Share

Istri Kontrak CEO : Hamil Sebelum Bercerai!
Istri Kontrak CEO : Hamil Sebelum Bercerai!
Author: Ainin

Berikan Mama Cucu

"Tidak terasa, seminggu lagi masa pernikahan kontrak ini akan berakhir." Seorang gadis bergumam, seraya menghela napasnya dan menatap piring yang sudah mulai bersih dia cuci.

Dia merapikannya ke dalam rak, lalu mengambil sebuah kain lap dan mulai melangkah ke arah meja-meja. Di meja makan seorang pria sedang duduk, terlihat begitu datar dan angkuh.

"Kenapa? Kau sedih hanya karena akan bercerai dariku?" tanyanya dingin dan angkuh.

Stella Danasya Gracia, itu adalah nama dari gadis yang sedang mencuci piring itu. Dia menatap ke arah Bian Dominic, suaminya, alias suami kontraknya yang sedang sarapan di atas kursi makan.

"Tidak, aku hanya mau mengingatkan."

"Tidak perlu kau ingatkan juga, aku tidak akan lupa." Bian berkata datar lalu menatapnya seraya bangkit. "Kau bersiap saja untuk semua rencananya. Jangan membuat ulah di hari perceraian kita."

Setelah itu, semua pembicaraan selesai begitu saja karena Bian sudah akan pergi berangkat bekerja ke perusahaan. Tetapi belum sempat dia melangkah, ponselnya berdering dan tatapannya langsung melihat layar panggilan.

Dokter Pribadi Mama, itu nama dilayar ponselnya yang membuat Bian mulai merasa khawatir.

"Halo? Ada apa menghubungiku?"

"Tuan Muda, Nyonya sakit tiba-tiba. Setelah pusing, tubuhnya lemas sekali. Bisakah Tuan datang dengan Nona Stella kesini?"

Wajah Bian berubah panik, Stella bisa melihatnya bicara lagi dengan wajah tergesa sebelum mematikan panggilan.

"Cepat bersiap, kita ke rumah!"

"Bian? Ada apa?" Stella bergegas mendekatinya, wajah Bian yang panik membuatnya juga ikutan.

"Dokter Pribadi Mama menghubungi, meminta kita datang ke rumah karena tiba-tiba saja Mama pusing," ucap Bian, wajahnya khawatir walau terlihat dingin.

Stella mengernyit. "Mama sakit lagi?"

"Iya, cepatlah! Aku tunggu di depan."

"Baiklah ..." gugup sebentar karena agak panik, Stella melepaskan celemek di tubuhnya. "Aku ambil tasku dulu. Sebentar!"

Bian tak menjawab, dia sudah berjalan lebih dulu ke arah depan dan meninggalkan Stella. Wajahnya yang tampan dan dingin itu terlihat sangat cemas, setiap hal yang menyangkut ibunya maka dia tidak akan pernah tenang sampai melihatnya.

***

Dimobil, Stella hanya diam saja karena tak ada pembahasan yang harus dia dan Bian lakukan. Biasanya juga pria ini takkan mendengarkan ucapannya, karena Bian takkan pernah tertarik pada gadis sepertinya. Stella sudah terbiasa akan hal itu. Dia memandang jalanan kota, dengan wajah yang tampak agak cemas.

Ada yang Stella pikirkan saat ini, tentang Ibu mertuanya yang sudah sangat baik padanya itu. Kabarnya yang kembali jatuh sakit adalah hal yang tak pernah ingin Stella dengar. Walaupun penyakit jantung ibu dari suaminya ini adalah hal yang tidak akan pernah sembuh lagi karena sudah bawaan dari lahir.

"Bian ... aku agak khawatir dengan perceraian yang akan kita lakukan. Lihatlah Mama sakit, apakah hal itu tidak akan membuatnya menjadi lebih sakit nanti?" tanya Stella, terpaksa membuka pembicaraan walaupun Bian tak pernah suka.

"Bersama denganmu, memangnya Mamaku akan sembuh?" tanyanya datar, membuat Stella terdiam. "Kau hanya gadis yang membuatku tidak bisa bebas. Ibumu adalah orang yang sok bijak dengan menjodohkan kita dulu. Padahal kau jauh berada di bawahku, sangat tidak sesuai untukku."

