Share

Tumbal bos kejam

Carla duduk tertunduk seraya meremas-remas jemari tangannya yang basah berkeringat. Di hadapannya duduk Liam dan mamanya yang sedari tadi melemparkan sorot menyelidik kepadanya. Entah pikiran macam apa yang bercokol di dalam kepala wanita paruh baya itu, setelah pengakuan konyol sepihak yang dilakukan oleh bosnya dan yang pasti Carla tahu kalau sesuatu yang sangat buruk akan menimpa dirinya setelah ini.

"Dia yang duluan mencium Liam. Padahal Liam sudah bilang buat nggak cium-cium di tempat sembarangan. Harusnya kamu bisa lebih menahan diri lagi, Carla. Lihatlah, gara-gara ketidaksabaran kamu, kita jadi ketahuan, kan."

Jantung Carla rasanya seolah akan berhenti berdetak ketika mengingat kembali fitnah keji macam apa yang dilayangkan bosnya kepada dirinya. Mencium? Yang benar saja! Seumur hidup, bahkan Carla belum pernah berciuman, apalagi sampai nekad mencium atasannya sendiri. Itu sangat tidak masuk akal, harusnya nyonya Willona tidak mempercayai omong kosong itu, tapi sepertinya wanita itu lebih percaya pada ucapan anaknya ketimbang bantahan Carla. Ralat, Carla bahkan tidak diberi kesempatan untuk membantah pernyataan Liam, karena laki-laki itu langsung melotot tajam kepadanya seakan mengirimkan sinyal kematian kalau sampai Carla berani buka mulut.

Ya Tuhan, kenapa harus hamba yang dijadikan kambing hitam! Carla rasanya ingin sekali mencabik-cabik mulut bosnya. Bisa-bisanya pria itu menjadikan dirinya sebagai tumbal. Padahal Carla tidak tahu apa-apa, tapi kenapa sekarang ia yang dihakimi karena dituduh mencium bosnya sendiri dan memiliki skandal dengannya karena hubungan gelap mereka.

Hubungan gelap tai kucing! Ingin sekali Carla memaki, menyumpah serapah bosnya, tapi apa daya ia tidak punya keberanian dan hanya bisa tunduk ketakutan seperti kambing congek!

"Bener dia?" Nyonya Willona buka suara, menoleh pada Liam seolah meminta kepastian atas jawabannya beberapa saat yang lalu. Matanya dengan cepat berpindah pada Carla, penuh selidik dan mengamati dari ujung kaki sampai ke kepala wanita itu. Mungkin mamanya Liam ingin memastikan, apakah kaki Carla cantengan, kulitnya panuankah, atau justru rambutnya berketombe? Sejeli itu matanya sampai berhasil membuat wanita di depannya tidak berkutik, seakan sorot matanya bagaikan mata elang yang terus mengintai dan siap akan menerkam jika mangsanya bergerak seinci saja.

"Hm." Liam hanya bergumam. Ia pikir dengan menumbalkan Carla sementara akan membuat mamanya berhenti mencecarnya dan tidak akan mengungkit soal perjodohan. Tapi ternyata salah, bukannya berhenti malah berpotensi semakin gencar dengan obsesinya untuk punya cucu. Haruskah ia menikah? Membayangkannya saja Liam ogah!

"Kamu yakin?" Liam berdecak mendengar pertanyaan meragukan dari mamanya. "Mama cuma nggak mau kamu jadikan gadis itu sebagai kambing hitam," ucap Willona kemudian ketika Liam melemparkan tatapan jenuh padanya. Seakan-akan beliau sudah tahu dengan trik murahan yang Liam pergunakan.

"Terserah Mama mau percaya atau tidak, yang penting Liam sudah jawab pertanyaan Mama soal siapa wanita di foto, bahkan Liam juga mengakui hubungan gelap Liam sama Carla. Apa masih kurang?" Liam berdecak, "Sayangnya sudah tidak ada lagi yang bisa Liam katakan. Terserah Mama mau percaya atau tidak, itu hak Mama. " Liam pun beranjak dari sofa, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Habis ini Liam ada pertemuan dengan investor, kalau Mama masih ingin di sini silakan. Tapi Liam harap Mama tidak mengganggu pekerjaan Liam ataupun Carla dengan rasa penasaran Mama itu."

Willona mendengkus pelan, merasa tertohok oleh ucapan putra sulungnya yang memang suka blak-blakan. Lantas, ia pun bangkit dari duduknya. "Nggak perlu khawatir, ini Mama juga mau pulang," ucapnya kemudian, ia menyempatkan diri untuk melihat Carla yang masih tertunduk takut. "Kalau memang dia wanita yang kamu maksud, sebaiknya kamu bawa dia nanti malam. Sekalian kita lakukan konferensi pers agar rumor miring tidak semakin menyebar."

