Share

Jaminan

"Kondisi pasien kian memburuk. Pasien tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melakukan tindakan operasi pengangkatan tumor. Kita harus sesegera mungkin melakukan operasinya."

Ucapan dokter beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di pikiran Carla. Bagaimana dokter menjelaskan kondisi ibunya yang sempat mengalami penurunan kesadaran, efek dari penyakit yang dideritanya.

Kanker otak stadium II!

Tidak pernah Carla bayangkan sang mama akan mengidap penyakit ganas mematikan tersebut. Dua minggu sebelumnya ia membawa mamanya ke rumah sakit karena mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh-sembuh dan terakhir kali beliau juga sempat mengalami penurunan kesadaran. Saat itulah Carla baru mengetahui bahwa mamanya mengidap kanker otak stadium II dan dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi pengangkatan tumor.

Namun, waktu itu Carla terkendala biaya. Tabungannya hanya cukup untuk membayar biaya rawat inap dan pemeriksaan awal. Sedangkan untuk operasi pengangkatan tumor membutuhkan biaya sekitar lima puluh juta. Tapi sekarang dokter mendesak agar segera dilakukan operasi tersebut karena kondisi mamanya yang kian mengkhawatirkan. Bahkan hari ini mamanya beberapa kali mengalami penurunan kesadaran.

Carla dilema, menatap hampa kertas persetujuan yang harus ditandatanganinya. Ia berdiri kaku di depan tempat pelayanan adminitrasi rumah sakit. Dari mana uang lima puluh juta bisa Carla dapatkan malam ini juga. Haruskah ia jual diri? Opsi yang selalu Carla hindari meski keadaan begitu mendesak. Tapi uang sebegitu banyaknya dari mana bisa ia dapatkan dengan cepat.

Kasbon perusahaan?

Yang benar saja! Meski pemikiran itu sempat jadi solusi, tapi ketika teringat bagaimana ia dengan lantang bicara pada atasannya bahwa ia tidak keberatan jika harus dipecat. Benar-benar bagus Carla, ia baru saja mematahkan satu-satunya harapan.

"Maaf Bu, pasien harus segera ditangani, bisa ditandatangani dokumen persetujuannya?" Suara petugas adminitrasi menginterupsi Carla dari lamunannya.

"Ah iya." Carla menghalau air mata yang nyaris saja jatuh membasahi pipi. Di saat seperti ini ia tidak boleh cengeng, ia harus kuat, seperti janjinya beberapa tahun silam pada mendiang papa. Carla berjanji akan merawat mamanya dengan baik, jadi hari ini ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu. "Maaf," Carla tidak punya ide lain, selain berterus terang dan meminta keringanan pada pihak rumah sakit, "apa biayanya bisa menyusul? Bisa saya cicil dulu?" Ini sangat memalukan, tapi Carla tidak punya pilihan lain selain melakukan ini demi mamanya yang membutuhkan penanganan secepatnya. "Saya janji, saya akan usahakan secepatnya, besok, saya akan bayarkan uangnya besok," ucap Carla, tanpa tahu uang dari mana yang akan ia pakai untuk membayar.

Bisa bobol bank, ngerampok, atau jual organ dalamnya. Itu masalah nanti, yang penting mamanya bisa dioperasi terlebih dahulu. Karena satu-satunya harta paling beharga yang Carla punya tinggal mamanya, ia tidak mau mamanya sampai meninggalkannya sendiri di dunia yang begitu kejam ini. Carla rela kesusahan setiap hari, asal ia masih punya tumpuan hidup yaitu mamanya. Satu-satunya orang yang jadi alasan Carla bertahan sampai sejauh ini.

"Tolong saya, mama saya harus segera ditangani, saya janji, saya akan bayarkan secepatnya." Carla memohon, ia bahkan rela kalau harus mengemis asalkan ia dapat keringanan untuk pembayaran biaya operasi.

"Untuk biaya operasi sudah dibayarkan, bahkan untuk perawatan selanjutnya juga sudah ada penjaminnya. Jadi Ibu tidak perlu khawatir untuk masalah biayanya, Ibu hanya perlu tanda tangani surat persetujuannya agar operasi bisa segera dilakukan."

"Ya?" Bagai mendapat serangan fajar, Carla melongo sesaat. Ia sedang tidak bermimpi 'kan? Ini bukan khayalannya semata, 'kan? Ini benar-benar nyata?

Rasanya Carla tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagai mendapatkan jackpot tidak terduga, ada orang yang begitu dermawan sampai membayarkan biaya operasi mamanya, bahkan sampai jadi penjamin segala. Ini benar-benar seperti mimpi, memangnya apa benar ada orang sebaik itu? Tapi siapa?

"Maaf, kalau boleh tahu siapa orangnya ya?" Carla penasaran akan sosok baik hati yang sudah menanggung semua biaya operasi mamanya. Padahal itu bukan uang yang sedikit, lima puluh juta setara dengan gajinya selama sepuluh bulan.