Stella menghela napas pelan, terdiam mendengar ucapannya yang kasar dan sarkas. Hatinya? Sakit, tapi mau bagaimana lagi? Bian tak mencintainya, bahkan memandangnya saja tidak pernah. Entah apa yang menjadi jiwa suaminya ini, hingga menjadi pribadi yang tak tersentuh.

"Emm, kau benar. Tetapi, jangan sebut Mamaku lagi, Mamaku sudah tidak ada. Kau uruslah mulai sekarang perceraian kita, agar kalau tiba saatnya sudah mudah dan aku tinggal menandatanganinya."

"Sudah kukatakan jangan mengajari atau mengingatkanku, aku sudah melakukan semuanya."

Stella mengangguk pelan tak berdaya.

"Jangan pernah mencari perhatian dari Mama nanti. Seminggu lagi kita akan bercerai dan aku tidak mau berhubungan denganmu lagi."

Stella mengangguk kembali pelan. "Aku sudah punya cara untuk membuat Mama membenciku. Aku sudah punya pacar dan dia akan menikahiku setelah ini. Jadi, aku dan dia sudah setuju untuk membantumu. Kau bisa membuatku ketahuan berselingkuh untuk membuat Mama membenciku."

Bian tak menjawab, tanda dia setuju. Mereka akhirnya tiba di rumah keluarga Biantara Dominic. Stella keluar dari mobil begitu kendaraan roda empat itu berhenti, lalu berjalan bersama Bian yang melangkah cepat tanpa mempedulikannya.

Calista Dominic, ibu Bian, nyatanya sudah melihat kedatangan anak dan menantunya itu dari balik tirai kamar, lalu tersenyum kecut melihat anaknya yang meninggalkan Stella dibelakangnya. Dia kembali ke tempat tidur, lalu berbaring dengan seorang dokter keluarga yang sudah tahu apa tugasnya.

"Mereka hampir sampai."

Dokter itu mengangguk, lalu memasangkan infus kepunggung tangan majikannya dan menatap wajah Calista.

"Nyonya ... keadaan Anda memang tidak baik. Apakah Anda benar-benar akan melakukannya?" tanya dokter wanita itu dengan cemas.

"Aku tidak akan pernah sembuh, kau tahu sendiri," ujar Calista seraya menarik napasnya yang sesak. "Saat aku mati aku akan bertemu dengan Nesya di alam sana. Dia akan bertanya tentang keadaan anak dan menantunya. Aku akan malu kalau mengatakan hal buruk padanya tentang mereka, sedangkan dia sudah memberikan kesempatan padaku untuk merasakan bagaimana rasanya melihat. Anakku Bian yang tidak tahu diri makanya memperlakukan Stella begitu," ujarnya seraya menyeka air mata.

Dokter wanita itu menunduk, tahu bagaimana perjuangan ibu dari Stella dulu. Hanya saja Calista merahasiakannya dari semua orang, hanya dia dan adik perempuan Calista yang tahu.

"Mama ..."

Bian menerobos masuk, melihat ibunya yang terbaring di atas ranjang. Wajah ibunya itu tampak memucat, juga kehilangan semangat hidup sejak penyakitnya semakin parah.

"Bian ..." Calista menatap wajah putranya yang sudah duduk di pinggiran ranjang dan menatapnya cemas.

"Mama ... Mama pasti banyak pikiran, 'kan? Makanya sakit Mama kambuh lagi? Kenapa tidak pernah ikuti kata dokter? Kenapa Mama malah melakukan apa yang dilarang dokter?"

Calista tersenyum pahit, lalu melihat Stella yang berdiri tak jauh darinya. "Mama tidak melakukan apa-apa pun memang sudah setiap hari sakit, 'kan? Mama memang sudah tidak bisa disembuhkan. Kamu tahu itu," ucap Calista pelan yang membuat Bian menghela napas.

Bian menggenggam tangan ibunya dengan erat dan menatapnya khawatir. "Mama ... kenapa tidak ada pendonor jantung yang sama seperti jantung Mama? Bagaimana ini? Apakah Mama akan meninggalkanku? Apakah Mama akan pergi? Aku bahkan belum membuat Mama bahagia ..." ujar Bian dengan wajah sedih, tapi Calista malah tertawa kecil melihatnya.

"Anak bodoh! Mama sudah bahagia sejak kau dan Stella menikah. Apalagi yang kurang?" Calista terbatuk pelan, tak melihat wajah Stella yang agak muram mendengarnya sedangkan Bian tampak menyembunyikan kekesalannya. "Yang Mama sedihkan adalah, hubungan kalian yang tak juga membaik, kau yang tidak juga menerimanya. Hanya tinggal satu lagi permintaan Mama, terimalah Stella menjadi istrimu yang seutuhnya, Bian."

Bian tak langsung bicara, dia memalingkan wajah dan tak menatap ibunya selama beberapa saat.

"Bian ..."

Bian menatapnya lalu menggeleng dan menarik napas. "Ma ... Stella tak mencintaiku, aku juga tidak pernah bisa mencintainya. Kami tidak akan bisa bersama."

"Itu omong kosong!" Calista menggeleng tak percaya. "Kau tahu, cinta tidak akan muncul tanpa kau inginkan. Cobalah untuk mencintainya, dia juga akan mencintaimu."

"Mama ... aku tidak bisa," ucap Bian menolak dengan cepat. "Dia bukan tipeku! Aku tidak mau jatuh cinta padanya."

Tak hanya Stella yang merasakan dadanya sesak, tapi juga Calista yang tampak memejamkan mata dengan wajahnya yang mulai memucat.

Melihat itu, Bian tampak panik dan menggenggam tangan ibunya dengan erat. "Mama ... Ma ... Mama ... jangan begini. Mama ingin apa, akan kuturuti! Asalkan bukan jatuh cinta pada Stella."

Calista menggeleng pelan. "Kalau begitu, baiklah ... Berikan saja Mama cucu yang berasal dari kalian, mungkin itu akan menjadi sebuah tanda kalau kau dan Stella akan tetap bersama walau Mama sudah tidak ada," ujar Calista patah-patah.

"Ma ..." Stella bersuara, seraya mendekat dan menatap wajah ibu mertuanya. "Mama tahu kalau kami tidak akan pernah saling mencintai, Bian tidak akan pernah membuka hati untukku. Keberadaan anak adalah hal yang mungkin akan membuatku semakin tidak bisa leluasa. Mama ... jangan minta itu," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak siap, Ma ..."

Calista menarik napasnya satu-satu, penyakitnya bukan main-main, dia sungguhan sakit jantung koroner akut yang sudah tak dapat disembuhkan.

"Kalian memang menginginkan kematian Mama," ujar Calista bertambah pelan. "Baiklah ... kalian pergilah dari sini! Jangan temui Mama sampai kalian mendengar kabar kalau Mama sudah mati."

"Mama ..." Bian yang ditepis tangannya oleh Calista dengan kalap langsung kembali memegang tangan ibunya. "Mama ... minta apapun yang lain, aku akan memberikannya. Namun, soal ini aku benar-benar tidak bisa-"

"Pergi ... pergi! Pergilah kau!" Dada Calista naik turun akibat sesak napas. "Pergi kalian semua! Jangan pernah datang-"

"Mama ..." Bian dan Stella sama-sama menyela.

"Mama tolong, jangan begini ..." Stella terisak sendiri. "Bukan aku yang tidak mau, tapi Bian tak mencintaiku. Untuk apa aku yang-"

"Mama hanya ingin cucu untuk memperkuat hubungan kalian. Kalau kalian tidak mau merawatnya, Mama yang akan merawatnya. Agar kalau Mama mati, Mama tidak malu bertemu dengan ibumu di alam sana. Kamu paham?"

Stella menyeka air matanya, hatinya sakit. Andai saja Bian mau membuka hati sejak awal untuknya, semua ini takkan terjadi. Dia melihat Bian yang tampak diam, berharap Bian mau mengatakan sesuatu yang bisa dijadikan cara keluar dari masalah ini, hingga tak lama kemudian pria itu buka suara.

"Baiklah ... demi Mama, aku akan lakukan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status