LOGIN“Apa maksudmu?” Arron langsung bangkit dari duduknya. Sambil meremat pangkal tongkat yang dipegangnya, tatapan Arron tertuju ke surat nikah yang Arthur tunjukkan.
“Kakek ingin aku menikah, kan? Sekarang kukabulkan, aku sudah menikah,” ucap Arthur dengan tenang.
Sedangkan Oliver. Dia diam memandang surat nikah yang dipegang Arthur, tanpa sadar jemarinya saling meremat, ekspresi tak senang tersirat jelas di wajahnya.
Arron mengetukkan ujung tongkat di lantai, dengan tatapan penuh amarah, Arron berkata, “Jangan sembarangan! Bagaimana bisa kamu menikah tanpa sepengetahuanku?”
Suara Arron yang menggelegar, kembali menggema ketika dia berkata, “Gadis dari keluarga mana? Bagaimana pendidikannya dan bagaimana perilakunya? Kamu tidak bisa menikahi wanita sembarangan!”
“Sudahlah, Kakek. Kakek ingin aku menikah, aku sudah menikah. Sekarang Kakek masih meributkan soal statusnya?” Arthur tersenyum tipis, lalu kembali berkata, “Yang terpenting aku menikah dan permintaan Kakek terpenuhi.”
Setelah mengatakan itu, Arthur memutar tumit. Dia melangkahkan kaki meninggalkan ruang keluarga itu lagi.
“Arthur! Arthur!”
Suara teriakan Arron tidak didengarkan Arthur. Dia terus mengayunkan langkah menuju pintu utama rumah mewah itu.
Arthur menolak beberapa putri keluarga kaya dan memilih menikahi Kian karena Arthur tidak ingin diatur oleh kesepakatan bisnis yang dicapai dari pernikahan bisnis antar dua keluarga.
Lagi pula, dia hanya berjanji akan menikah tanpa berjanji akan menikahi siapa. Jadi, bukan salah dia kalau memilih Kian sebagai pengantinnya.
Arthur kembali masuk ke dalam mobil, lalu dia mengemudikan mobilnya meninggalkan kediaman sang kakek.
Menyetir dalam keadaan kesal, Arthur merasakan lukanya kembali nyeri. Dia memutar arah laju mobilnya, menuju ke arah yang berlawanan dengan lokasi Kian berada sekarang.
Begitu tiba di salah satu gedung apartemen. Arthur segera memarkirkan mobil dan masuk ke dalam apartemen, menuju salah satu unit yang ada di sana.
Berdiri di depan salah satu pintu, Arthur menekan bel beberapa kali, tangan kirinya memegangi perut yang semakin nyeri.
Begitu pintu terbuka, seorang pria muda berdiri berhadapan dengan Arthur, Kendrick–asisten pribadi dan orang kepercayaan Arthur, langsung melebarkan senyum melihat kedatangan atasannya ini.
“Tuan, Anda sudah kembali.”
Arthur tidak langsung membalas sapaan Kendrick, tapi dia memilih menerobos masuk ke dalam apartemen asistennya ini.
“Anda datang sendiri? Bukankah Anda berkata akan pulang bersama seseorang?” tanya Kendrick.
Kendrick sudah bekerja menjadi asisten Arthur selama delapan tahun. Dan sampai saat ini, hanya Kendrick lah yang benar-benar Arthur percayai.
“Dia di rumahku,” balas Arthur tanpa menoleh Kendrick. Dia membaringkan tubuhnya di sofa, lalu membuka satu persatu kancing kemeja yang dipakainya.
Kendrick terkesiap, kenapa Arthur tiba-tiba membuka pakaiannya?
Masih tanpa menatap pada Kendrick, Arthur kembali berucap, “Perutku tertusuk, coba lihat apakah lukanya infeksi atau tidak.”
Kendrick membulatkan bola mata mendengar ucapan Arthur. Dia bergegas mendekat, berlutut dengan satu kaki di samping Arthur, lalu mencoba mengecek luka yang terbalut perban.
“Ini ulahnya?” tanya Kendrick, tatapannya berubah tajam. Dia langsung bisa menebak dalang yang menyerang Arthur. “Seharusnya saya menemani Anda kemarin, Tuan.” Kendrick menatap penuh penyesalan karena Arthur sampai terluka.
“Tidak perlu kamu pikirkan,” balas Arthur begitu tenang, “sekarang lihat saja, apa lukaku infeksi atau tidak,” perintahnya.
Kendrick mengamati perban yang membungkus luka Arthur.
