Share

Bab 8 Selangkah Lebih Maju

"Selamat siang, Pak Damian," sapa Fiona, setelah dia pulang dari makam Sean siang ini.

"Kamu dari mana saja?" tanya Damian penasaran.

Fiona menunduk. "Saya sedang menyelesaikan beberapa urusan, Pak. Sebentar lagi makan siang akan saya siapkan."

"Tidak perlu," sambar Damian. "Aku sudah memesan makan siang hari ini."

Fiona melebarkan mata, cukup terkejut.

"Temani aku makan siang," pinta Damian tiba-tiba.

Meski cukup terkejut, namun Fiona tak bergeming. Dalam hati dia hanya tidak menyangka jika Damian bisa sefrontal itu padanya.

Ajakan Damian untuk makan siang bersama, untuk pertama kali, setelah Fiona bekerja dan tinggal di rumah Damian selama dua minggu, merupakan aksi paling nekat yang sedetik setelahnya disesali Damian. Apalagi ketika respon Fiona tampak dingin, membuat Damian ingin menarik kata-katanya kembali.

“Maaf, Pak Damian … “ Fiona memotong ucapannya. “Terima kasih atas ajakannya,” Dia berjalan perlahan, duduk di kursi di depan Damian tanpa banyak bersuara.

Kini ganti Damian yang tertegun. Dia kira, Fiona akan menolak. Namun yang terjadi, wanita muda itu justru duduk di depan Damian, dan mulai mengambil makanan dengan gerakan anggun seperti bangsawan. Sikap Fiona sungguh seperti seorang wanita yang pernah belajar table manner sebelumnya.

Di sela-sela mereka berdua makan bersama, kebiasaan makan Fiona yang tampak anggun dan rapi, membuat Damian keheranan. Kemudian dia kaitkan pada cara berpakaian Fiona, kulitnya yang bersih, wajahnya yang cantik terawat bahkan rambutnya yang wangi. Sangat tak nampak seperti seorang ART yang terpaksa membersihkan rumah orang lain demi uang. Dengan penampilan menarik ala Fiona, tentu wanita itu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih bergengsi daripada sekedar menjadi seorang ART.

Siapa sebenarnya Fiona Gage?

“Fiona,” panggil Damian setelah dia selesai makan. “Rumahmu di mana?”

Fiona masih fokus pada makanannya, tak segera menjawab pertanyaan Damian.

“Ada apa, Pak Damian?” Dia malah balik bertanya.

“Bagaimana kamu bisa kenal dengan keluarga Ajeng?”

Fiona kembali diam, mengunyah makanannya perlahan.

Seperti dugaannya, Damian bukanlah pria bodoh. Maka tak heran, jika pria itu akan curiga dengannya, meski dia berusaha untuk menampilkan penyamaran paling sempurna sekali pun.

“Melalui biro penyalur yang menaungi saya dulu, Pak Damian,”

Damian manggut-manggut, menerima jawaban masuk akal dari Fiona. Kemudian pria itu pamit untuk segera kembali ke ruang kerjanya, karena ada novel yang menuntut untuk segera diselesaikan. Sedangkan Fiona mulai membereskan meja makan, kembali berkutat pada kerjaannya membersihkan rumah.

'Hampir saja,' batin Gina. Meski begitu, ada sedikit rasa senang di benaknya, karena tanpa perlu banyak usaha, Damian sudah berani menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tertarik pada Fiona.

* * *

“Iya, aku hari ini seneng banget!” seru Annie tampak bahagia. “Kamu tahu kan, petinggi negara yang kubilang jadi klienku itu?”

Damian mengangguk ragu. “Tapi kamu nggak bilang namanya, sih,”

“Kamu nggak usah tahu, Sayang. Tapi yang jelas, dia tadi bawain aku klien baru,” timpal Annie. “Jadi tandanya, dia puas dong, sama hasil kerjaku,”

“Selamat ya, Sayang,” Damian mengecup kening istrinya yang duduk manja di pangkuannya.

“Sayang, gimana Tasya?” tanya Annie, masih duduk di pangkuan Damian.

“Dia sudah berangkat les biola, nanti diantar pulang sama mama temannya.”

“Siapa?” tanya Annie sedikit menghardik.

Damian menaikkan alisnya, nampak berpikir. “Sita? Itu nama mamanya atau anaknya, ya?” gumam Damian pada diri sendiri.

“Mamanya Sita?!!” Nada Annie meninggi.

“Kenapa emangnya?”

Annie bangkit berdiri, dengan posisi berkacak pinggang dan lubang hidung kembang kempis.

“Mamanya Sita, si Lusi, itu ratu gosip. Aku tahu banget motif dia nganterin Tasya pulang. Pasti dia mau lihat suamiku yang pengangguran, terus besoknya dia bakal sebarin gosip ke seluruh ibu-ibu. Apalagi kalau dia sampai lihat Fiona, bisa matilah reputasi keluarga kita!” cerocos Annie tak tanggung-tanggung.

Damian berusaha menenangkan istrinya, dengan mengelus pundaknya.

“Sayang, tenang, dong. Kalau motif dia kayak gitu, nanti aku sama Fiona nggak usah keluar rumah. Kalau perlu, Fiona suruh ngumpet di kamarnya, dan aku bisa diam di kamar,”

Nafas Annie masih menderu, penuh emosi.

“Atau, kita nggak usah persilahkan dia masuk ke rumah. Cukup di luar aja, kan beres?”

Ide brilian dari Damian membuat emosi Annie menurun. Maka dengan cepat Annie meminta Fiona buru-buru ngumpet di kamar saat Lusi datang, begitu pula Damian. Karena seperti dugaan Annie, Lusi benar-benar mencari alasan agar bisa masuk ke dalam rumah Annie, sekedar untuk berbasa-basi sekaligus mencari bahan gosip baru.

“Aduh, rumah saya lagi berantakan banget, nih,” ujar Annie berusaha tersenyum ke arah Lusi yang berdiri di depan pagar rumahnya.

Lusi membalas dengan senyum kecut, serta mata yang dengan liar berusaha menembus tabir di balik pintu rumah Annie.

“Kapan-kapan aja, ya,” Annie berusaha mengusir Lusi secara halus, tapi sepertinya wanita itu tak paham.

“Oh iya, Bu Annie. Saya cuman penasaran, karena kata Tasya, kalian punya pembantu baru, ya?” celetuk Lusi, membuat gemuruh di dada Annie.

“Tasya bilang, pembantu barunya itu masih muda tapi pandai memasak. Wah, jadi iri lho, Bu Annie,” tambahnya. Lusi tertawa cekikikan tanpa dosa, di depan muka Annie yang merah biru menahan amarah.

Ekor mata Lusi terus berupaya mencari celah dari setiap lubang di rumah Annie, jaga-jaga jika pembantu muda nan pandai memasak itu muncul.

Benar, Fiona, tanpa diduga keluar dari dalam rumah sambil membawa sekantong besar sampah di kedua sisi tangannya. Dia memandang polos ke arah Annie dan Lusi bergantian, kemudian kembali menunduk sungkan.

Pemandangan mengejutkan luar biasa, yang membuat Annie nyaris pingsan tak percaya.

“Fiona….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status