Share

Memutuskan Untuk Hamil

Bian tercengang mendengar kata-kata dokter. Stella memeriksakan dirinya? Dibantu oleh Tantenya itu? Ya ampun, penderitaan apa ini lagi? Apa lagi masalah yang akan datang setelah ini?

Mengapa Stella tidak menolak untuk agar tidak diperiksa? Mengapa dia bahkan berpikir begitu? Namun, Bian akhirnya menghela napas lemah saat mengetahui dan menyadari siapa yang bisa berdebat dengan Lauren. Yang ada hanya masalah jika dia berani melakukannya. Lauren terkenal dengan semua jenis prinsip dan pasal hukum. Dia bisa dengan cepat membuat orang tidak bisa bicara dan bergerak.

Stella keluar dari kamar dan melihat Bian yang sudah menghela napas.

"Ikut aku."

Stella tidak menjawab, berjalan begitu saja dengan wajah yang semakin bungkuk saat Bian mengajaknya. Mereka menuruni tangga, lalu masuk ke mobil yang diparkir di halaman.

Tak satu pun dari mereka mengucapkan sepatah kata sampai mobil memasuki jalan raya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang setelah semua itu terjadi?" Bian memulai pembicaraan, mengemudi dengan santai dan perlahan menyusuri jalan raya yang tidak terlalu ramai meskipun hari sudah sore.

Stella menarik napas dalam-dalam, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku juga tidak tahu," katanya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak tahu bagaimana lagi aku akan memisahkan diri darimu. Apakah aku harus hamil, Bian? Demi kesenangan kalian?"

Bian menghela napas putus asa, dia tidak tahu. Akhirnya, dia menghentikan mobilnya di tempat parkir alun-alun. Mereka keluar menuju kursi-kursi yang ada di sana agar mereka bisa berbicara dengan pemandangan jalan raya yang berada di luar pagar jalan.

Bian diam-diam merenung, memikirkan apa yang bisa dia lakukan. Sekilas dia melihat bayangan ibunya yang berharap mereka bahagia bersama, dia dan Stella. Lalu kemudian, dia melihat keinginan kuat ibunya untuk memberikan cucu darinya dan Stella.

Hal yang nyata adalah dambaan setiap orang tua dalam pernikahan anaknya. Namun, Bian tidak berniat menghabiskan waktunya untuk wanita ini atau kehidupan rumah tangganya. Dia hanya bertekad menjadi orang kaya, pengusaha paling sukses, dan diakui dunia.

Dia tidak berniat menikah pada awalnya, tetapi ibunya memaksanya untuk menikah dengan Stella. Gadis yang telah dinikahinya ketika mereka sudah dwwasa. Tetapi, lihat bagaimana dia bisa mencintai wanita ini? Tidak selevel yang sama dengannya. Stella hanyalah seorang pemilik Cafe, sedangkan dia adalah pemilik sebuah perusahaan ternama. Bagaimana dia bisa pantas berdampingan dengan Stella? Itu benar-benar di luar nalar!

"Bagaimana jika aku mengandung anakmu dan setelahnya baru kita bercerai?" Stella menawarkan dengan ragu karena pria ini pasti tidak mau.

Bian menatapnya, lalu menghela napas kesal. "Apakah kau menginginkannya?"

Stella menghela napas. "Aku tidak mau karena aku ingin punya anak dari pria yang mencintaiku. Kami menginginkannya bersama, yang membuatnya dengan cinta dan perasaan. Namun, aku tidak ingin Mama kecewa padaku. Ibumu selama ini sangat baik padaku. Aku mau tak mau akan melakukannya untuk membalas jasanya yang besar untukku," kata Stella dengan air mata berlinang. "Itupun kalau kau mau. Atau, aku punya cara lain..."

Bian menatapnya diam-diam, lalu menghela napas dan memalingkan wajahnya ke jalan lagi. "Katakan."

"Kau bisa mencari seorang wanita yang sesuai denganmu, yang kau cintai. Kau dapat memintanya untuk melahirkan anakmu, dan aku akan berpura-pura menjadi istrimu sampai dia melahirkan. Kita bisa mengenalkannya pada Mama sebagai anak kita, lalu kita cerai. Bagaimana?"

Bian menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tertarik pada wanita manapun. Tidak ada wanita yang aku cintai lebih dari ibuku. Cara kedua yang kau katakan sangat tidak masuk akal untuk kulakukan."

Stella menghela napas perlahan. "Apakah kau punya cara? Atau haruskah aku kabur saja? Dengan begitu, kita tidak perlu melakukannya."

Bian menghela napas lagi dan lagi. "Kau mau lari kemana, Stella? Apakah kau pikir kau bisa melakukannya dengan Tante Lauren yang ada di antara kita? Dia ada di pihak Mama, dan kita adalah targetnya. Aku kesal ketika menyadari bahwa Tante mendengar apa yang kita bicarakan tadi! Semuanya jadi berantakan!" bentaknya kesal, membuat Stella diam saja.

Tangannya terjalin dengan ekspresi sendu dan sedih. Dia tidak punya cara untuk menghadapi semua ini. Namun, dia tidak tahu ke mana dia pergi atau apa yang harus dilakukan. Dia sendirian di dunia ini, tanpa orang lain, tanpa orang tua, dan hanya keluarga Bian dan Lyra dalam hidupnya sejak ibunya meninggal.

Stella mengusap wajahnya lelah hingga akhirnya dia menoleh ketika Bian meraih tangannya dan menatapnya datar.

"Kau ingin melahirkan anakku?"

Stella meneteskan air matanya lalu menunduk sedih.

"Kau akan hamil. Kita bisa mencoba dengan cara ini. Aku akan membayar rahimmu, juga semua pengorbanan dan rasa sakit yang kau saat kau melahirkan kelak. Hanya ini yang bisa kita lakukan, Stella. Dan aku akan menceraikanmu setelah kau melahirkannya."

Jantung Stella berdetak kencang mendengar kata-katanya. Namun, dialah yang mengusulkan metode ini sebelumnya. Dia harus setuju, meskipun mungkin ini menantang, tapi tidak ada cara lain.

"Kau dan aku hanya akan bekerja sama dalam satu malam. Kita harus melakukan hubungan suami istri agar kau bisa hamil. Tidak ada jalan lain karena kita harus menuruti permintaan Mama."

Stella semakin kuat menahan air mata yang memaksa mereka jatuh. Bian hanya berbicara tentang ibunya dan dirinya, dan pria itu biasa mengabaikannya meskipun Stella merasa sakit. Namun, kali ini, Stella harus menahan rasa sakit itu, untuk melakukan itu semua. Demi ibu mertuanya.

Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerima. Ini semua demi kebaikan ibu mertuanya karena tidak ada yang bisa menggantikan kebaikan ibu mertuanya kepadanya.

"Apa kau yakin?"

Bian tidak langsung menjawab.

“Jika nanti bayi di perutku kemudian lahir, apakah kau akan mencintai bayi itu juga? Bayi itu adalah anak yang dikandung oleh wanita yang tidak selevel denganmu. Apakah kau akan tetap menerima bayi itu sebagai anakmu?" tanya Stella, membiarkan air matanya jatuh lagi dan lagi kali ini. "Aku mengajukan pertanyaan serius kali ini. Keperawananku tidak masalah jika kau mau menerimanya. Di negeri ini, akan ada laki-laki yang mau menerimaku meski aku seorang janda. Tapi anak itu, apakah kamu akan menghargai dan mencintainya?"

Bian terdiam, menyaksikan air mata istrinya yang jatuh tak terbendung. Dia menyadari bahwa Stella antara tidak mau dan terpaksa. Itu sebabnya dia menangis seperti itu.

Bian sendiri belum siap memikirkan harus mengurus bayi yang merupakan anaknya. Itu masih di luar pikirannya, tetapi dia tahu bahwa Stella banyak berkorban untuk ibunya. Dia tidak akan membuat wanita ini bingung dan tidak yakin pada dirinya sendiri.

“Bayi itu adalah anakku walaupun dia lahir dari rahimmu. Tentu saja kau dan bayi itu tidak sama karena kasta anakku, akan mengikuti kastaku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status