Terkejut dengan respon Alfreed yang mendadak perhatian, Luisa seketika membisu. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Langsung pria itu meraih tubuh Luisa dan kembali membaringkannya di ranjang. “Aku tidak akan minta maaf, tapi aku akan bertanggungjawab,” ucap Alfreed. Matanya memandang Luisa serius. ‘Apa iya jatuh sedikit saja harus ditanggungjawabi? Lagipula kan ini salahku sendiri,’ pikir Luisa. Dia belum tahu kalau tanggung jawab yang Alfreed maksud bukan perkara jatuhnya. Tapi dipandang terus seperti itu, membuat Luisa gugup dan hanya bisa membisu. “Tetaplah di sini. Aku akan belikan sarapan.” Alfreed hendak bangkit, tapi Luisa sigap menarik tangannya. “Jangan! Biar aku yang siapkan sarapan. Tapi sebelum itu beri aku waktu lima menit saja untuk mandi.” Luisa tak bisa lagi terus membisu. Tanggung jawab akan tugasnya di rumah itu tidak boleh lalai, pikirnya. Alfreed melirik tangannya yang dipegang Luisa, lalu beralih memandang wanita itu. “Lakukan saja apa yang k
Meksiko “Sudah kukatakan aku paling benci pengkhianat.” Seorang pria dengan lengan dan dada yang dipenuhi tato berdiri di hadapan orang yang berlutut padanya, disebuah ruangan yang dipenuhi lima orang yang memegang senjata. Pria itu adalah Jose Fernando Chavez. Anak pertama dari pemimpin Kartel El Salvador, kelompok mafia paling berbahaya di Meksiko. “Maafkan saya, Tuan, saya sungguh-sungguh minta maaf ...” Orang yang berlutut itu, memohon ampunan. Beberapa bagian tubuhnya mengucur darah, sebab sudah dipukuli lebih dulu. Jose lalu menjambak rambut orang itu hingga terdongak. Dihisapnya dalam cerutu yang berada di tangannya lalu dia hembuskan perlahan seperti menikmati, kemudian dia padamkan cerutu tersebut tepat di mata orang itu. “Aaaarrrrgh ...” Menjerit histeris, menggelupur orang itu memegangi matanya. “Selesaikan, aku tidak mau melihat wajahnya lagi,” perintah Jose pada anak buahnya sembari dia melangkah pergi. Kejam, sadis dan tanpa ampun, begitulah seorang Tua
Washington DC "Jika butuh bantuan, langsung saja panggil. Aku tidak akan kemana-mana,” sambung Alfreed. Tak lagi menatap wajah Alfreed, Luisa mengangguk sembari melangkah cepat masuk ke kamar mandi. Sambil menunggu Luisa mandi, Alfreed meraih ponsel untuk mengirim pesan pada Paul, asistennya. Lima menit berlalu, Luisa sudah selesai mandi. Bukannya langsung keluar, wanita itu malah hanya menyembulkan kepala dari pintu kamar mandi. Menggigit bibir, Luisa melihat Alfred yang duduk santai di sofa sembari bermain ponsel. "Apa yang harus aku lakukan? Haruskah kuminta dia buat ambil handuk?" Luisa malah bingung sendiri sebab saat masuk ke kamar mandi tadi, dia tak membawa handuk maupun baju ganti. Tak mungkin juga dia langsung keluar dengan tanpa busana, sedangkan Alfred masih ada di dalam kamar. "Sstt ...." Pada akhirnya dia memanggil Alfred. Tapi bukan memanggil nama, wanita itu malah membuat suara aneh hanya agar Alfred menoleh ke arahnya. "Kau sudah selesai?" Bangkit,