"Orang yang tadi bersama Ibu, katanya beliau keluarga Ibu makanya semua biaya ditanggung olehnya." Mendengar jawaban petugas administrasi, pikiran Carla langsung tertuju pada bosnya.

"Pak Liam?" Nggak mungkin! Carla ingin menyangkalnya, tapi satu-satunya orang yang datang bersamanya cuma laki-laki itu. "Sekarang orangnya di mana ya, Bu?" tanya Carla, ingin segera menemui bosnya untuk klarifikasi.

"Baru saja pergi," kata petugas yang langsung menghentikan Carla saat ia bergegas akan pergi menyusul bosnya. "Maaf Ibu, tolong tanda tangani lebih dulu dokumen persetujuannya, supaya pasien bisa langsung ditindak."

"Oh, iya." Carla nyaris saja lupa. Bagaimana ia bisa sebodoh itu, padahal prioritasnya ialah sang mama yang harus segera dioperasi. "Ini," Carla menyerahkan map berisi lembar persetujuan wali pasien yang sudah ditandatanganinya, "terima kasih." Setelah itu bergegas pergi, berharap masih bisa mengejar bosnya yang keberadaannya saat ini tidak diketahuinya.

Tempat yang pertama Carla datangi adalah parkiran valet yang ada di pelataran depan rumah sakit. Di mana tadi mobil bosnya terparkir, ia harus memastikan apakah bosnya masih berada di area rumah sakit atau sudah pergi. Sebenarnya Carla bisa saja menelepon bosnya, tapi sialnya ponsel Carla kehabisan baterai karena lupa seharian ini tidak diisi daya.

Beruntung mobil bosnya masih terparkir di tempat semula, Carla bisa bernapas lega. Terlebih saat mendapati bosnya sedang memainkan ponsel di dekat pintu mobil bagian kemudi. Carla pun segera menghampirinya. "Pak Liam."

Suara Carla menarik atensi Liam, mengalihkan pandangannya ketika Carla tiba di hadapannya. Wanita itu tampak kelelahan setelah berlarian dengan gaun dan high heels yang menyusahkannya untuk melangkah lebar. Keringat bercucuran dari dahi, meski sama sekali tidak merusak riasan wajah Carla, hanya saja matanya yang agak sembab. Kemungkinan karena tadi Carla sempat menangis saat tahu mamanya mengalami penurunan kesadaran dan harus segera dioperasi.

"Pak Liam, saya boleh tanya sesuatu?" Carla meminta izin untuk bertanya, bagaimanapun ia harus berlaku sopan pada atasannya meski ini di luar jam kerja dan bukan di kantor.

Liam hanya memberikan anggukan, tapi matanya tidak berhenti memindai Carla dari atas sampai bawah. Seolah mata tajam nan tegas seperti mata elang itu sedang menilai Carla secara keseluruhan. Bisa jadi ada dari bagian tubuh Carla yang bisa dijadikan pengganti untuk uang yang sudah dibayarkan buat operasi. Pemikiran Carla yang tidak berdasar, padahal jelas bukan itu yang sedang Liam lakukan. Laki-laki itu hanya ingin memastikan kondisi Carla baik-baik saja.

"Apa benar, Pak Liam yang membayarkan uang operasi mama saya?" tanya Carla hati-hati, takut Liam akan tersinggung dan langsung menagih balik uang yang baru saja dibayarkan. Bisa gawat kalau hal itu terjadi, karena saat ini Carla tidak punya uang sebanyak itu. Buat makan saja pas-pasan, belum bayar kontrakan juga bulan ini. Benar-benar hidup yang menyedihkan!

Liam mengangguk, tidak menyangkalnya. Carla pikir Liam akan sedikit berbelit dengan enggan mengakuinya, tapi ternyata laki-laki itu dengan santai mengiyakan. Namun, Carla tetap harus bersyukur, jika bukan karena bosnya, mungkin mamanya tidak akan bisa dioperasi.

"Terima kasih banyak Pak Liam, terima kasih sudah membantu biaya operasi mama saya. Saya berhutang banyak sama Pak Liam, tapi Pak Liam nggak usah khawatir karena saya pasti akan bayar utang saya, secepatnya. Tapi kalau bisa dicicil ya Pak." Carla meringis ketika matanya beradu pandang dengan mata Liam yang tampak memandangnya datar. "Atau Pak Liam bisa langsung potong sebagian gaji saya yang nggak seberapa itu," gumam Carla, sejujurnya tidak rela karena gajinya sudah kecil masih harus kena potong bayar utang segala. "Tapi jangan banyak-banyak ya Pak, soalnya saya tetap harus membiayai diri saya dan mama saya juga." Carla berharap maklum sebanyak-banyaknya dari atasannya itu. Walau rasanya itu seperti mustahil.

