Share

Medusa!

"Liam, kamu di mana sekarang?" Suara nyaring sang mama memenuhi seisi mobil, ketika panggilan itu Liam loud speaker karena dirinya harus fokus mengemudi. "Jawab Liam, di mana kamu sekarang? Bisa-bisanya kamu kabur setelah membuat keributan?"

Keributan? Liam memutar bola mata malas. Ia tidak merasa membuat keributan, malah dirinya baru saja membuat pertunjukan spektakuler. Ya, walaupun pertunjukan dadakan itu di luar skenarionya. Seandainya saja wanita licik bernama Andita Salim itu tidak memprovokasi dirinya dengan menyulut percikan api lebih dulu, maka Liam tidak akan menyiramkan bensin lebih banyak. Tentu saja pertunjukan itu tidak akan pernah terjadi, pertunjukan yang sekarang sukses jadi headline berita di mana-mana.

"Liam!" Suara sang mama kian melengking, deru napasnya terdengar memburu menunjukkan betapa emosinya beliau saat ini. "Kamu dengar mama nggak sih?"

Liam menghela napas kasar, lalu menjawab, "Lagi di jalan, Ma. Bentar lagi Liam ke situ."

"Kamu sudah antar Carla pulang, 'kan?" Mamanya tengah memastikan bahwa Liam saat ini sendiri di mobil.

"Hm." Liam menjawab dengan gumaman, terlalu malas untuk bicara. 

"Kalau begitu cepat ke sini, kamu harus bertanggung jawab atas kekacauan ini!" Liam berdecak mendengar mamanya menuntut pertanggung jawabannya. Padahal kekacauan itu bukan sepenuhnya salah dirinya. Tapi mamanya tidak mau tahu dan memintanya segera datang.

"Iya." Setelah memberikan jawaban singkat, Liam mematikan sambungan telepon tepat ketika mobilnya berhenti di lampu merah.

Liam melepas ikatan dasi yang serasa mencekik leher, membuka kaca jendela samping agar mendapat pasokan udara lebih banyak. Udara malam yang cukup dingin menyerbu masuk, membantu mendinginkan kepala Liam yang serasa mau meledak jika mengingat kejadian tadi di acara launching produk kosmetik mamanya. 

Bisa-bisanya wanita aneh, bernama Andita Salim itu berteriak kepada para wartawan sehingga memicu serangkaian asumsi miring terhadap dirinya. Untungnya Liam berhasil membalikkan keadaan, ia yakin kalau sekarang wanita aneh itu sedang marah-marah karena berhasil ia permalukan di depan umum dan pasti beritanya akan muncul di akun-akun gosip nggak jelas! Sukurin! Liam benar-benar puas membayangkan dampak buruk yang menimpa Andita Salim saat ini karena balasannya tadi. Lagian siapa suruh wanita itu mencoba panjat sosial pada dirinya, Liam amat sangat membenci siapa pun yang melakukan itu padanya.

Liam menatap ke luar jendela, netranya tidak sengaja melihat gaun merah yang dipajang di sebuah butik seberang jalan. Melihat long dress itu mengingatkannya pada gaun yang tadi Carla pakai. Mengetahui Carla masih memakai gaun terbuka di saat udara malam begitu dingin, Liam pun tanpa pikir panjang langsung putar balik ketika lampu berganti hijau. Untungnya jalanan yang ia lalui tidak begitu ramai, sehingga tindakannya tidak menimbulkan keluhan oleh pengendara lain.

Liam tidak langsung kembali ke rumah sakit, melainkan mampir ke sebuah butik yang masi buka untuk membeli pakaian ganti buat Carla. Tidak hanya mampir ke butik, Liam juga menyempatkan diri mampir ke sebuah restoran cepat saji yang melayani drive thru. Liam yakin kalau Carla sekarang tengah kelaparan, mengingat sejak ia membawanya ke acara launching kosmetik milik mamanya, Carla sama sekali belum makan apa pun kecuali berkali-kali menengguk air putih.

Perlu Liam pertegas, bahwa bentuk kepedulian yang ia lakukan saat ini tidak ada maksud tertentu. Ini murni karena inisiatifnya sebagai atasan pada karyawannya, Liam tidak mau Carla sampai sakit dan izin masuk kantor. Pekerjaannya terlalu padat dan ia tidak bisa mentolerir jika Carla benar-benar izin nggak masuk kerja.   Jadwalnya bisa berantakan nantinya, tidak mau hal itu terjadi makanya Liam melakukan semua ini.