Malam menjelang, kakek Scott sudah mempersiapkan segala macam jenis makanan di atas meja. Seperti biasa dia hanya tinggal menyuruh supirnya untuk mengambil makanan yang sudah lebih dulu dia pesan dari restoran ternama langganannya. “Alfreed ... Luisa ... Sudah seharian kalian di kamar. Ayo, keluar, memangnya kalian tidak capek?” ucapnya setelah mengetuk pintu kamar. Bukan Luisa yang keluar melainkan Alfreed. “Apa-apaan sih, Kek?! Pertanyaan macam apa itu?” sentak cucunya kesal. Plak! Tak gentar, kakek Scott memukul lengan cucunya. “Kau memang sudah gila, ya, Bocah?! Kau bilang padaku kalau dia berdarah, tapi seharian kau hajar dia habis-habisan! Di mana hati nuranimu?!” geram kakek dengan suara berbisik. Tak ingin cucu menantunya mendengar. Semula kesal, kini Alfreed jadi terperangah. “Aku saja setelah sah menikahi nenekmu, hanya sekali melakukannya. Besok baru kuulangi lagi. Tidak melakukannya berkali-kali dalam sehari!” “Kau jangan norak, Alfreed! Aku tahu
Luisa kembali melirik Alfreed. Khawatir sekali dia salah bicara, takut akan membuat pria yang saat ini merapatkan rahangnya itu, marah besar. Paham dengan tatapan khawatir Luisa, Kakek menegur cucunya. “Heh, Bocah! Kau tidak senang ya, aku menanyai istrimu?” “Bukan begitu, Kek. Tapi_” “Tapi apa?!” Kakek memotong kalimat Alfreed. “Ya sudahlah, terserah kakek saja.” Terpaksa Alfreed mengalah. Tapi sebelum kakeknya kembali menagih jawaban Luisa, dia condongkan tubuhnya mendekat ke telinga wanita itu. “Aku percaya padamu. Tolong kau beri dia jawaban sebaik mungkin,” bisiknya yang sukses membuat bulu kuduk Luisa merinding. Karena terlalu tiba-tiba Alfreed berbisik, yang telampau dekat sampai bibirnya menyentuh telinga Luisa. ‘Oooh, astagaaa ...,’ batin Luisa tidak karuan. Ditariknya napas dalam berusaha tenang dari perasaan itu. “Kami bertemu tepatnya delapan tahun yang lalu, Kek. Saat itu aku masih berusia 18 tahun. Dan persis seperti yang Alfreed bilang, kami be
Lanjut makan malam, Luisa menyuap sisa makanan di piringnya yang masih banyak lantaran diminta untuk bercerita tadi. Baru tiga suap dia makan, tiba-tiba Luisa merasa panas, serasa ada gelenyar aneh di tubuhnya. ‘Uuh, kenapa aku merasa tubuhku panas?’ batinnya. Luisa mencoba abai, melanjutkan makan seolah dia baik-baik saja. Akan tetapi reaksi tubuh tidak bisa berbohong. Tipis-tipis ada gerakan yang tanpa bisa dikontrol, yang dia lakukan. Hal itu justru menarik perhatian Kakek Scott. “Nak, apa kau sakit?” Kakek melihat keringat sebesar bulir jagung di dahinya. “T-tidak, Kek. Aku ....” Luisa tak merasa badannya sakit, hanya saja dia merasa sedikit tidak nyaman sekarang. “Sepertinya aku ingin mandi sekarang,” ucapnya kemudian. “Mandi? Sekarang juga?” Sesungguhnya tidak masalah Luisa ingin mandi kapanpun, tapi saat ini kan mereka masih sedang makan malam. Kenapa pula dia jadi ingin mandi? Maka wajar kalau kakek Scott bertanya heran. Alfred pun sama herannya, tapi di
Alfreed mengerutkan dahi. Ibarat suara, turun satu oktaf ketegangan yang semula sudah memuncak. Ditatapnya Luisa lekat, menunggu penjelasan. “Aku tidak pernah berimajinasi apapun,” jawab Luisa jujur. Sejak nenek Angel meninggal, hidupnya terus disibukkan dengan penderitaan. ‘Cih, pembohong! Aku yakin kau pasti malu mengakuinya! Bahkan Jenifer Lopez pun tak sanggup menolak barang milikku!’ yakin Alfreed dalam hati. Pria dengan kepercayaan diri setara Dewa itu sangat yakin kalau barangnya adalah yang terbaik dari segala jenis barang yang tercipta di dunia. “Ini yang pertama dan nyata,” lanjut Luisa yang entah keberanian dari mana kembali menyentuh barang Alfreed tanpa ragu. ‘Damn it! Ternyata kau sengaja menggodaku!’ Menyeringai senyum Alfreed jadinya. Kekesalannya tadi langsung menemukan penawar. Dia tatap Luisa persis seperti serigala yang siap memangsa. Tak lagi ingin buang waktu, Alfreed langsung pada intinya. Dia pertemukan kedua benda yang sejak tadi sudah sama-sama be