"Bukannya kamu mau berhenti kerja?" Ucapan Liam menyadarkan Carla pada ucapannya sendiri beberapa waktu lalu ketika mereka di perjalanan pulang. Di mana Carla dengan yakin minta berhenti dari sandiwara yang dibuat Liam, bahkan ia tidak takut jika harus dipecat dan malah dengan berani meminta pesangon segala sama Liam. Lalu sekarang dengan tidak tahu malu bilang seolah-olah ia masih akan terus bekerja di perusahaan Liam. "Apa kamu berubah pikiran?"

"Enggak!" seru Carla, spontanitas. Lalu menyesalinya dan buru-buru meralat ucapannya. "Maksud saya ...," Tapi ia kebingungan harus bilang apa sebagai alasan untuk meralat ucapannya tadi di mobil, ia berpikir keras sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "em ... saya tidak benar-benar ingin berhenti kerja sebenarnya. Saya ...."

"Kamu nggak mau berhenti bekerja maksudnya?" ulang Liam, mempertegas ucapan Carla barusan.

"Iya!" Carla dengan tegas mengiyakan, lalu memelas. "Saya mohon, kasih kesempatan saya sekali lagi buat bekerja di perusahaan Pak Liam. Saya janji, saya bakal bekerja dengan rajin dan giat, saya juga nggak bakal telat lagi. Suer!" Dengan ekspresi memelas, Carla menunjukkan dua jari kepada Liam, tanda ia bersungguh-sungguh atas ucapannya.

Liam mendengkus pelan, mana percaya dengan ucapan Carla. "Sayangnya saya sudah tidak percaya dengan janji kamu itu."

"Saya mohon Pak Liam." Carla memohon, refleks meraih kedua tangan Liam dan menggenggamnya erat. "Tolong kasihani saya, saya benar-benar butuh pekerjaan ini. Kalau saya jadi pengangguran bagaimana nasib saya dan mama saya. Apalagi mama saya masih memerlukan banyak biaya buat pemulihan, saya juga perlu bayar hutang sama Pak Liam."

Sebenarnya Liam cukup iba dengan kondisi Carla yang harus menjadi tulang punggung keluarga, ditambah keadaan mamanya yang membutuhkan banyak biaya. Hal itu menggugah hati nuraninya, makanya tadi ia tanpa pikir panjang membayarkan biaya operasi mamanya Carla karena yakin kalau Carla tidak punya uang sebanyak itu dan prediksinya benar. "Sebenarnya saya bisa saja kasih kamu kesempatan, asal—"

"Asal apa Pak?" sergah Carla, rela melakukan apa saja asal ia tidak dipecat. Berbanding terbalik dengan tadi saat ia dengan lantang tidak takut dipecat. "Saya akan lakukan apa saja, asalkan ...." Carla seketika terdiam ketika teringat akan sandiwara yang dibuat bosnya. Jangan bilang si bos mau ia tetap meneruskan sandiwara itu?

Seolah bisa membaca pikiran Carla, Liam tersenyum miring. "Sepertinya kamu sudah tahu." Dan tebakannya benar, kalau pikiran mereka sama. "Ya, asal kamu tetap mau bersandiwara jadi pasangan pura-pura saya. Saya akan memberikanmu kesempatan terakhir."

"Tapi Pak." Carla protes, tetap tidak ingin melanjutkan. Sayangnya ia dibuat tidak berdaya oleh ucapan Liam selanjutnya.

"Sayang kamu nggak punya pilihan. Uang yang tadi saya bayarkan buat biaya operasi mama kamu, itu adalah jaminannya. Jaminan kalau kamu akan tetap melanjutkan sandiwara kita dan kamu boleh berhenti kapan saja asal kamu bisa membayarkan kembali uang jaminannya. Saya kasih waktu sampai besok, kalau sampai besok kamu nggak bisa balikin uangnya, maka kamu mau tidak mau harus melanjutkan sandiwara kita seterusnya."

Mata Carla berkedut, tangannya mengepal erat. Liam benar-benar menyudutkannya, ia memang tidak punya pilihan lain karena mustahil ia bisa dapat uang sebanyak itu sampai besok. Bahkan jika ia nekat jual diri atau jual organ dalamnya, Carla tidak yakin akan laku mahal. Bagaimana jika ternyata tidak mencukupi untuk bayar utang pada bosnya? Carla frustrasi, sampai akhirnya ia pun terpaksa memutuskan dengan berat hati. "Baiklah," lirih Carla, suaranya melemah. "Saya akan melanjutkan sandiwara kita, tapi saya mau ada perjanjian di atas materai juga ada syarat-syarat yang harus Pak Liam penuhi."

Liam tersenyum menang. "It's okay," Tidak masalah dengan syarat yang diminta Carla, "kita bisa bicarakan ini besok. Kalau begitu saya pulang dulu." Liam pun pamit undur diri meninggalkan Carla yang tertunduk lesu sambil menggerutu, menyumpah serapah Liam habis-habisan.

"Dasar bos berengsek!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status