Liam berdecak, ketika ponselnya terus berdering nyaring memenuhi seisi mobil. Ia baru saja tiba di rumah sakit, tapi sepertinya sang mama tidak sabaran ingin dirinya cepat datang ke acara yang entah sudah selesai apa belum, karena Liam meninggalkan acara itu begitu saja setelah membuat Andita Salim dipermalukan di depan banyak orang.

"Iya, Ma. Liam bentar lagi sampai." Liam terpaksa berbohong agar mamanya tidak cerewet. "Jalanannya macet." Ia beralasan, padahal sebenarnya ia sekarang sedang berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang operasi di mana mamanya Carla sedang ditangani oleh para dokter. "Iya, Liam bentar lagi sampai sana. Mama nggak sabaran banget sih. Udah dulu ya, Liam harus konsentrasi, mama nggak mau kan kalau Liam kenapa-napa di jalan? See you Mom." Liam mengakhiri panggilannya ketika ia hampir tiba di tempat yang ditujunya.

Dari ujung koridor, Bisa Liam lihat kalau Carla tampak kelelahan sampai ia tertidur di kursi tunggu. Tentunya dengan pakaian terbuka yang tadi dikenakannya, wanita itu tidur dalam keadaan duduk bersandar pada kursi dan kepala menunduk. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, berharap mampu mengurangi hawa dingin yang terus menusuk kulit.

Liam menghela napas kasar, melihat Carla seperti ini membuat perasaannya tidak nyaman. Perasaan aneh yang entah mengapa membuatnya ikut sesak. Apa ini iba? Bisa saja iya, Liam menyimpulkan cepat. Tidak ingin goyah dengan memikirkan perasaannya yang tidak menentu. Ia buru-buru melepas jasnya untuk menutupi tubuh Carla yang terekspos dan kedinginan. Liam juga meletakkan dua paper bag di sisi Carla, satu berisi pakaian ganti dan satunya berisi makanan cepat saji.

Sekali lagi Liam memperhatikan kepala Carla yang tertunduk, membuat helaian rambut panjangnya yang bergelombang terurai ke depan menutupi sebagian wajahnya. Refleks tangan Liam terulur, berniat menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Carla. Namun, belum sampai ia menyentuh rambut Carla, kesadaran menyentak kuat dirinya. Liam memandangi uluran tangannya, memejamkan mata sambil merutuki tindakannya.

Apa yang aku lakukan?

Apa aku sudah gila?

Liam mengusap kasar wajahnya, mengembuskan napas berat. Ia sadar jika dirinya tidak bisa lebih lama di sini atau kewarasannya akan dengan mudah tergoyahkan. Meski berkali-kali ia meyakini kalau tindakannya barusan adalah karena rasa simpati, tapi entah kenapa sebagian besar hatinya menyangkal. Tapi logika dan kewarasannya pun turut menyangkal akan apa yang dirasakan hatinya.

"Sial!" Liam mengumpat, buru-buru berbalik melenggang pergi.

Bersamaan dengan kepergian Liam, Carla terbangun. Kepalanya terangkat dan matanya menyipit, menoleh ke arah suara langkah kaki yang mulai menjauh dan hilang di balik koridor.

"Pak Liam?" gumam Carla, seolah mengenali siluet laki-laki yang sempat ia lihat sekilas dan samar-samar. Carla mengucek kedua matanya, lalu membuka matanya lebar-lebar ke ujung koridor. Tidak ada siapa pun. "Apa aku salah lihat?" Tapi Carla yakin kalau barusan ia sempat melihat seseorang yang ia yakini adalah bosnya. "Enggak mungkin!" Walau pada akhirnya ia menepis kemungkinan itu. "Pak Liam, kan, sudah pulang, nggak mungkin dia kemari."

Carla sudah sangat yakin bahwa ia hanya salah lihat, karena mustahil Liam akan kembali ke sini. Namun, ketika Carla menyadari akan sesuatu yang menutupi tubuh bagian depannya, barulah keyakinannya dengan cepat memudar. Melihat jas yang menutupi tubuhnya, pikiran Carla langsung tertuju pada bosnya.

"Jadi yang tadi beneran pak Liam?" Carla sontak menoleh ke ujung koridor, memastikan walau sudah tidak ada siapa pun di sana. "Pak Liam ke sini lagi?" Carla bertanya-tanya, lalu pandangannya tanpa sengaja melihat dua paper bag di sisinya. "Pak Liam bawain ini semua?" Carla tidak percaya saat melihat isi dua paper bag tersebut. "Beneran pak Liam?"

