Share

Gosip

"Kamu dipecat!"

Mata Carla berkedut ketika mendengar suara lantang bosnya. Seminggu, memang waktu yang singkat untuk mengenali kepribadian bosnya. Tapi dalam seminggu Carla sudah hapal kebiasaan bosnya yang sering memakai nada tinggi dan tegas. Seperti saat ini, harusnya Carla sudah terbiasa, lagipula ini bukan yang pertama kalinya ia kena semprot bosnya yang super galak itu, tapi hampir setiap hari atau bahkan setiap waktu ia kena omel atasannya.

Namun, hari ini berbeda, Carla bukan hanya kena omel, tapi juga nyaris kena serangan jantung karena ucapan lantang yang bosnya lontarkan. Dipecat! Carla tidak menyangka jika dirinya akan menjadi korban kebiadaban seorang Liam seperti pegawai-pegawai sebelumnya yang juga dipecat tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan.

Enggak! Aku nggak boleh dipecat! Aku nggak boleh jadi pengangguran lagi! Carla menjerit frustrasi dalam benaknya, memikirkan nasib ke depannya jika ia sampai benar-benar kehilangan pekerjaan ini. Meskipun ia tahu kesalahannya tidak bisa ditolerir lagi, tapi Carla tetap menolak untuk berhenti bekerja dari perusahaan yang akan membuat hidupnya sedikit lebih baik. Setidaknya jika ia bekerja, maka ia tidak perlu mengkhawatirkan soal biaya rumah sakit ibunya.

Demi kelangsungan hidupnya dan sang ibu, Carla pun memasang ekspresi iba, memperlihatkan raut wajahnya yang begitu mengenaskan dan menjual rasa kasihan demi sebuah pengampunan serta kesempatan kedua dari bosnya itu. "Tapi Pak ... tolong beri saya kesempatan, saya bisa jelaskan kenapa saya terlambat hari ini. Karena saya————"

"Kamu paham bahasa manusia 'kan? Mengerti dengan baik bahasa Indonesia? Atau perlu saya pakai bahasa alien agar kamu mengerti maksud ucapan saya sebelumnya!" sarkas Liam, sama sekali tak terpengaruh akan tatapan memelas yang ditunjukkan oleh Carla. Ia sama sekali tidak punya belas kasihan, jadi percuma saja Carla memasang ekspresi menyedihkan sampai nangis darah sekalipun Liam tidak akan terenyuh.

Carla menelan ludah, frustrasi memikirkan cara apa lagi agar selamat dari vonis mengerikan ini. Tapi menembus dinding kokoh seorang Liam jelas hal yang sangat sulit, mengingat pria itu memiliki hati sekeras batu, mana mungkin bosnya yang kejam itu akan iba dan luluh oleh wajah memelasnya. Tentu saja itu hal yang sangat mustahil. Oleh karena itu Carla memutar otaknya, berpikir lebih keras untuk mencari cara agar ia bisa mendapatkan pengampunan dan kesempatan kesekian kali dari bosnya.

"Pak, saya mohon. Jangan pecat saya, kalau saya dipecat terus saya menganggur dan jadi gelandangan gimana?" tutur Carla, lagi-lagi menjual kesengsaraannya.

"I don't care, Carla! Itu bukan urusan saya. Mau kamu jadi gelandangan, jadi ondel-ondel sekalipun, saya tidak peduli!" Liam benar-benar tegas dengan keputusannya. Sama sekali tidak tergoyahkan meski berkali-kali Carla meminta maaf.

"Tapi Pak ...." Carla mengigit bibir bawahnya, teringat akan nasib mamanya yang sedang dirawat di rumah sakit. Bagaimana ia bisa menyiapkan uang untuk operasi mamanya nanti kalau ia sekarang dipecat. Padahal niatnya Carla ingin kasbon pada perusahaan untuk biaya pengobatan mamanya, tapi harapannya harus pupus gara-gara tragedi bus mogok yang mengakibatkan ia terlambat setengah jam. Sial!

"Tunggu apa lagi? Silakan keluar," seru Liam, menyadarkan Carla dari lamunan singkat. "Apa perlu saya panggilkan security kemari untuk menyeretmu?"

Tidak punya pilihan lain, demi mempertahankan pekerjaannya yang sangat beharga. Carla terpaksa merendahkan diri, ia berlutut kepada bosnya. "Saya mohon Pak, beri saya kesempatan terakhir. Saya janji, saya tidak akan terlambat lagi, saya rela kalau harus potong gaji ...." Carla terdiam, merutuki mulutnya yang asal nyeplos.  Kalau sampai ia beneran potong gaji, pasti gajinya tidak akan bersisa. Bodohnya. Lantas dengan cepat Carla meralat ucapannya. "Maksud saya, saya rela menerima hukuman apa pun. Asal jangan pecat saya, jangan potong gaji saya yang seuprit juga," mohon Carla, menunjukkan tampang paling memelas, "saya benar-benar butuh pekerjaan ini Pak, saya mohon, tolong ... maafkan saya. Beri saya kesempatan sekali lagi."

