"Selamat siang, Pak Damian," sapa Fiona, setelah dia pulang dari makam Sean siang ini.
"Kamu dari mana saja?" tanya Damian penasaran.Fiona menunduk. "Saya sedang menyelesaikan beberapa urusan, Pak. Sebentar lagi makan siang akan saya siapkan.""Tidak perlu," sambar Damian. "Aku sudah memesan makan siang hari ini."Fiona melebarkan mata, cukup terkejut."Temani aku makan siang," pinta Damian tiba-tiba.Meski cukup terkejut, namun Fiona tak bergeming. Dalam hati dia hanya tidak menyangka jika Damian bisa sefrontal itu padanya.Ajakan Damian untuk makan siang bersama, untuk pertama kali, setelah Fiona bekerja dan tinggal di rumah Damian selama dua minggu, merupakan aksi paling nekat yang sedetik setelahnya disesali Damian. Apalagi ketika respon Fiona tampak dingin, membuat Damian ingin menarik kata-katanya kembali.“Maaf, Pak Damian … “ Fiona memotong ucapannya. “Terima kasih atas ajakannya,” Dia berjalan perlahan, duduk di kursi di depan Damian tanpa banyak bersuara.Kini ganti Damian yang tertegun. Dia kira, Fiona akan menolak. Namun yang terjadi, wanita muda itu justru duduk di depan Damian, dan mulai mengambil makanan dengan gerakan anggun seperti bangsawan. Sikap Fiona sungguh seperti seorang wanita yang pernah belajar table manner sebelumnya.Di sela-sela mereka berdua makan bersama, kebiasaan makan Fiona yang tampak anggun dan rapi, membuat Damian keheranan. Kemudian dia kaitkan pada cara berpakaian Fiona, kulitnya yang bersih, wajahnya yang cantik terawat bahkan rambutnya yang wangi. Sangat tak nampak seperti seorang ART yang terpaksa membersihkan rumah orang lain demi uang. Dengan penampilan menarik ala Fiona, tentu wanita itu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih bergengsi daripada sekedar menjadi seorang ART.Siapa sebenarnya Fiona Gage?“Fiona,” panggil Damian setelah dia selesai makan. “Rumahmu di mana?”Fiona masih fokus pada makanannya, tak segera menjawab pertanyaan Damian.“Ada apa, Pak Damian?” Dia malah balik bertanya.“Bagaimana kamu bisa kenal dengan keluarga Ajeng?”Fiona kembali diam, mengunyah makanannya perlahan.Seperti dugaannya, Damian bukanlah pria bodoh. Maka tak heran, jika pria itu akan curiga dengannya, meski dia berusaha untuk menampilkan penyamaran paling sempurna sekali pun.“Melalui biro penyalur yang menaungi saya dulu, Pak Damian,”Damian manggut-manggut, menerima jawaban masuk akal dari Fiona. Kemudian pria itu pamit untuk segera kembali ke ruang kerjanya, karena ada novel yang menuntut untuk segera diselesaikan. Sedangkan Fiona mulai membereskan meja makan, kembali berkutat pada kerjaannya membersihkan rumah.'Hampir saja,' batin Gina. Meski begitu, ada sedikit rasa senang di benaknya, karena tanpa perlu banyak usaha, Damian sudah berani menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tertarik pada Fiona.* * *“Iya, aku hari ini seneng banget!” seru Annie tampak bahagia. “Kamu tahu kan, petinggi negara yang kubilang jadi klienku itu?”Damian mengangguk ragu. “Tapi kamu nggak bilang namanya, sih,”“Kamu nggak usah tahu, Sayang. Tapi yang jelas, dia tadi bawain aku klien baru,” timpal Annie. “Jadi tandanya, dia puas dong, sama hasil kerjaku,”“Selamat ya, Sayang,” Damian mengecup kening istrinya yang duduk manja di pangkuannya.“Sayang, gimana Tasya?” tanya Annie, masih duduk di pangkuan Damian.“Dia sudah berangkat les biola, nanti diantar pulang sama mama temannya.”“Siapa?” tanya Annie sedikit menghardik.Damian menaikkan alisnya, nampak berpikir. “Sita? Itu nama mamanya atau anaknya, ya?” gumam Damian pada diri sendiri.“Mamanya Sita?!!” Nada Annie meninggi.“Kenapa emangnya?”Annie bangkit berdiri, dengan posisi berkacak pinggang dan lubang hidung kembang kempis.“Mamanya Sita, si Lusi, itu ratu gosip. Aku tahu banget motif dia nganterin Tasya pulang. Pasti dia mau lihat suamiku yang pengangguran, terus besoknya dia bakal sebarin gosip ke seluruh ibu-ibu. Apalagi kalau dia sampai lihat Fiona, bisa matilah reputasi keluarga kita!” cerocos Annie tak tanggung-tanggung.Damian berusaha menenangkan istrinya, dengan mengelus pundaknya.“Sayang, tenang, dong. Kalau motif dia kayak gitu, nanti aku sama Fiona nggak usah keluar rumah. Kalau perlu, Fiona suruh ngumpet di kamarnya, dan aku bisa diam di kamar,”Nafas Annie masih menderu, penuh emosi.“Atau, kita nggak usah persilahkan dia masuk ke rumah. Cukup di luar aja, kan beres?”Ide brilian dari Damian membuat emosi Annie menurun. Maka dengan cepat Annie meminta Fiona buru-buru ngumpet di kamar saat Lusi datang, begitu pula Damian. Karena seperti dugaan Annie, Lusi benar-benar mencari alasan agar bisa masuk ke dalam rumah Annie, sekedar untuk berbasa-basi sekaligus mencari bahan gosip baru.“Aduh, rumah saya lagi berantakan banget, nih,” ujar Annie berusaha tersenyum ke arah Lusi yang berdiri di depan pagar rumahnya.Lusi membalas dengan senyum kecut, serta mata yang dengan liar berusaha menembus tabir di balik pintu rumah Annie.“Kapan-kapan aja, ya,” Annie berusaha mengusir Lusi secara halus, tapi sepertinya wanita itu tak paham.“Oh iya, Bu Annie. Saya cuman penasaran, karena kata Tasya, kalian punya pembantu baru, ya?” celetuk Lusi, membuat gemuruh di dada Annie.“Tasya bilang, pembantu barunya itu masih muda tapi pandai memasak. Wah, jadi iri lho, Bu Annie,” tambahnya. Lusi tertawa cekikikan tanpa dosa, di depan muka Annie yang merah biru menahan amarah.Ekor mata Lusi terus berupaya mencari celah dari setiap lubang di rumah Annie, jaga-jaga jika pembantu muda nan pandai memasak itu muncul.Benar, Fiona, tanpa diduga keluar dari dalam rumah sambil membawa sekantong besar sampah di kedua sisi tangannya. Dia memandang polos ke arah Annie dan Lusi bergantian, kemudian kembali menunduk sungkan.
Pemandangan mengejutkan luar biasa, yang membuat Annie nyaris pingsan tak percaya.
“Fiona….”"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka