Share

Bab 2 Tragedi

“Maaf, putra Anda meninggal.”

Sekuat tenaga Gina berusaha membekap mulutnya sendiri, demi meredam suara tangisannya yang kian keras. 

Di balik dinding, Gina bisa mendengar vonis sang dokter terhadap Sean. 

Dunia Gina seketika runtuh setelah mendengarnya, bahkan untuk sekedar berdiri pun dia tak sanggup. 

Gina berdoa dalam hati, semoga dia bisa segera bangun dari mimpi ini.

Sementara Wijaya, tetap berdiri kokoh di tempatnya. 

Meski kini dia bak patung yang kaku, tetapi bola matanya tampak bergetar dan otaknya berusaha mencerna segala ucapan yang baru saja diucapkan dokter.

“Tuan … “ Annie berusaha memastikan Wijaya tetap baik-baik saja meski berita meninggalnya Sean tentu mengguncang klien pentingnya itu.

“Brengsek!!!” Wijaya tiba-tiba menerjang tubuh Annie, mendorong ke dinding di belakang.

Melihat itu, Andrea dan asisten Wijaya tampak berusaha memisahkan keduanya. 

Beruntung, Wijaya mempekerjakan asisten tangguh. Jadi, wanita itu bisa diandalkan di saat genting seperti ini.

Sementara itu, Annie yang sudah terlepas–tampak terbatuk keras, memegangi lehernya yang lebam. 

Wijaya pun segera menepis pegangan asisten di lengannya. Dengan jari telunjuk yang diacungkan sejajar ke wajah Annie, dia mengutuk dengan murka.

“Kau … akan kupastikan kau berakhir di penjara!” seru Wijaya–tak peduli meski seluruh lorong ruang darurat itu mendengar amukannya.

“Aku hanya menyuruhmu mengusir Gina, bukan membunuh Sean!!” bentak Wijaya. Darahnya makin mendidih, naik ke atas otaknya.

Annie menggeleng. Dia ketakutan luar biasa.

“Maafkan aku, Tuan. Aku benar-benar … “ Tangisnya banjir, bercampur antara syok mendengar kematian Sean dan takut akan ancaman Wijaya.

Dia tidak menyangka bahwa dirinya membuat kekacauan untuk klien sepenting Wijaya. Seandainya Annie bisa lebih bersabar dan tidak terpancing emosi, setidaknya … Sean mungkin masih hidup. Reputasinya sebagai pengacara selama 9 tahun tidak perlu dipertaruhkan seperti ini.

“Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Hidupmu hancur mulai hari ini.” Wijaya masih mengacungkan telunjuknya.

Asisten Wijaya buru-buru mendorong Annie menjauh–menyuruh wanita itu pergi dari hadapan Wijaya sebelum segalanya berubah runyam. 

Bukan Wijaya yang dia khawatirkan, tapi keberadaan Andrea sebagai seorang artis, tentu akan mengundang perhatian banyak orang.

Annie pun tidak melawan dan terlihat menjauh pergi.

Tapi, sebelum pergi, Gina dapat menangkap senyum kelegaan dari wajah pengacara itu.

Ada sedikit rasa curiga di benak Gina, tapi itu tak penting. Yang terpenting sekarang adalah mencari cara agar Gina bisa melihat anaknya untuk terakhir kali.

******

Upacara pemakaman Sean berlangsung penuh haru dan tangisan dari seluruh pengunjung upacara pemakaman sore ini. 

Langit pun menunjukkan kesedihannya dengan rintik air hujan yang membasahi tanah pemakaman Sean.

Wijaya tidak berbicara sama sekali. Dia tampak memilih diam meski seluruh kerabat memandang heran ke arahnya. 

“Bagaimana anak sekecil Sean bisa mati mengenaskan?” 

“Ke mana ibunya?” 

Begitulah segala bisik-bisik para pengunjung, meski tidak ada satu pun yang berani memastikan secara langsung.

“Tuan Wijaya, mari pergi … “ 

Andrea lantas menuntun langkah Wijaya–mengajak pria itu meninggalkan makam Sean karena seluruh pengunjung telah pergi.

Wijaya tampak menurut, seakan telah kehilangan daya di tubuhnya. 

Wijaya tidak menolak saat Andrea memegang tangannya, mengajaknya pergi dari sana.

Dia bahkan tidak menoleh ke belakang. Wijaya sama sekali tak menitikkan air mata. Namun, pandangan pria itu terlihat kosong. 

Tanpa mereka sadari, Gina berada di sekitar area pemakaman sedari tadi. 

Perlahan, ia mendekati makam Sean dengan payung hitam di tangannya. 

Gina menutupi mata sembab dengan kacamata hitam, seakan takut Sean akan bersedih melihat tangisannya.

“Maafkan Mama, Sean,” isak Gina, mengelus batu nisan Sean, dengan hati berdenyut sakit.

“Mama seharusnya membawamu sebelum pergi. Mama memang bodoh.” 

Nada bicara Gina gemetar. Hatinya makin teriris sakit saat dia mengingat pagi ini yang pergi begitu saja tanpa usaha untuk membawa Sean bersamanya.

“Harusnya Mama yang dikubur di sini, bukan kamu, Sean….” Gina terus bicara sendiri, “apakah dingin di bawah sana, Nak?”

Wanita itu bersimpuh, memeluk batu nisan sang anak tak memedulikan gaun hitamnya yang telah bercampur tanah dan basah terkena air hujan. 

“Sean … Maafkan Mama!” Gina menangis semakin keras, seiring dengan eratnya pelukan pada batu nisan Sean.

Di tengah-tengah kesedihan Gina, tampak sebuah sepatu hitam berjalan pelan mendekati makam Sean. 

Gina buru-buru mendongak ke atas, takut jika yang datang adalah Wijaya. Namun, dia terkejut melihat sosok yang melemparnya kemarin.

“Kau?” 

Asisten Wijaya itu berdiri dengan wajah sendu dan ikut berjongkok di depan Gina. Tak lama, dia mengulurkan selembar foto pada bekas nyonyanya itu.

“Siapa ini? Bukankah dia pengacara Wijaya?” Gina lantas mengamati wajah wanita yang ada di foto itu.

Asisten Wijaya itu lantas mengangguk. “Benar. Dia Annie Chase, wanita yang membunuh Sean.”

Tangan Gina sontak mengepal keras. Siapa pun dapat merasakan kemarahan perempuan itu. Namun, ucapan asisten dari Wijaya ini kembali mengejutkan Gina.

“Nyonya Gina, saya akan membantu Anda untuk balas dendam.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
auami ceraikan istri..anak yg terbunuh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status