Mendengar ucapannya, Stella hanya bisa menghela napas dengan tatapan tak percaya. Dia sudah bersedia membantu Bian, tapi pria ini tetap saja angkuh dan tidak tahu bagaimana cara mengolah kata yang lebih baik.
Namun, ya, dia adalah Bian yang selama ini memang angkuh dan suka menyakiti Stella dengan ucapan-ucapannya. Apa yang Stella harapkan? Bian berubah dan menjadi lebih menghargainya? Itu hanyalah hal yang konyol dan takkan pernah terjadi. Karena Bian merasa, dia hebat dan bisa berdiri dengan kakinya sendiri."Apalagi yang akan kita lakukan?" tanya Stella setelah diam beberapa lama. "Apakah akan langsung dilakukan? Atau kau mau berlama-lama lagi."Bian tersenyum miring, menatap jalanan yang mulai sunyi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, meninggalkan jejak debu tipis yang tampak berterbangan di udara."Kau mau aku membayarmu berapa untuk mengandung anakku?" tanyanya datar, membuat Stella terdiam beberapa lama. "Katakan saja, kau mau seratus juta dollar atau di atasnya?"Stella menatap Bian yang baru mengatakan nominal uang. "Seratus juta dollar? Kau bercanda?"Bian menatapnya datar, seraya mengumpat dalam hati. "Katakan saja kau mau berapa? Aku akan coba penuhi untukmu."Stella menggeleng pelan, antara tak percaya dan juga gila memikirkan bagaimana cara Bian berpikir."Mengapa kau sangat menghargaiku yang kau katakan sebagai wanita tidak selevel denganmu?" tanya Stella datar, membuat Bian memutar bola matanya malas. "Kau yakin akan memberikan seratus juta dollar padaku? Hanya karena aku mengandung anakmu?""Jadi, aku harus memberikan berapa untukmu? Agar kau benar-benar pergi dan menghilang seakan di telan bumi setelah kau melahirkan anakku?" tanyanya lebih terdengar menghargai kali ini, walaupun nada angkuhnya tetap terasa. "Kau kira melahirkan itu mudah? Mengandungnya mudah? Justru karena rumitlah makanya aku malas melakukannya sejak awal. Asal kau tahu itu."Stella menghela napas pelan. "Aku tahu. Bahkan mungkin sebagai wanita, aku jauh lebih tahu darimu. Namun kau jangan terlalu mahal membayarku, aku hanya ingin kau membiayaiku selama mengandungnya. Hanya itu saja, karena selama ini aku membayar biaya untuk hidupku sendiri walaupun aku menjadi istrimu."Bian mengerutkan dahinya. "Hanya itu?" ulangnya tak percaya.Stella tersenyum miring, lalu bangkit dan berjalan ke arah pagar. "Jangan kau anggap 'hanya itu' tapi sebenarnya sangat mudah. Aku akan mengandung anakmu, jadi aku tidak akan tinggal dirumahku yang ada di dalam bagian cafe milikku. Kau harus memberikan aku rumah yang merupakan milikmu. Lalu, selama sembilan bulan kau harus memberikan biaya makan dan biaya hidup untukku. Kau akan membelikan susu, makanan sehat dan bergizi, uang untuk kelas ibu hamil, uang untuk periksa dan cek setiap bulan. Dan lagi, kau harus membiayai biaya persalinan nanti, aku tidak mau menanggung apapun."Bian mendengus pendek. "Baiklah, aku akan melakukannya." Bangkit dari duduknya, dia berjalan dan berhenti di belakang Stella yang masih memandang jalanan. "Namun, setelahnya, kau harus pergi dan tak menampakkan diri dihadapan kami. Jangan sekali-kali kau datang dan mengatakan kau adalah ibu dari anakku. Atau kau akan kupenjarakan."Wajah Stella tampak agak berubah mendengarnya. Tak bisa di sangkal, jiwa keibuannya datang dan menolak keras ucapan Bian. Namun, dia juga tak mau menghabiskan waktunya dengan sia-sia bersama dengan pria yang tak mencintainya.Itu adalah hal bodoh! Dan dia memiliki masa depan yang lebih indah daripada menjadi gila dan mengharapkan cinta."Masalah rumah, kau tinggal bersamaku saja di apartemen. Sampai kau akhirnya hamil dan melahirkan, baru kau boleh pergi. Karena aku ingin memastikan, kau merawat anakku dengan baik selama kau mengandungnya." Bian lanjut berkata, tapi Stella hanya diam. "Soal perjanjian, kita tidak bisa melakukannya lagi dengan bantuan hukum dan pengacara. Jadi aku akan mengetiknya sendiri di komputer dan mem-printernya menjadi lembaran. Kita akan tetap menandatanganinya menggunakan materai. Kau setuju?"Stella mengangguk saja, lalu berbalik dan menghadap pria yang menjadi suaminya selama tiga tahun terakhir."Lakukanlah sesukamu. Namun dapat kukatakan, tanpa perjanjian aku juga akan pergi karena aku tak pernah berharap untuk menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Biantara Dominic. Kuharap setelah bercinta pertama kali, aku akan langsung hamil. Jadi kurang dari setahun, aku sudah melahirkan anakmu dan pergi. Itu adalah rancangan sederhana yang sudah kuurutkan dalam kepalaku. Kuharap kau tidak membebaniku dengan hal lain yang tidak ada dalam perjanjian lisan ini."Bian mengerutkan dahinya. "Baiklah," ujarnya menjawab, seraya memasukkan tangannya ke dalam saku. "Ayo pulang, aku akan membawamu tinggal bersamaku hari ini. Kita buat perjanjiannya dulu malam ini, lalu mempersiapkan kapan aku dan kau siap melakukan hubungan suami istri."Stella menarik napasnya lega, karena itu tidak akan terjadi hari ini. "Baiklah," ucapnya lapang hingga Bian dapat melihat kelegaam dari cara istrinya menjawab. "Namun setelah ini, aku akan ke cafe dan melihat keadaan. Bagaimanapun aku meninggalkan Lyra sendirian di sana.""Hmm." Bian melangkah, hingga Stella mengikutinya ke arah mobil. "Besok datang dan bawa pakaian serta beberapa keperluanmu. Kau akan tinggal bersamaku agar Mama juga menganggap kita mulai harmonis. Dan ... kuharap kau mau bekerja sama dengan pura-pura mulai menerima pernikahan kita."Stella menatap Bian yang sudah berdiri di pintu masuk mobilnya. "Kau?""Aku juga lakukan hal yang sama." Bian masuk, hingga Stella mengikuti. "Kita akan berpura-pura kalau dihadapan mereka. Namun kalau dibelakang mereka, jangan harap kita akan melakukannya.""Aku juga tidak mau." Stella menjawab seraya duduk dengan nyaman di kursi mobilnya, hingga Bian meliriknya yang tampak tenang tak terusik."Baguslah, setidaknya kau tidak membebani dirimu."Stella tak bersuara, dia menyandar dan melihat jendela luar. Malam sudah lebih gelap, sudah jam tujuh lewat. Stella mengeluarkan ponselnya saat melihat pesan dari pria yang merupakan teman dekatnya masuk.Room chat Stella dan Asley William:"Kau dimana?"Stella tersenyum, lalu mengetikkan balasan. "Dijalan, aku akan keapartmen Bian, ada urusan sebentar. Kenapa, Asley?""Aku ingin mengajakmu makan malam. Kau harus mau, sudah lama aku tidak menemuimu. Sekarang aku baru pulang dari luar negeri, jadi kau harus punya waktu untukku.""Jam berapa?" Stella menanyakan seraya melihat jam yang masih menuju pukul delapan."Setelah kau keluar dari rumahnya. Aku akan menahan laparku sampai kau datang dan mau makan malam denganku. Bagaimana?""Baiklah, jemput aku di depan apartemen. Aku janji dalam setengah jam setelah masuk, aku akan langsung keluar dan menemuimu.""Baiklah. Sampai jumpa, Stella. Aku merindukanmu ..."Stella tersenyum dengan tatapannya yang berbinar. "Aku juga merindukanmu. Sampai jumpa."Bian memperhatikan istrinya yang tersenyum-senyum seraya berbalas pesan. Benar-benar menyebalkan! Disaat dirinya sibuk memikirkan apa yang akan terjadi, Stella malah asyik bersenang-senang.Namun ... itu bukan urusannya.Bian yang mendengar pertanyaan Stella, menoleh dengan alis terangkat. "Sejak kapan kau peduli aku marah atau tidak?" tanyanya membuat Stella merengut pelan dan berjalan mendekatinya. "Sikapku menyebalkan di matamu?" tanya Stella, begitu tiba di depan mejanya sampai Bian harus mengangkat kepala demi menatap wajahnya. "Aku berulang kali membuatmu emosi, aku sadar sudah salah. Tiba-tiba saja aku berpikir, kenapa aku harus sensitif padahal tidak ada sesuatu yang berlebihan yang kau lakukan? Mengingat semua itu, aku jadi tidak nyaman lama-lama di cafe, makanya aku pulang." Bian menghela napas, lalu bangkit setelah mematikan laptopnya dan berjalan menghampiri Stella yang diam menunggunya. "Kesalahan yang kulakukan memang pantas membuatmu benci padaku, aku akhirnya merasakan bagaimana perasaanmu saat kata-kataku dulu selalu menyakitimu." Bian meraih tangannya, menatap wajah Stella dengan lembut lalu kembali berkata. "Masih ada banyak waktu bagiku untuk mengubah semua itu dari dalam pik
Sampai di cafe, Stella turun sambil berpikir. Kemungkinan tadi dia terlalu sensitif, kehamilan membuatnya makin sulit dan sering memikirkan hal-hal yang menyakiti hatinya sendiri. Padahal Bian sudah berusaha melakukan yang terbaik untuknya dan berubah, tapi apa yang Stella lakukan tentu saja bisa membuat pria itu muak dengan sikapnya. "Harusnya aku tidak membuatnya emosi tiap hari." Menghela napasnya, Stella berjalan memasuki cafe. Suasana tidak begitu ramai pagi ini tapi dia tetap berusaha untuk bekerja, merapikan meja dan menyapu lalu duduk di kasir sementara Lyra menyiapkan makanan yang dipesan oleh pelanggan. Mereka bekerja sama dengan bakery dan cake yang tidak jauh dari tempat ini. Toko bakery and cake itu akan mendistribusikan hasil-hasil kue buatan mereka pada Stella yang membuka cafe lalu bekerja sama dengan sistem harga reseller. Jadi, kalau ada pelanggan yang ingin duduk-duduk dengan santai maka pihak bakery and cake langsung mempromosikan supaya mereka ke cafe
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hamil
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang