Share

Bertunangan

"Hei!" Andita Salim memekik, ketika ia hampir saja tersungkur ke lantai setelah Liam mendorongnya dengan kasar. "Apa kamu tak bisa bersikap lembut dengan wanita?" protesnya, menatap Liam sepenuhnya.

Liam berdecih, ekspresinya seakan menjelaskan satu jawaban atas pertanyaan Andita barusan. Tidak! Tentu saja tidak! Memangnya siapa juga yang menganggap Andita sebagai wanita yang harus diperlakukan dengan lembut? Pasalnya di mata Liam sendiri, Andita hanyalah medusa licik yang sangat ingin ia singkirkan dari hidupnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Liam enggan berbasa-basi. "Sebaiknya kau pergi sekarang dan berhenti membuat drama! Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya tidak sudi terlibat skandal apa pun denganmu! Jadi berhenti untuk menyeret nama saya dalam rumor murahan yang kamu ciptakan!"

"Rumor?" Meski wajah Liam terlihat tidak bersahabat dan terkesan mengintimidasi, nyatanya itu sama sekali tidak membuat Andita gentar. Malah dengan berani Andita mendekat ke hadapan Liam, menepis jarak hingga keduanya terlihat begitu intim. Andita menaikkan sebelah alisnya, menyunggingkan senyum penuh arti. "Maksudmu soal ciuman kita di lorong bar? Bukankah itu fakta, Tuan Wiliam Atmaja?"

Liam mengepalkan kedua tangan, rahangnya mengeras ketika Andita dengan santai berbisik di dekat telinganya. Bau parfum beraroma cherry yang menguar dari tubuh wanita itu justru membuat Liam ingin muntah, alih-alih terpikat. Jika lelaki lain bisa saja tergoda dengan kecantikan dan kemolekan tubuh Andita yang terbalut dalam gaun seksi berbelahan dada rendah, berbeda dengan Liam yang justru merasa risih melihat lekukan tubuh yang sengaja diumbar-umbar. Liam sama sekali tidak tertarik, bahkan ia menunjukkannya secara terang-terangan dengan tindakannya yang mendorong kasar Andita untuk menjauh darinya.

"Ciuman kita?" Liam tersenyum mengejek. "Perlu saya luruskan, itu bukan ciuman kita, tapi kamu yang mencium saya sembarangan dan jika sebaliknya itu terjadi kepadamu, bukankah kamu akan menyebutnya pelecehan?" Bisa Liam lihat bagaimana Andita seketika terdiam membisu oleh ucapannya. "Seseorang tidak dikenal tiba-tiba menciummu dengan lancang di lorong bar. Jika seseorang itu bukan saya, apakah kamu akan selantang tadi mengakuinya?" Kali ini Liam memegang kendali.

Andita terdiam, bibirnya kelu seolah ia kehilangan semua kemampuannya untuk merangkai kalimat balasan. Ia menggigit bibir dalamnya, melampiaskan kekesalannya atas ucapan Liam yang sialnya benar. Ya, jika seseorang yang tidak sengaja ia cium di lorong bar waktu itu bukan William Atmaja, apakah ia akan dengan berani mengakuinya di depan kamera? Tidak. Ya, jawabannya tentu tidak. Mungkin Andita akan menyangkal semua rumor yang tersebar dan mengatakan bahwa itu bukan dirinya, meski fakta yang sebenarnya itu dia. Tentu Andita tidak akan mengakui skandal murahan itu demi menyelamatkan karirnya.

Namun, situasinya kali ini berbeda, karena seseorang itu seorang keturunan Atmaja. William Atmaja, seorang pengusaha muda yang sukses dan mapan diusianya yang terbilang masih dini. Wanita mana yang tidak akan tergoda oleh sosoknya, selain pamor dan kemapanan yang menjanjikan, visualnya pun tidak kalah menggiurkan. Hanya sekali pandang saja wanita manapun pasti akan tertarik, tidak terkecuali Andita yang begitu ingin menaklukkan sosok angkuh di hadapannya. Tapi sialnya Liam bukanlah lelaki yang mudah ditaklukan.

"Kamu sudah tahu jawabannya," tukas Liam. "Jadi tidak perlu berbelit-belit lagi untuk menyangkalnya. Saya tidak ingin membuang waktu saya yang beharga, jadi sebaiknya kamu ralat semua pernyataanmu tadi jika kamu masih ingin terus berkarir di dunia entertainment!" Ucapan Liam sarat akan ancaman. Tentu bukan hal sulit baginya untuk memporak-porandakan karir seseorang. Ia punya uang dan kekuasaan, dirinya bisa leluasa melakukan semua itu. "Saya tidak mau tahu, besok pagi saya harus mendengar kabar baik. Waktumu tidak banyak, sebaiknya kamu sekarang bergegas pergi!"

Mata Andita berkedut, memerah dan terasa perih. Kedua tangannya mengepal, mencengkram erat sisi gaun panjang yang ia kenakan. Emosinya meledak-ledak, tapi sialnya ia tidak bisa menumpahkannya, sumpah serapahnya tertahan di tenggorokan. William Atmaja benar-benar berengsek! Bisa-bisanya laki-laki itu mengancamnya sampai tak berkutik.

Andita bisa saja menantang balik Liam, apalagi ia bisa menjadikan skandal mereka sebagai amunisi. Sayangnya Andita tidak melakukannya, ia masih memikirkan nasib karirnya. Tentu saja Andita tidak bodoh, meski terdengar seperti gertakan saja, tapi Liam bisa merealisasikan ancaman itu jadi kenyataan. Andita tidak mau karir yang ia bangun dengan susah payah hancur begitu saja.