‘Well, finally she knows . Mau tidak mau dia memang harus tahu siapa aku sebenarnya,’ batin Alfreed. Dia yakin sekali Luisa akhirnya bisa menebak kalau sesungguhnya dia adalah Tuan Muda kaya raya penerus Scott Corp. “Kau menjual ginjalmu, ya?!” Mengejutkan, tebakan Luisa justru lari begitu jauh. Entah pikiran dari mana dia bisa menebak Alfreed menjual ginjalnya. Beradu rahang Alfreed jadinya. ‘Terlampau polos atau bodoh sih, dia ini!’ “Bukan, tapi ginjal Paul,” jawab Alfreed asal tapi sukses membuat Luisa menelan ludah ketakutan. “Sudah, stop berpikir yang macam-macam. Aku hanya salah lihat, kupikir harganya 150 dolar,” lanjut Alfreed lagi. Tersenyum lega, Luisa pada akhirnya memilih pakaian dalam yang harganya jauh lebih murah. Sesuai perintah Alfreed, dia memesan 10 pasang yang hanya memakan biaya 500 dolar. Bahkan tidak melebihi harga sepasang kaos kaki Alfreed. ‘Terbuat dari apa pakaian dalam yang dia pilih itu?’ Heran Alfreed dibuatnya. Beres dengan pesanan, A
Peluru Jose meleset seiring dengan tubuhnya yang sedikit limbung, tapi bukan berarti tidak mengenai siapapun. Tepat di sisi kiri, salah seorang pengawal sewaan Alfreed yang sudah tertembak lengannya, kini mati di tempat. Paul yang mengintip di balik tiang, shock , bahkan hampir lepas matanya lantaran terkejut. Pengawal yang mati itu bukan hendak melindungi ataupun menyerang, dia justru sedang bersembunyi yang sialnya malah terkena peluru meleset dari pistol Jose. “Oh Tuhan ... Bagaimana ini?? Bersembunyi pun tidak ada jaminan untuk selamat,” meringis Paul di tempat persembunyiannya. Lagi pria itu terkencing celana, ketakutan. Persetan dengan bau ompol, bisa selamat saja sudah anugerah terindah dari Yang Kuasa, pikirnya. Melihat pengawalnya sudah tergeletak tak bernyawa, Alfreed reflek mengarahkan pistolnya pada Jose. Dia tidak akan mundur menghadapi sang pemimpin El Salvador itu. Apalagi saat melihat tubuh Jose yang jelas sekali tampak tidak sehat, Alfreed merasa ada kesempatan
“Tuan ... Ini terlalu beresiko,” ucap Andres di dalam mobil.Perintah Tuan Muda Jose yang menyuruhnya mengeluarkan peluru dari lengan hanya menggunakan morfin, sebagai pengganti obat bius, membuat Andres berat melakukan itu.Pasalnya jika menggunakan obat tersebut dalam bentuk pil bisa melebihi dosis jika dipakai sebagai penghilang nyeri bedah kecil. Hal ini cukup berbahaya sebab efeknya tidak main-main. Terutama untuk Jose yang sesungguhnya tidak bisa menggunakan narkotika jenis itu.Senyawa di dalam morfin memicu reaksi tidak biasa di tubuh Jose. Dia akan muntah-muntah, gemetar, sekujur tubuh kedinginan bahkan napasnya pun jadi melambat. Itulah kenapa Andres begitu berat melaksanakan perintah tuan mudanya. Dia tidak mau Jose sampai gagal napas yang beresiko kematian.“Kau lebih ingin lenganku di amputasi?!” sentak Jose kesal. Sudah berulang kali diperintahkan malah berulang kali juga orang kepercayaannya itu mengeluh.“Tapi Tuan, resikonya ...”“Aku yang tanggung! Cepat lakukan, at
Panik, Alfred tak sadar meremas tangan Luisa. “Aduh,” meringis, Luisa mengaduh kesakitan. Suara wanita itu membuat Alfred tersadar dari kepanikannya. “Sekarang masih ada waktu, ayo ikutlah denganku.” Tak lagi menarik tangan Luisa, Alfreed melepaskannya. Namun tatapan matanya begitu teduh membuat Luisa merasa terhipnotis. Nyaris saja Luisa mengangguk, namun dia teringat dengan ayahnya yang masih belum membaik. Sangat tidak mungkin dia meninggalkan sang ayah dengan Jose.“Aku tidak bisa, kau cepatlah pergi, sebelum dia sampai ke kamar ini.” Maksud Luisa adalah Jose. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Alfreed kalau sampai Jose menemukannya. “Cepat pergi! Aku akan urus masalahku di sini.” Mendorong Alfred, Luisa menitikkan air mata. Jika saja ayahnya tidak sedang butuh pengobatan, Luisa akan dengan senang hati ikut bersama pria yang datang bertaruh nyawa menjemputnya itu. Sementara di luar, Paul yang tadinya mengecek satu persatu kamar, seketika menghentikan langka
“Rencana yang kita susun sudah matang, Tuan. Tiga penembak jitu juga sudah berangkat ke posisinya. Sekarang saatnya kita bergerak.” Alfreed mengangguk. Tak salah dia memilih Paul sebagai asistennya, cukup pintar dan penuh strategi. Tapi hal ini memang sudah menjadi tanggung jawab utamanya, mengingat dia adalah orang yang berperan penting mempertemukan Alfreed dengan Luisa. Bergerak dengan jalan kaki melewati pepohonan, Alfreed, Paul dan tujuh orang pengawal menuju mansion Acapulco. Baru setengah perjalanan, Alfreed sudah protes. “Damn! Kau tidak bilang kalau perjalanannya seperti ini, Paul! Berapa lama lagi kita sampai?” Bukan jauhnya perjalanan yang membuat Alfreed angkat bicara, tapi medannya sungguh menguji nyali. Masuk ke dalam hutan yang penuh pepohonan dengan rute naik turun, persis seperti berpetualang mendaki gunung. Belum lagi suara burung hantu yang lumayan menakutkan layaknya film horor. Bagi Alfreed yang lahir dan besar di ibukota, tentu hal seperti itu terasa
Paul refleks menjauhkan ponselnya dari telinga. Teriakkan Alfreed seperti mau memecahkan indra pendengarannya.‘Haduuuh, aku salah bicara. Belum apa-apa telingaku sudah mau berdarah karena teriakannya!’ gerutu Paul.“Tenang, Tuan, tenang ... Jangan emosi dulu. Tolong beri saya waktu satu jam lagi untuk tahu di mana lokasi mereka yang sekarang.” Paul belum menemukan info yang akurat. Tidak adanya Jose di markas besar El Salvador, mengharuskan dia berbaur lebih lama di coffee shop yang biasa didatangi para anggota kelompok berbahaya itu.“Aku sudah menunggumu dua jam, Paul!” Alfreed yang sudah tidak sabar langsung menyentak. Kepalanya serasa mendidih membayangkan Jose terus menghabiskan waktu bersama Luisa.Tapi apapun ceritanya, Paul adalah rakyat sipil biasa. Dia bukan FBI atau CIA, jadi mana mungkin secepat kilat bisa mendapatkan informasi terkait keberadaan Luisa.“Tuan, di sini pun saya bertaruh nyawa untuk mencari tahu di mana keberadaan Nona Luisa. Jadi saya mohon, tolong bersab
Paul serasa mendengar bunyi gong tepat di telinganya. Matanya melotot tapi kepalanya justru pusing. Kaget dan takut muncul di saat nyawa baru menempel di jasad, sungguh keadaan yang menyiksa.“Tuan tidak salah?!” Lagi kalimat terbodoh lolos dari mulut Paul. “Kau?!” Alfred sampai bangkit dari sofa, melotot dan menunjuk wajah Paul. Ingin marah, tapi Alfreed akui perbuatannya kali ini memang agak sedikit bodoh. Jelas-jelas istrinya ada bersama pemimpin kartel berbahaya di Meksiko, tapi dia dengan entengnya menyuruh Paul menyewa hanya lima orang pengawal. Se-ahli apapun mereka, tetap saja akan kalah jika dibandingkan kekuatan El Savador. “Damn! Sialan! Semua ini gara-gara kau, Paul!” Merasa menemukan jalan buntu, Alfred akhirnya menyalahkan Paul, satu-satunya orang yang berperan penting atas hadirnya Luisa ke kehidupannya. Paul meringis, habislah hidupnya kalau sampai dia dipukul seperti kemarin. Bahkan luka di sudut bibirnya masih belum sembuh, Paul merabanya. “Maaf, Tuan ... Tolon