Liam mendengkus pelan, memutar bola matanya malas. Mana percaya ia dengan kata-kata Carla, pasalnya ini bukan kejadian yang pertama melainkan sudah yang kesekian kali selama seminggu Carla bekerja. Jadi, mana mungkin Liam mau mentolerir kesalahan Carla, apalagi pekerjaan Carla juga banyak nggak becusnya. Tentu Liam semakin yakin dengan keputusannya memecat Carla dan tidak mau peduli dengan rengekan wanita itu. Bahkan ia juga berdecak sebal ketika melihat wajah Carla yang dibuat-buat menyedihkan. "Dasar air mata betina!"

Carla spontan melotot mendengar ucapan Liam. What the hell!! Haruskah Carla buat petisi agar bosnya segera dicabut nyawanya? Atau meminta seorang dukun untuk menyantetnya? Ia sangat gemas ingin mencabik-cabik mulut bosnya yang sepedas saus oplosan itu. Bisa-bisanya sang bos malah mengatai air matanya dengan sebutan air mata betina, bukankah seharusnya hati Liam tersentuh melihatnya menitikan air mata? Benar-benar hatinya terbuat dari batu!

"Pak, please." Carla mulai putus asa. Semua cara sudah ia coba dan bosnya tetap bersikukuh pada keputusannya yang tidak ber-pe-ri-ke-karyawanan.

"Carla saya bilang keluar ya keluar———" Liam tercekat ketika pintu ruangan tiba-tiba terbuka lebar, menimbulkan suara keras diiringi suara nyaring yang begitu melengking dan memekakkan telinga.

"WILLIAM  ATMAJA!!!" Seorang wanita paruh baya yang terlihat masih cantik dengan pakaian elegan berdiri sambil berkacak pinggang di ambang pintu, melayangkan tatapan nyalang kepada nama yang dipanggil.

Liam meringis, sedikit syok melihat kehadiran wanita itu yang tidak lain adalah mamanya sendiri. Willona Atmaja, sang nyonya besar yang kedudukannya jelas di atas Liam. Makanya Liam tampak syok melihat mamanya datang dengan muka garang. "Mama?"

Nyonya Willona masuk menghampiri Liam dengan deru napas memburu dan tatapan tidak lepas dari pria itu. Seolah ia bersiap akan menguliti anak sulungnya hidup-hidup dan menjadikannya pakan buaya!

"Jelaskan pada mama sekarang juga, apa ini maksudnya?" Nyonya Willona menunjukkan layar ponselnya yang menyala ke depan muka Liam, sebuah portal berita online terpampang jelas di layar ponsel itu dengan headline; SEORANG DIREKTUR MUDA ATMAJAYA KARYA HUSADA KEPERGOK TENGAH BERCUMBU DENGAN SEORANG WANITA DI SEBUAH KLUB MALAM. SIAPAKAH WANITA ITU?

Liam menghela napas panjang, tidak menduga jika rumor itu pada akhirnya terendus juga oleh media. Padahal ia sudah memerintahkan Putra untuk menyelesaikan permasalahan itu agar tidak sampai ke publik dan membuat gempar, terutama membuat kedua orangtuanya syok dan pada akhirnya akan menuntut jawaban seperti saat ini yang dilakukan mamanya. Tapi sialnya, hal tersebut tidak sesuai ekspetasinya karena berita sampah itu pasti sudah tersebar luas makanya sang mama sekarang mengamuk. Itu artinya Liam sekarang dalam masalah besar, selain karena reputasinya yang bisa saja hancur dalam sekejap mata, ia juga harus menghadapi penghakiman mamanya yang sangat mengerikan.

"Liam, jawab mama! Siapa wanita itu! Siapa wanita yang kamu cium! Katakan!!" cecar nyonya Willona, tidak sabaran menuntut pengakuan Liam akan wanita di berita gosip tersebut.

"Bukan siapa-siapa. Sudahlah Ma, untuk apa mempermasalahkan berita tidak bermutu seperti itu. Gosip murahan yang selalu diobral oleh orang-orang tidak bertanggung jawab," kata Liam, enggan membahas soal berita itu. Karena faktanya memang tidak seperti yang ditulis diberita online tersebut. Itu hanya trik murahan untuk menggiring opini publik dengan sensasi yang dimanipulasi.

Semalam, Liam memang pergi ke klab malam untuk menemui rekan bisnisnya yang juga teman sewaktu kuliah. Namun, karena sesuatu yang mendesak rekan bisnisnya membatalkan pertemuan itu padahal Liam sudah tiba di klab. Alhasil Liam memutuskan untuk pulang, karena ia tidak terlalu suka dengan tempat bising yang dipenuhi oleh lautan manusia dari antah berantah.