Liam spontan menoleh. "Maksud Mama?" Ia tidak menyangka mamanya akan bereaksi terlalu jauh. Jelas ini di luar perkiraan dan bukan reaksi macam ini yang Liam harapkan dari sang mama.

"Kamu nggak lupa, 'kan, kalau nanti malam ada peluncuran produk kosmetik mama yang baru? Jadi, kamu ajak dia," Willona mengedikkan dagunya kepada Carla, "bukan cuma media yang butuh penjelasan, kakek kamu dan keluarga besar Atmaja juga menunggu penjelasan kamu, Liam."

Liam mengembuskan napas berat, menyesali keputusannya. Jika tahu kejadiannya akan semakin runyam, lebih baik ia tidak memberitahu mamanya dan mengarang cerita bebas lainnya atau lebih baik jujur dan bilang tidak mengenal wanita di foto itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Kini tidak ada pilihan yang tersisa, maju kena mundur kena. Maka jalan satu-satunya ya gas terus, mengikuti alur sandiwara yang sudah ia ciptakan secara gegabah dan tanpa perencanaan yang matang.

"Ingat Liam, jangan mangkir. Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu harus datang dengan dia. Jangan membuat kakekmu semakin marah. Ini saatnya kamu memberikan kami semua kejelasan, terutama untuk papa dan kakek kamu." Willona menepuk-nepuk pundak Liam, memberikan peringatan keras. Mengingat anaknya itu suka sekali menghindar setiap kali berurusan dengan wanita. "Kalau begitu mama pulang dulu." Willona pun segera keluar dari ruangan Liam, sebelumnya ia menyempatkan diri berpamitan dengan Carla.

Carla pikir selepas kepergian nyonya Willona semua ketegangan dalam ruangan ini akan menghilang. Namun, ia salah besar. Karena pusat ketegangan itu sendiri masih berada di hadapannya dan sedang menatap bar-bar dirinya. Seolah bersiap akan menerkamnya dalam hitungan detik.

"Pa-Pak Liam." Dengan gugup, Carla memanggil nama Liam. Tanpa berani menatap kepada pria itu yang juga tengah memandanginya.

"Apa?" Carla menelan ludah mendengar jawaban dingin dari bosnya.

"Maksud Pak Liam apa, kenapa Pak Liam libatkan saya? Saya juga tidak tahu apa-apa, memangnya apa yang tengah terjadi?" Carla memberanikan diri mengangkat wajahnya untuk melihat wajah Liam yang tampak gahar. "Sa-saya ...." Tatapan Liam membuat Carla kehilangan keberanian untuk berbicara. Ia mengutuk bibirnya yang tiba-tiba kelu dan pikiran yang langsung blank hanya karena matanya tanpa sengaja beradu pandang dengan bosnya. Seakan-akan sorot mata pria itu berhasil merenggut sisa-sisa keberanian dari diri Carla.

"Hari ini kamu beruntung. Saya akan kasih kamu kesempatan sekali lagi, asal ...." Liam menjeda ucapannya, membuat Carla tidak sabaran.

"Asal apa Pak? Saya akan lakukan apa saja, asal jangan pecat saya. Pekerjaan ini penting sekali buat saya," ujar Carla, penuh harap sampai lupa akan pertanyaannya sebelumnya. Ia tidak berpikir bila sesuatu yang besar tengah menunggu.

"Seperti yang sudah kamu dengar dari mama saya. Kamu nanti malam ikut saya untuk menghadiri peluncuran produk kosmetik mama saya. Nggak boleh nolak, kamu nggak punya pilihan kecuali kamu mau saya pecat," pungkas Liam ketika Carla akan mendebat ucapannya.

Carla menghela napas panjang, ia terpaksa menerima keputusan sepihak bosnya. Semata-mata semua ia lakukan demi pekerjaan yang sangat berharga untuknya.

Nasib orang miskin, selalu teraniaya. Ya Tuhan, kenapa di dunia ini ada manusia laknat macam Pak Liam? Kenapa orang ganteng selalu nyusahin!

Eh!

***

Carla bersin-bersin untuk yang kesekian kali. Ia tidak tahan akan partikel-partikel kecil dari bedak tabur yang menyelinap masuk ke hidung, belum lagi ketika brush berbulu lembut itu mengusap area pipi dan pangkal hidungnya.

"Hachi!!!"

"Eh monyet!" Spontan pria melambai di belakang Carla menyahut, efek latah. "Perasaan Ye dari tadi bersin mulu, Cin," komentar pria itu yang baru saja selesai merias wajah Carla.

"Iya Cong .... eh!" Carla langsung garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sadar salah menyebut. Ia jadi tidak enak, beruntung suara lain cepat menginterupsi sebelum pria melambai itu bereaksi atas sebutannya barusan.q

"Sudah selesai?" Liam memasuki ruangan VIP dari salon langganan mamanya.

"Sudah dong Pak Bos. Lihat," Pria melambai itu memutar kursi yang diduduki Carla dan menghadapkannya ke hadapan Liam, "cantik, 'kan?"

Liam tertegun sesaat, matanya tidak berkedip melihat penampilan Carla yang jauh berbeda. Jika biasanya Carla terlihat sederhana tanpa riasan make-up, kali ini wanita itu tampak cantik dengan make-up on dan bibir bewarna merah cherry. Tidak buruk, setidaknya Carla tidak akan malu-maluin kalau diajak ke acara launching produk terbaru perusahaan kosmetik mamanya. Pasalnya di sana akan banyak wartawan yang meliput dan sudah pasti muka Carla akan lebih banyak disorot karena ini perdana ia membawa wanita ke acara penting.

"Apa eke bilang, cantik, 'kan. Pak bos aja sampai terpesona gitu," celetuk pria melambai itu, suaranya mengguncang keterdiaman Liam.

Sontak Liam tersadar dan buru-buru merubah ekspresinya. Ia sempat salah tingkah, apalagi saat matanya tidak sengaja bertubrukan langsung dengan sorot mata Carla yang tengah memperhatikan dirinya dengan wajah polos yang berhasil menciptakan guncangan cukup hebat sesaat dalam hati kecilnya.

"Kata siapa? Biasa saja!" ucap Liam, enggan mengakui kalau ia sempat terpesona oleh kecantikan Carla. Gengsinya tinggi! "Kalau sudah buruan, acaranya sebentar lagi dimulai!" Setelah itu ia bergegas pergi meninggalkan ruangan.

Carla menyusul Liam, berjalan kesusahan di belakang pria itu. Ia tidak terbiasa memakai high heels berhak tinggi, ditambah long dress warna merah tanpa lengan membuatnya kesusahan melangkah. Carla merasa dirinya seperti sosis sapi. Ia cemberut, menggerutu sepanjang jalan menuju ke mobil bosnya yang terpakir di pelataran salon.

"Buruan masuk!" teriak Liam dari dalam mobil.

Carla berdecak, kesal. "Dasar nggak peka! Nggak lihat apa orang kesusahan, bukannya bukain pintu malah masuk gitu aja," gerutu Carla yang masih berdiri di depan pintu mobil hingga suara klakson menginterupsi.

"Carla, buruan!" Suara bariton Liam kembali mengudara.

Carla mengembuskan napas kasar, lantas ia segera masuk sebelum bosnya kembali membunyikan klakson.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di gedung tempat acara peluncuran produk Willona kosmetik berlangsung. Lima belas menit, mobil Liam memasuki pelataran gedung serbaguna milik Atmajaya Group. Gedung mewah yang memiliki kapasitas tampung sampai dua ribu orang itu sudah dipenuhi oleh para tamu undangan dan awak media yang sedang meliput acara super megah tersebut.

Kehadiran Liam bersama Carla di sampingnya, sukses menarik perhatian seisi ruangan, terutama para awak media yang langsung mengabadikan momen langka itu. Secara ini pertama kalinya Liam membawa seorang wanita ke acara resmi, apalagi setelah skandalnya tersebar luas.

"Jaga sikap kamu, Carla," bisik Liam seraya menarik pinggang Carla, sengaja merapatkan dengan tubuh kokohnya. "Jangan buat masalah, kamu hanya perlu tersenyum pada mereka. Jangan memberikan jawaban aneh seperti biasanya. Jawab saja seperti yang sudah saya beritahu sebelumnya."

"Iya Pak, saya masih ingat kok. Pak Liam sudah mengingatkan saya untuk keempat kalinya, sekali lagi Pak Liam mengingatkan, Pak Liam akan dapat piring cantik," sahut Carla, bosan.

Keduanya berjalan menuju sang pemilik acara, di mana keluarga Atmaja juga berkumpul di sana.

"Pa, Ma, kakek." Liam menghampiri ketiga orang yang tidak lain papa, mama dan kakeknya yang sedang berbincang-bincang.

Ketiganya menoleh, menatap Liam sekilas lalu beralih cepat pada Carla. Paham akan reaksi bingung papa dan kakeknya, Liam pun memperkenalkan Carla pada mereka.

"Kakek, Papa, kenalkan, ini Carla, sekretaris Liam," ucap Liam yang kemudian beralih pada Carla untuk memperkenalkan keluarganya. "Carla, kenalkan, mereka Papa dan Kakek saya."

"Carla." Carla menyebutkan namanya seraya menjabat tangan papa dan kakek Liam secara bergantian.