Perlakuan Jose begitu manis terhadap Luisa. Hingga wanita itu pun sangat menyayangkan untuk melepas Jose dari pelukannya. Rasa hangat dari tubuh Jose jelas memberinya ketenangan. Dada bidang dan perut kotak-kotak yang dipenuhi tattoo, ternyata tak semenyeramkan itu. Justru lebih hangat dari selimut bula Domba yang ada di apartemen Alfreed.‘Alfreed?’ Luisa mengerjapkan matanya lagi. Jelas yang memeluknya adalah Jose, kenapa dia malah teringat pria dingin yang tak pernah ada kelembutan itu.“Lu ... Kau menyukai dadaku?”Pertanyaan Jose membuat Luisa tersadar kalau sejak tadi ternyata dia sudah berulang kali mengusap bagian paling menonjol di tubuh sang pemimpin El Salvador.“Eh, ehm ... Ini, tattoo-mu, gambar apa?” Demi menutupi malu Luisa sengaja menanyakan tentang tattoo.“Ayo, kita masuk, dulu. Anginnya semakin dingin. Aku ceritakan di dalam.” Menarik Luisa hingga keduanya duduk di atas ranjang, Jose lantas membuka kemejanya. Bertelanjang dada tepat di hadapan Luisa.‘Astagaaa ...’
“Dia hamil?” Terkejut Alfreed.Kakek Scott menghela napas panjang.“Entahlah ... Lebih baik aku pulang daripada mati berdiri menghadapimu. Kau memang cucu sialan! Tidak bisa membiarkan aku bahagia sebentar saja.” Kakek melangkah hendak pergi.“Kek, tunggu! Jawab dulu pertanyaanku, dia benar-benar hamil?” Alfreed sungguh penasaran. Jika yang dikatakan kakeknya benar, mana mungkin Alfreed membiarkan Luisa di Meksiko, bersama pemimpin kelompok mengerikan pula.Kakek Scott tak menghentikan langkahnya.“Huh, untuk apa kau tanya? Kan tadi kau yang tidak peduli.”“Dia istriku, Kek, maka aku harus tahu!” Alfreed kesal pertanyaannya tak kunjung dijawab sang kakek.Dan kakek langsung menghentikan langkah begitu mendengar kata istri dari mulut Alfreed.“Istri kau bilang? Baguslah, akhirnya kau sadar juga dia siapa.”“Lalu apa jawabannya? Jangan berbelit-belit, kek! Dia hamil atau tidak???” Makin geram Alfreed dibuat sang kakek.“Jadi begini ya, cucuku yang bodoh ... Kau adalah orang pertama yan
Jose melirik sepasang almond eyes yang berada tepat di sampingnya. Sesekali mata cantik itu terpejam, takut menyaksikan tontonan yang dianggap Jose seru, yang sedang terjadi di depannya. ‘Sepertinya aku salah. Tidak seharusnya aku mengajakmu menonton ini, Lu,’ batin Jose. Akhirnya Jose paham, bahwa Luisa memang tidak berubah. Dia tetap gadis kecil yang lembut, baik hati dan cengeng yang selalu mengadu dan memeluknya seperti saat mereka masih kecil dulu. Jadi mana mungkin Luisa tega melihat adegan penyiksaan Diana di hadapannya. “Lu, tadi kau menanyakan ayahmu ‘kan?” tanya Jose yang membuat fokus Luisa tak lagi pada Diana. “Iya. Di mana ayahku? Apa mereka tidak membawanya?” Jose tersenyum. “Ayo, ikut aku. Kita temui ayahmu.” Bangkit, Jose mengajak Luisa menemui ayahnya. Tak lupa dia membisikkan sesuatu pada Andres sebelum mereka pergi. “Lakukan apapun maumu asalkan mereka tidak terluka. Lalu lepaskan ketika sudah malam.” Jose mengajak Luisa naik ke lantai atas. Belok kanan, b