Rasanya memang mustahil kalau yang melakukan semua itu bosnya. Secara Carla tahu betul sikap dan sifat bosnya, yang pasti bosnya tidak akan melakukan tindakan seperti ini pada bawahannya. Ayolah, seorang Liam tidak sebaik itu. Namun, kalau bukan bosnya, terus siapa? Carla dibuat bingung, pasalnya hanya Liam yang tahu akan keberadaannya di rumah sakit. Lagipula Carla juga tidak punya sanak saudara ataupun teman dekat, bahkan di kantor pun ia merasa seperti dikucilkan karena penampilan dan latar belakangnya. Beruntung saja ia mendapat promosi jadi sekretaris Liam, sehingga Carla sekarang bisa bekerja lebih nyaman. Ralat, nggak nyaman-nyaman juga sih karena bosnya yang dingin dan keras kayak batu. Tapi tetap jauh lebih baik daripada harus berurusan dengan karyawan lain.

Ponsel Carla berbunyi, satu notifikasi pesan masuk. Carla buru-buru membukanya, mendapati satu pesan masuk dari bosnya. "Panjang umur juga dia," gumam Carla, tapi kemudian ia spontan mengumpat saat membaca pesan dari Liam. "Bos sialan!"

Bos Rese! : Baju sama makanannya akan dipotong dari gaji kamu. Jadi sebaiknya kamu tidak menyia-nyiakannya.

Makan, jangan sampai mati. Utang kamu sama saya masih banyak.

"Ya Tuhan, dosa apa hamba punya bos laknat macam ini!" Carla mendesah berat, menahan gondok luar biasa pada bosnya. Sayangnya ia hanya bisa pasrah karena semua kendali di tangan bosnya. "Liam sialan!"

***

Sekretaris oon; Tenang saja, saya nggak bakalan mati sebelum utang saya lunas. Kalaupun saya mati nantinya, pak Liam bisa kejar saya sampai alam baka dan tagih saya di sana!

Liam mendengkus geli, membaca balasan pesan dari Carla yang terlalu berani. "Apa dia mabuk?"

Liam geleng-geleng kepala, membayangkan ekspresi kesal Carla saat ini. Siapa pun memang akan kesal jika mendapat pesan menyebalkan seperti yang Liam kirimkan tadi. Tapi Liam tidak menduga kalau Carla akan memberikan balasan seperti itu, ia pikir wanita itu tidak akan punya nyali untuk melakukannya. Namun, sepertinya Liam salah menilai soal Carla.

"Liam!" Suara lengkingan menyambut kedatangan Liam.

Sepertinya acara launching kosmetiknya sudah usai. Tidak nampak para tamu undangan maupun para wartawan di dalam gedung, kecuali mereka para pegawai yang sedang membereskan ruangan.

"Sini kamu!" Mamanya dengan tampang garang menghampiri Liam, menyeret paksa Liam dan membawanya ke ruangan lain.

"Ma, apa-apaan sih? Nggak usah seret-seret begini, kan, bisa." Liam menggerutu kesal, pasalnya tindakan mamanya mengundang perhatian dari orang-orang yang masih ada di dalam ball room.

"Kamu harus bertanggung jawab Liam, bisa-bisanya kamu buat keributan di acara penting mama!" Sepertinya sang mama benar-benar murka karena kejadian tadi. "Kamu harus meluruskan berita simpang siur kepada papa dan kakek kamu. Sekarang mereka sudah menunggumu!"

Liam memutar bola mata malas, mengetahui dirinya akan disidang oleh keluarganya sendiri. Tapi Liam tidak punya pilihan lain karena mamanya berhasil membawanya memasuki ruang persidangan. Liam pikir di ruangan itu hanya ada papa dan kakeknya, tapi ia salah mengira karena ternyata ada sosok lain yang juga duduk di salah satu kursi yang membelakanginya. Meski hanya melihat siluet punggung yang terbuka, namun Liam bisa mengenali siapa sosok tersebut.

"Kau!" Spontan Liam meninggikan suaranya, menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Bahkan mamanya yang berjalan menyeretnya sampai refleks berhenti. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Sosok yang dimaksud Liam pun menoleh, memberikan senyum lebar menawan. "Hai, Liam. Kita ketemu lagi, kayaknya kita jodoh."

What the hell!!!

Liam melotot saat melihat tampak muka sosok yang ia kenali ternyata benar. Sosok itu Andita Salim, wanita licik yang membuat mood-nya berantakan. Wanita ini benar-benar medusa!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status