“Perbannya sangat rapi, apa sebelumnya sudah diobati oleh dokter?” tanya Kendrick memastikan.
“Aku tidak tahu,” balas Arthur.
Kening Kendrick berkerut dalam.
“Kian yang menolongku dan mungkin dia juga yang membalut lukaku,” ucap Arthur dengan mata terpejam.
“Kian?” Kendrick mengerutkan kening. “Apa dia yang Anda bawa ke sini?” tanya Kendrick memastikan.
Arthur terdiam sejenak, dia membuka mata, mengarahkan pandangan pada Kendrick saat berkata, “Panggilkan dokter untuk memeriksa lukaku, ini sangat nyeri.”
Kendrick tersentak. Dia segera bangun untuk menghubungi dokter.
Beberapa saat kemudian. Dokter datang memeriksa luka di perut Arthur, setelahnya Dokter kembali menutup lukanya dengan rapat.
“Lukanya diobati dengan baik. Jika sebelumnya terlambat ditangani, sepertinya akan terjadi infeksi,” kata Dokter.
Kendrick hanya mengangguk-angguk, sedangkan Arthur memejamkan mata.
Setelah berterima kasih pada Dokter dan mengantar sampai depan pintu, Kendrick kembali menemui Arthur yang tidak tidur.
“Jadi, Anda mau memberitahu saya, siapa Kian ini?”
Arthur membuka mata, tatapannya tertuju pada Kendrick yang berdiri di dekatnya sedang memandang dirinya.
“Dia yang menolongku dan dia istriku.”
“Apa?” Kendrick sampai berteriak dengan tatapan tak percaya.
Arthur membuang napas kasar, setelahnya dia berucap, “Akan kuceritakan nanti.”
Sambil bangun dari berbaringnya, Arthur kembali bicara, “Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku.”
“Apa itu, Tuan?”
Di rumah yang Kian tempati sekarang.Kian hanya duduk dengan tatapan mengedar ke seluruh ruangan yang sekarang ditempatinya. Tidak banyak perabot di sana, tapi jelas kalau rumah itu termasuk mewah dengan desain interior yang cantik.Sejak kepergian Arthur, Kian tidak berani masuk ke dalam rumah lebih dalam, apalagi masuk ke ruangan yang ada di sana. “Kenapa dia lama sekali?” gumam Kian.Sesekali Kian menoleh ke arah pintu utama berada, tapi dia tidak mendapati Arthur kembali.Kian mengembuskan napas kasar, dia masih duduk menunggu sampai terdengar perutnya yang tiba-tiba berbunyi.Mengusap lembut perutnya yang keroncongan, Kian akhirnya mengeluh, “Lapar.”Kian menoleh ke dapur. Jika Arthur selama ini tinggal di rumah ini, pasti ada bahan makanan di dapur.Bangkit dari duduknya, lalu melangkah kecil menuju dapur. Kian mencoba membuka lemari pendingin, tapi sayangnya tidak ada apa pun di sana.Kening Kian berkerut dalam, sambil memandangi lemari pendingin yang kosong melompong, dia ber
“Apa maksudmu?” Arron langsung bangkit dari duduknya. Sambil meremat pangkal tongkat yang dipegangnya, tatapan Arron tertuju ke surat nikah yang Arthur tunjukkan.“Kakek ingin aku menikah, kan? Sekarang kukabulkan, aku sudah menikah,” ucap Arthur dengan tenang.Sedangkan Oliver. Dia diam memandang surat nikah yang dipegang Arthur, tanpa sadar jemarinya saling meremat, ekspresi tak senang tersirat jelas di wajahnya.Arron mengetukkan ujung tongkat di lantai, dengan tatapan penuh amarah, Arron berkata, “Jangan sembarangan! Bagaimana bisa kamu menikah tanpa sepengetahuanku?”Suara Arron yang menggelegar, kembali menggema ketika dia berkata, “Gadis dari keluarga mana? Bagaimana pendidikannya dan bagaimana perilakunya? Kamu tidak bisa menikahi wanita sembarangan!”“Sudahlah, Kakek. Kakek ingin aku menikah, aku sudah menikah. Sekarang Kakek masih meributkan soal statusnya?” Arthur tersenyum tipis, lalu kembali berkata, “Yang terpenting aku menikah dan permintaan Kakek terpenuhi.”Setelah me
Setelah menghubungi seseorang. Arthur kembali melangkahkan kaki menghampiri Kian yang menunggunya.Mengulurkan ponsel milik Kian, Arthur berkata, “Sudah.”Kian mengambil ponselnya, memasukkan ke tas kecil miliknya, sebelum kembali menatap Arthur dan bertanya, “Bagaimana? Temanmu mau membantumu memberitahu majikanmu soal kondisimu?”Arthur menjawab pertanyaan Kian hanya dengan sebuah anggukan.Kian kini mengangguk-angguk.“Aku akan memposting rumahku untuk dijual. Kita pindah ke kota, pekerjaanmu juga di kota, kan?” tanya Kian.Walau tampak tegar, tapi sorot mata Kian menyembunyikan kepedihan dan juga rasa berat karena harus menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya.Kembali ke rumah Kian.Kian mengemasi barang-barangnya, tidak ada yang berharga selain surat rumah dan pakaian-pakaian yang dimilikinya.Sedangkan Arthur, dia hanya duduk memperhatikan Kian yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Keningnya berkerut samar, dilihat sekilas, pakaian-pakaian Kian tidak ada yang bermerek
Begitu paman dan bibi Kian pergi. Gadis itu langsung menatap Arthur yang berdiri di sampingnya, dengan kedua tangan Arthur yang masuk ke kedua celana.Kemeja dan celana itu seharusnya dipakai Julian saat menikah nanti dengan Kian, tapi karena batal menikah dengan Julian, Kian akhirnya memberikan pakaian itu ke Arthur agar terlihat layak dan sopan saat prosesi pernikahan mereka tadi. Walau ukuran Julian ternyata lebih kecil dari Arthur.“Kamu tidak perlu menanggung utang-utang yang aku miliki. Kamu tidak perlu membayarnya, ingat pernikahan kita tidak seperti yang orang lain bayangkan,” kata Kian lalu menurunkan sedikit pandangannya dari Arthur. Meski bersikap tegar, dia juga sedang bingung karena sudah habis-habisan dan hanya memiliki sedikit sisa tabungan.“Aku tetap akan membayar utangmu.”Kalimat dari Arthur membuat Kian kembali menatap pada pria ini. Kening Kian berkerut samar, dia menatap Arthur yang begitu percaya diri..“Apa kamu punya uang? Apa kamu orang kaya?” tanya Kian bert
Kian membulatkan bola mata lebar, bahkan kini bibir mungilnya bergerak gagap. “Ap-apa?”Paman dan bibi Kian sangat syok, mata mereka melotot seperti ingin terlepas dari tempatnya.“Apa yang kamu katakan?” lirih Kian saat merasakan pundaknya diremas kuat.Arthur menoleh Kian, ekspresi wajahnya datar, tapi tatapan matanya mengartikan sesuatu.Kian meneguk ludah kasar. Tatapan mata Arthur seperti sedang mengintimidasinya, membuatnya tak berkutik dan panik.Mengalihkan tatapannya dari Kian ke kedua orang tua di hadapannya, Arthur masih memberikan tatapan datar saat dia berkata, “Aku mencintai Kian dan aku yang akan menikahinya.”Kian gelagapan mendengar ucapan Arthur, dia sampai menatap paman dan bibinya secara bergantian sebelum menatap pada Arthur lagi dengan tatapan panik.Namun, Arthur begitu tenang, satu tangannya masih merangkul erat pundak Kian, sedangkan tatapannya tetap tertuju pada paman dan bibi Kian.Meski terkejut dengan pengakuan pria muda di depannya ini, bibi Kian mencoba
Tidak bisa mengambil keputusan terlalu lama. Akhirnya Kian membawa Arthur ke rumah sederhana peninggalan orang tuanya.Kian juga memanggil dokter untuk mengobati luka di perut Arthur. Berjalan mondar-mandir menunggu Dokter selesai mengobati Arthur yang dia baringkan di kamarnya, akhirnya Kian melihat Dokter keluar.“Bagaimana kondisinya?” tanya Kian dengan tatapan panik.Jika Arthur terluka parah, lalu mati di rumahnya. Kian yang akan terkena masalah.Dokter mengembuskan napas kasar, lalu dia menjelaskan, “Lukanya tidak terlalu dalam, tapi itu luka tusuk dari benda tajam.”Kian melebarkan bola matanya.“Kalau dia sudah sadar, lebih baik segera minta dia pergi, jangan sampai kamu terkena masalah,” ucap Dokter lagi.Kepala Kian mengangguk-angguk cepat. “Tapi, bisa tidak Dokter rahasiakan keberadaannya di sini?”Kian sebenarnya bingung, apakah tindakannya benar atau tidak, hanya hati nuraninya tidak tega membiarkan Arthur tenggelam begitu saja di dasar sungai.Dokter mengangguk. Dia memb