Namun, karena panggilan alam yang tidak bisa ditahan Liam pun terpaksa menyempatkan diri mampir ke toilet terlebih dahulu sebelum pulang. Setelah selesai, ia bergegas keluar. Baru sampai lorong, tiba-tiba saja wanita yang tengah mabuk menghambur ke arahnya dan menyudutkan dirinya ke tembok. Sesaat Liam memang terdiam saking kagetnya, tapi ketika wanita itu akan menciumnya ia langsung mendorong mundur wanita itu dengan cepat. Kemudian segera pergi meninggalkan klab malam tanpa mau tahu keadaan wanita yang ia hempas ke lantai.

Liam mendecih, tak menyangka kesialan akan menghampirinya atas insiden tersebut. Ia pikir dengan menghapus rekaman CCTV di lorong itu akan menyelesaikan persoalan malam tadi. Tapi ternyata seseorang telah mengabadikan momen itu lebih dulu, siapa lagi kalau bukan paparazi majalah murahan yang suka menguntitnya ke mana pun ia pergi dan hobi menerbitkan berita dengan judul yang menggiring opini seperti berita sampah kali ini.

"Liam, ini masalah penting. Kamu tidak lihat bagaimana tanggapan publik atas berita ini? Pokoknya mama nggak mau tahu, cepat katakan siapa wanita itu?" tuntut mamanya, tidak mau tahu alasan apa pun dari Liam. Intinya ia hanya ingin tahu siapa wanita yang berhasil menaklukkan putranya.

"Ma ...." Liam merengek, tetap enggan membahas.

"Cepat katakan Liam!" Sama halnya seperti Liam, mamanya juga sama-sama keras kepala. Jadi tahu, kan, dari mana sifat keras kepala itu diturunkan?

Keduanya terus berdebat tanpa menyadari ekspresi melongo Carla yang tengah menyaksikan perdebatan antara emak dan anak di depan matanya. Sejujurnya Carla ingin sekali kabur dari ruangan yang mendadak jadi tempat debat, itu jelas membuatnya tidak nyaman. Sayangnya Carla tidak bisa pergi begitu saja, kecuali ia memang sudah tidak butuh dengan pekerjaan yang sedang diperjuangkannya.

"Liam, buruan! Siapa wanita itu? Apa mama mengenalnya? Apa dia artis? Atau karyawan di perusahaan ini?" Mamanya makin tidak sabaran ingin tahu siapa gerangan wanita yang mencium putra sulungnya. Pasalnya selama ini ia tidak pernah mendengar putranya itu berkencan dengan seorang wanita, bahkan ia sampai berpikiran kalau anak laki-lakinya memiliki orientasi yang melenceng alias tidak doyan wanita. "Liam, cepat bilang. Atau mama akan cari opsi lain untuk menutupi berita ini? Gimana kalau dengan perjodohan kamu dengan Cantika?"

Perjodohan!

Liam mendengkus kasar, mendengar kata perjodohan seketika membuatnya muak dan ingin muntah. Ia sudah bosan mendengar kata-kata bernada ancaman yang menyangkut pautkan dengan ide perjodohan. Sungguh, Liam tidak suka dengan usulan hal tersebut. Karena ia memang belum mau menikah, bahkan jatuh cinta saja enggan. Menurutnya cinta hanyalah omong kosong belaka yang keberadaannya hanya akan memperumit kehidupannya yang sudah tertata dengan sangat terstruktur.

Jelas Liam akan menolak opsi yang diberikan mamanya itu, kalau perlu ia tidak mau menikah. Tapi orangtuanya pasti akan kian gencar menjodohkannya dengan wanita-wanita nggak jelas di luaran sana, alhasil Liam pun harus putar otak untuk mencari solusi yang tidak akan menyebabkan masalah lebih besar nantinya. Hingga matanya tidak sengaja bersitubruk dengan sorot mata Carla, melihat wanita itu masih berlutut di depan mejanya membuat Liam memiliki ide paling brilian. Kenapa nggak kepikiran dari dulu ya?

"Ma, harus banget Mama tahu?" ucap Liam kemudian.

Nyonya Willona menganggukkan kepalanya. "Harus, mama perlu tahu wanita seperti apa yang berhasil meluluhkan pria keras kepala sepertimu!"

Liam mendesah berat, mau tidak mau mengalah demi ketenteraman. Jika tidak, maka ia akan terus diteror oleh pertanyaan-pertanyaan tidak penting dan ancaman mematikan dari sang mama. Maka ini kesempatan Liam mengakhiri semua itu, demi hari-harinya yang akan tenang kembali. Liam pun mengaku pada mamanya tentang siapa wanita yang ada di berita.

"Dia." Liam mengedikkan dagunya ke depan, tepatnya kepada Carla yang masih berlutut di depan meja. "Dia wanita yang ada di berita itu."

What? Carla membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang didengar dari mulut bos laknatnya itu. Ada tali? Sepertinya aku harus menggantung bos sialan itu di pohon pisang!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status