"Tunggu apa lagi? Pergi!" Liam mengedikkan dagunya menuju pintu keluar ballroom, mengusir Andita.

Demi harga diri yang masih tersisa, Andita mengangkat dagunya menatap balik Liam. "Hari ini cukup sampai di sini pertemuan kita, Tuan William Atmaja." Tangannya yang lincah mengelus jas yang dikenakan Liam. "Aku harap dipertemuan mendatang, tidak dalam keadaan bersitegang seperti ini. Meski aku sangat menyukai ketegangan, tapi aku lebih suka kita berada di suasana yang panas seperti waktu awal perjumpaan kita," ucap Andita penuh arti, sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu bergegas pergi sebelum Liam mematahkan keberaniannya barusan.

Liam berdecih sinis, tidak menyangka ia begitu sial karena dipertemukan dengan wanita macam Andita. Liam pikir spesies wanita yang menyusahkannya itu hanya Carla, tapi ternyata semesta memberinya ujian lain dengan menghadirkan wanita macam Andita sebagai malapetaka. Melihat bagaimana sosok-sosok wanita yang ia jumpai sepanjang hari ini, membuat Liam semakin teguh memegang pendiriannya untuk tidak buru-buru menikah. Tapi sepertinya keteguhan itu harus melewati banyak rintangan, salah satunya sang mama.

"Liam," panggilan mamanya membuat Liam spontan berbalik. Wanita paruh baya yang tampak cantik dalam balutan gaun mewah itu menghampirinya.

"Di mana Andita?" tanya sang mama, celingukan mencari brand ambassador kosmetiknya.

"Pergi," jawab Liam, tampak tidak peduli.

"Pergi?" Mamanya mengernyit, menatap penuh selidik pada Liam. "Apa yang kalian bicarakan barusan? Kamu———"

"Ma, udah malem," potong Liam, sebelum sang mama melontarkan tuduhan yang tidak-tidak. "Besok Liam harus survei ke lapangan, jadi Liam perlu istirahat sebelum perjalanan ke luar kota. Liam pulang ya."

Wilona Atmaja menghela napas panjang, menyadari betapa sibuknya rutinitas kerja sang anak sulung. Anaknya memang workaholic, bahkan di hari weekend saja masih sibuk mengurusi pekerjaan.

"Kamu tidak mau menjelaskan terlebih dahulu soal yang tadi?" tanya mamanya, menuntut penjelasan perihal kekacauan yang sempat terjadi di acara launching kosmetik terbarunya.

"Bukankah semuanya sudah jelas, Ma?" Sejujurnya Liam malas harus membahasnya lagi. "Calon menantu mama itu Carla, bukan yang lain. Dan soal wanita tadi, Liam tidak mengenalnya. Tapi Mama nggak perlu khawatir karena Liam sudah mengurus semuanya, besok pagi Liam pastikan Mama akan menerima kabar baik. Mama nggak perlu cemas atas kejadian tadi, itu tidak akan mempengaruhi peluncuran produk kosmetik terbaru Mama," jelas Liam, mengusap lembut bahu mamanya supaya tenang.

Wilona menghela napas, tidak berniat mendebat. Meski tidak sepenuhnya percaya atas ucapan Liam, tapi ia berusaha untuk memahami keputusan anaknya. "Bagaimana Carla? Apa dia pulang dengan selamat?"

Liam mengangguk. "Dia pulang dengan selamat, Mama nggak perlu khawatir karena Liam mengantarnya sampai rumah." Seandainya saja mamanya tahu kalau sebenarnya Liam tidak mengantar Carla ke rumah, melainkan ke rumah sakit.

"Syukurlah." Mamanya tampak begitu lega. "Carla kelihatan gadis yang baik, mama harap hubungan kalian serius. Mama nggak mau kamu menjadikannya tameng atas tuntutan mama sama papa buat kamu cepet-cepet nikah. Mama pengen kamu bener-bener serius, Liam. Mama pengen kamu menikah dengan wanita yang benar-benar kamu cintai, bukan wanita yang asal kamu pilih sembarangan hanya untuk dijadikan alasan agar kami berhenti menjodohkan kamu."

Liam tersenyum tipis, hatinya tersentil oleh ucapan sang mama. Apa ia ketahuan? Apa sandiwaranya soal hubungannya bersama Carla sudah diketahui mamanya? Meski terbesit pertanyaan seperti itu dalam benak Liam, tapi ia berusaha menyangkal. Nggak mungkin! Mamanya nggak mungkin tahu, karena akting Liam dan Carla tadi cukup meyakinkan. Mustahil mamanya tahu.

"Mama tenang saja, Liam serius kok sama Carla. Liam benar-benar mencintainya. Bagi Liam, Carla itu begitu spesial, sama seperti Mama yang juga spesial buat Liam." Kata-kata mujarab untuk meluluhkan hati mamanya supaya berhenti menginterogasi Liam.

"Benarkah?" Tapi sepertinya kali ini Liam salah langkah. "Kalau begitu secepatnya kalian harus meresmikan hubungan kalian ke tahap yang lebih serius. Gimana kalau Bertunangan?"

Oh shit!

"Ya?" Liam syok mendengar usulan mamanya. Bertunangan? Yang benar saja!

"Ya, sebaiknya kalian cepet-cepet bertunangan. Mama akan bicarakan ini sama papa dan kakek kamu. Pasti mereka setuju." Mamanya tampak antusias sekali. Berbanding terbalik dengan wajah Liam yang berubah pucat pasi.

Sial! Lagi-lagi ucapannya jadi boomerang untuknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status