tanya Arthur.
“Tentu saja,” balas Kian.
Arthur mengulurkan tangan ke Kian, lalu dia berkata, “Aku pinjam. Aku perlu menghubungi as … maksudku teman untuk memberitahu kondisiku. Jangan sampai aku dikira membawa kabur mobil majikanku jika tak ada kabar.”
Kian segera mengeluarkan ponselnya, lalu memberikan ke Arthur. “Ini, pakai saja.”
Arthur kembali memasang wajah datar saat mengangguk. Dia melangkah menjauh dari Kian, begitu dirasa Kian tidak akan mendengar suaranya saat bicara, Arthur lantas menekan nomor untuk menghubungi seseorang.
Menyentuhkan ponsel ke telinga setelah menekan nomor, Arthur mendengar nada dering dari seberang panggilan, sampai akhirnya panggilan itu dijawab.
“Halo.”
Mendengar suara pria dari seberang panggilan, Arthur langsung berkata, “Ini aku.”
“Tuan. Ya Tuhan, Anda di mana? Kenapa ponsel Anda tidak bisa dihubungi?”
Suara panik dari seberang panggilan membuat Arthur memijat keningnya pelan. “Tidak usah berlebihan, aku baik-baik saja sekarang.”
“Syukurlah. Sekarang Anda di mana? Saya akan menjemput Anda sendiri untuk menjamin keselamatan Anda.”
Sebelum menjawab, Arthur lebih dulu menoleh ke arah Kian berdiri, gadis itu sedang menunduk sambil menendang-nendang pelan kerikil di tanah. Kembali fokus ke panggilan, Arthur berkata, “Tidak perlu menjemputku. Aku akan kembali, tapi aku tidak sendirian.”
Di rumah yang Kian tempati sekarang.Kian hanya duduk dengan tatapan mengedar ke seluruh ruangan yang sekarang ditempatinya. Tidak banyak perabot di sana, tapi jelas kalau rumah itu termasuk mewah dengan desain interior yang cantik.Sejak kepergian Arthur, Kian tidak berani masuk ke dalam rumah lebih dalam, apalagi masuk ke ruangan yang ada di sana. “Kenapa dia lama sekali?” gumam Kian.Sesekali Kian menoleh ke arah pintu utama berada, tapi dia tidak mendapati Arthur kembali.Kian mengembuskan napas kasar, dia masih duduk menunggu sampai terdengar perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Mengusap lembut perutnya yang keroncongan, Kian akhirnya mengeluh, “Lapar.”Kian menoleh ke dapur. Jika Arthur selama ini tinggal di rumah ini, pasti ada bahan makanan di dapur.Bangkit dari duduknya, lalu melangkah kecil menuju dapur. Kian mencoba membuka lemari pendingin, tapi sayangnya tidak ada apa pun di sana.Kening Kian berkerut dalam, sambil memandangi lemari pendingin yang kosong melompong, dia ber
“Apa maksudmu?” Arron langsung bangkit dari duduknya. Sambil meremat pangkal tongkat yang dipegangnya, tatapan Arron tertuju ke surat nikah yang Arthur tunjukkan.“Kakek ingin aku menikah, kan? Sekarang kukabulkan, aku sudah menikah,” ucap Arthur dengan tenang.Sedangkan Oliver. Dia diam memandang surat nikah yang dipegang Arthur, tanpa sadar jemarinya saling meremat, ekspresi tak senang tersirat jelas di wajahnya.Arron mengetukkan ujung tongkat di lantai, dengan tatapan penuh amarah, Arron berkata, “Jangan sembarangan! Bagaimana bisa kamu menikah tanpa sepengetahuanku?”Suara Arron yang menggelegar, kembali menggema ketika dia berkata, “Gadis dari keluarga mana? Bagaimana pendidikannya dan bagaimana perilakunya? Kamu tidak bisa menikahi wanita sembarangan!”“Sudahlah, Kakek. Kakek ingin aku menikah, aku sudah menikah. Sekarang Kakek masih meributkan soal statusnya?” Arthur tersenyum tipis, lalu kembali berkata, “Yang terpenting aku menikah dan permintaan Kakek terpenuhi.”Setelah me
Setelah menghubungi seseorang. Arthur kembali melangkahkan kaki menghampiri Kian yang menunggunya.Mengulurkan ponsel milik Kian, Arthur berkata, “Sudah.”Kian mengambil ponselnya, memasukkan ke tas kecil miliknya, sebelum kembali menatap Arthur dan bertanya, “Bagaimana? Temanmu mau membantumu memberitahu majikanmu soal kondisimu?”Arthur menjawab pertanyaan Kian hanya dengan sebuah anggukan.Kian kini mengangguk-angguk.“Aku akan memposting rumahku untuk dijual. Kita pindah ke kota, pekerjaanmu juga di kota, kan?” tanya Kian.Walau tampak tegar, tapi sorot mata Kian menyembunyikan kepedihan dan juga rasa berat karena harus menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya.Kembali ke rumah Kian.Kian mengemasi barang-barangnya, tidak ada yang berharga selain surat rumah dan pakaian-pakaian yang dimilikinya.Sedangkan Arthur, dia hanya duduk memperhatikan Kian yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Keningnya berkerut samar, dilihat sekilas, pakaian-pakaian Kian tidak ada yang bermerek
Begitu paman dan bibi Kian pergi. Gadis itu langsung menatap Arthur yang berdiri di sampingnya, dengan kedua tangan Arthur yang masuk ke kedua celana.Kemeja dan celana itu seharusnya dipakai Julian saat menikah nanti dengan Kian, tapi karena batal menikah dengan Julian, Kian akhirnya memberikan pakaian itu ke Arthur agar terlihat layak dan sopan saat prosesi pernikahan mereka tadi. Walau ukuran Julian ternyata lebih kecil dari Arthur.“Kamu tidak perlu menanggung utang-utang yang aku miliki. Kamu tidak perlu membayarnya, ingat pernikahan kita tidak seperti yang orang lain bayangkan,” kata Kian lalu menurunkan sedikit pandangannya dari Arthur. Meski bersikap tegar, dia juga sedang bingung karena sudah habis-habisan dan hanya memiliki sedikit sisa tabungan.“Aku tetap akan membayar utangmu.”Kalimat dari Arthur membuat Kian kembali menatap pada pria ini. Kening Kian berkerut samar, dia menatap Arthur yang begitu percaya diri..“Apa kamu punya uang? Apa kamu orang kaya?” tanya Kian bert
Kian membulatkan bola mata lebar, bahkan kini bibir mungilnya bergerak gagap. “Ap-apa?”Paman dan bibi Kian sangat syok, mata mereka melotot seperti ingin terlepas dari tempatnya.“Apa yang kamu katakan?” lirih Kian saat merasakan pundaknya diremas kuat.Arthur menoleh Kian, ekspresi wajahnya datar, tapi tatapan matanya mengartikan sesuatu.Kian meneguk ludah kasar. Tatapan mata Arthur seperti sedang mengintimidasinya, membuatnya tak berkutik dan panik.Mengalihkan tatapannya dari Kian ke kedua orang tua di hadapannya, Arthur masih memberikan tatapan datar saat dia berkata, “Aku mencintai Kian dan aku yang akan menikahinya.”Kian gelagapan mendengar ucapan Arthur, dia sampai menatap paman dan bibinya secara bergantian sebelum menatap pada Arthur lagi dengan tatapan panik.Namun, Arthur begitu tenang, satu tangannya masih merangkul erat pundak Kian, sedangkan tatapannya tetap tertuju pada paman dan bibi Kian.Meski terkejut dengan pengakuan pria muda di depannya ini, bibi Kian mencoba
Tidak bisa mengambil keputusan terlalu lama. Akhirnya Kian membawa Arthur ke rumah sederhana peninggalan orang tuanya.Kian juga memanggil dokter untuk mengobati luka di perut Arthur. Berjalan mondar-mandir menunggu Dokter selesai mengobati Arthur yang dia baringkan di kamarnya, akhirnya Kian melihat Dokter keluar.“Bagaimana kondisinya?” tanya Kian dengan tatapan panik.Jika Arthur terluka parah, lalu mati di rumahnya. Kian yang akan terkena masalah.Dokter mengembuskan napas kasar, lalu dia menjelaskan, “Lukanya tidak terlalu dalam, tapi itu luka tusuk dari benda tajam.”Kian melebarkan bola matanya.“Kalau dia sudah sadar, lebih baik segera minta dia pergi, jangan sampai kamu terkena masalah,” ucap Dokter lagi.Kepala Kian mengangguk-angguk cepat. “Tapi, bisa tidak Dokter rahasiakan keberadaannya di sini?”Kian sebenarnya bingung, apakah tindakannya benar atau tidak, hanya hati nuraninya tidak tega membiarkan Arthur tenggelam begitu saja di dasar sungai.Dokter mengangguk. Dia memb