Selama acara berlangsung, Liam melakukan aktingnya dengan sangat sempurna. Ia memperkenalkan Carla pada keluarga besar Atmaja, sesuai arahan kakeknya. Beruntung keluarga mereka tidak banyak bertanya, mereka juga sepertinya menerima Carla dengan baik. Sedikit informasi, keluarga Liam memang bukan penganut tiga B; Bibit, bebet, bobot. Mereka juga tidak pernah membeda-bedakan kalangan, baik dengan rekan bisnis, karyawan maupun orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Hal itu jadi nilai plus untuk keberhasilan rencana Liam, mengelabui keluarganya dan awak media.

"Pak." Liam menoleh ketika Carla memanggil, menaikkan sebelah alisnya sebagai respon. "Saya mau ke toilet," lirih Carla, agar tidak didengar oleh orang-orang di sekitar.

"Hm. Jangan lama-lama, habis ini kita pulang," kata Liam, mengizinkan.

Carla mengangguk, setelah itu bergegas pergi ke toilet. Sedangkan Liam kembali menikmati lagu yang dipersembahkan oleh penyanyi papan atas yang sedang naik daun. Sampai-sampai ia tidak sadar saat seseorang berjalan mendekatinya.

"Sepertinya kita pernah bertemu." Suara dari samping mengalihkan atensi Liam. Seorang wanita cantik menyambutnya dengan seulas senyum manis.

Namun, hal tersebut tidak dapat membuat wajah datar Liam bereaksi. "Maaf, sepertinya saya tidak mengenal Anda." Ia kembali menatap ke arah panggung, mengabaikan eksistensi wanita itu.

Wanita itu tersenyum geli, entah apa yang lucu. "Harusnya Anda ingat saya, karena foto kita sedang jadi perbincangan publik."

Mendengar kata 'foto kita' spontan Liam menoleh lagi pada wanita itu. Mata tajamnya mengamati dengan seksama wajah wanita itu yang memang tidak begitu asing.

"Why?" Wanita itu bertanya akan maksud tatapan Liam. "Apa saya salah? Sepertinya tidak. Atau haruskah saya mengaku pada para reporter di sana? Pasti hal itu akan jadi berita besar." Wanita itu dengan berani menunjuk sekumpulan reporter yang sedang sibuk meliput acara.

Liam masih terdiam, tapi tatapannya kini semakin tajam. Ia ingat sekarang siapa wanita di sampingnya. Wanita itu model ambasador produk kosmetik mamanya, Liam tadi sempat melihatnya waktu di atas panggung. Tapi yang lebih membuat Liam tidak percaya, ternyata wanita itu wanita yang sama dengan wanita di klab kemarin malam. Wanita yang membuatnya terjerat skandal memalukan dan membuat ia harus melakukan sandiwara bodoh untuk menutupi rumor miring tentang dirinya.

Sial!

Bagaimana bisa orang mabuk mengenali, bahkan mengingat dengan jelas dirinya? Apa jangan-jangan wanita itu sengaja melakukannya? Dasar picik! Apa ia pikir bisa numpang pansos dengan membawa-bawa namanya? Tidak sudi! Tidak akan dibiarkan! Pikir Liam, gondok bukan main dengan wanita yang berdiri anggun di sampingnya.

"Maaf, sepertinya Anda salah orang." Liam memalingkan wajahnya, enggan berbicara lagi. Tapi ucapan wanita itu kembali membuatnya menoleh.

"Tapi sayangnya saya nggak salah orang, Tuan William Atmaja." Wanita itu tersenyum lebar, menunjukkan layar ponselnya. "Lihat, wanita itu sangat mirip dengan saya. Karena memang itu saya. Semalam saya memang tidak sadar saat melakukannya, tapi setelah melihat berita pagi ini, saya sangat yakin seratus persen kalau itu saya dan pria itu jelas Anda, Tuan William yang terhormat."

Liam mengepalkan kedua tangannya. Seandainya saja yang di sampingnya bukanlah seorang wanita, sudah dipastikan Liam akan menghajarnya habis-habisan. Kalau perlu sampai gigi-giginya rontok, biar nggak bisa makan jagung bakar. Sayangnya Liam anti berhubungan dengan seorang wanita. Tidak ingin larut dalam obrolan tidak penting, Liam memilih untuk pergi meninggalkan wanita itu. Tapi, baru beberapa langkah, ia mendengar wanita itu berucap lantang menarik atensi seluruh orang di ruangan.

"Orang yang ada di foto itu sebenarnya saya, Andita Salim! Orang yang mencium Anda, William Atmaja! Itu saya!" Pernyataan wanita itu sontak menarik semua perhatian awak media yang ada di sana. Mereka berlomba-lomba untuk mewawancarai wanita bernama Andita Salim, model yang sedang naik daun.

"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status