Share

Bab 2 Tersiksa Jiwa dan Raga

Tiga bulan berlalu, kehidupan pernikahan Clau berjalan di tempat. Tak pernah sekalipun Arjuna memerhatikan, menyayangi selayaknya suami kepada istri. Pria itu hanya memerlukan Clau ketika sisi primitifnya datang, saling bersatu berbagi peluh dan lenguhan. Tapi sayang tidak ada perasaan cinta tersemat ketika melakukannya.

Setiap bulan Clau harus merasakan kulitnya yang sakit tertusuk jarum suntik berisi cairan pencegah kehamilan. Tak hanya itu, ia pun menderita alergi khusus usai menerima obat, hingga mengkonsumsi banyak penawar agar dirinya terbebas dari penderitaan.

“Sebaiknya Nyonya diskusi dengan Tuan Caldwell menghentikan suntik KB sementara waktu dan melakukan program kehamilan. Saya bisa bantu menjelaskan.” Terang dokter sembari mencatat resep dan memberikannya kepada Clau.

Clau hanya tersenyum miris mendengar saran dokter, “Memiliki anak dariku? Aku tidak mau kelak anakku menderita karena ayahnya tidak menginginkan kehadirannya.” Batin Claudya teriris perih mengingat bagaimana Arjuna melarangnya hamil, bahkan hal itu tercatat dalam kontrak perjanjian.

Claudya pelan-pelan melangkah keluar dari ruangan Dokter Spesialis Kandungan. Ia diwajibkan memberi laporan kepada Givano –asisten pribadi Arjuna, sesuai perintah bahwa setiap kegiatan harus dalam pantauan. Menjadikan Clau bagai tawanan kendati suaminya jarang pulang ke griya tawang.

Arjuna lebih sering menghabiskan waktu di mansion utama ketimbang menemani Clau di penjara mewah. Menurut Clau sangat bagus, tanpa susah payah ia bisa menghindari pria kejam itu. Apalagi sudah satu minggu Arjuna tidak terlihat di kantor, menurut sumber terpercaya, Presiden Direktur tengah melakukan perjalanan bisnis selama 10 hari. Artinya selama itu Clau memiliki waktu bebas, tidak harus menjalani tugas menyiksa jiwa dan raga.

Ya, sudah 2 malam ini, Clau menginap di rumah sakit. Menemani ibunda tercinta, berbagi cerita membahagiakan. Bahkan merebahkan raga di sisi tubuh ringkih, bersandar pada bahu untuk memberinya kekuatan menjalani hidup.

“Ibu mau lagi buahnya? Biar aku kupas.” Tawar Clau menunjukkan jeruk manis di atas meja.

“Makasih Nak, kamu selalu perhatian.” Mengusap wajah Clau yang tampak kurus namun penampilannya jauh lebih anggun dan menawan.

“Pasti pekerjaan kamu di luar kota banyak, sampai lupa makan begini.” Sambung Bu Laras.

Beliau mengetahui betul perjuangan putri bungsunya mencari uang, rela dimutasi lintas daerah demi memiliki penghasilan berlipat ganda agar pengobatan berjalan lancar. Tentu saja semua yang disampaikan kebohongan belaka.

Tepat satu hari sebelum menikah, Claudya berucap dusta kepada ibunya. Beralasan dipindahtugaskan ke Kota lain, hingga jarang memiliki waktu luang menjenguk ke rumah sakit. Padahal tugas yang dimaksud melayani semua kebutuhan Arjuna di sangkar emas.

Clau tertawa sumbang menanggapi perhatian ibunya, menggenggam tangan hangat yang menenteramkan jiwa. “Ibu tidak perlu cemas, di sana banyak makanan enak. Bosnya loyal tapi galak.” Terkekeh pelan sembari memejamkan kedua mata menahan lajur bulir bening yang hampir menetes.

“Harus pintar jaga diri nak. Galak dalam pekerjaan tidak masalah, semua bos seperti itu.” Ucap Bu Laras, kini mengalihkan pandangan ke langit-langit ruangan.

“Ibu rindu kakakmu, sudah ada kabar dari Clara?” tanya Bu Laras, khawatir putri sulungnya tertimpa bencana. Sebab sudah lebih dari empat bulan tidak memberi kabar apalagi pulang. Semenjak Clara membawa kabur uang serta mobil pemberian Arjuna Caldwell.

“Belum bu, jangan terlalu dipikirkan. Sekarang lebih penting kesehatan ibu. Clau senang operasinya berjalan lancar.” Claudya membelai rambut putih wanita yang melahirkannya.

Mendadak suasana kamar berubah sendu. “Terima kasih nak, jasamu tak ternilai. Ibu berhutang budi.”

Clau menggelengkan kepala dengan cepat, menepis semua lalu berujar, “Jasa ibu jauh lebih banyak, terima kasih Bu. Clau mencintai Ibu dan hanya Ibu.”

Tiba-tiba suara dari perut cukup mengganggu percakapan Clau dan Bu Laras. Keduanya tertawa, terlalu larut melepas rindu, Clau melupakan mengisi perut.

“Aku ke kantin dulu ya Bu. Tidak apa ditinggal sendirian di sini?” Clau berdiri merapikan isi tas dan pakaian.

“Kamu makan yang banyak nak, jangan menghiraukan ibu.” Bu Laras tersenyum lebar menatap putrinya membalik badan menuju pintu keluar. Ada rasa kasihan melihat perubahan fisik Claudya, jelas sekali kalau putri bungsunya itu menderita tekanan batin.

Sepanjang selasar rumah sakit, Clau menebar senyum menjawab semua sapaan dari perawat dan petugas. Semenjak ruang rawat Laras dipindah ke presidential suite demi kenyamanan, Clau dan ibunya banyak menerima kebaikan teramat sangat terkait pelayanan.

Ia pun asyik bercengkerama di lobi, tak menghiraukan getar ponsel yang terus menerus bergerak dalam tas. Hingga seseorang menepuk bahunya dari belakang.

“Claudya?” panggil orang itu. Suara bass pria begitu jelas terdengar oleh Clau. Sontak ia menoleh, sedikit menurunkan pandangan dan tersenyum memberi hormat.

“Apa kabar? Lama tidak bertemu ya.” Pungkasnya mengulurkan tangan. Tapi Clau tidak menerima.

Bukan karena angkuh, tapi peraturan Arjuna pada lembar 1 poin 5. Claudya dilarang kontak fisik dengan pria lain. Meskipun Arjuna tidak ada di sini, tetapi mata-matanya tersebar mengikuti serta mengamati gerak-gerik Clau. Wanita cantik  ini tak ingin menyiram bensin pada bara api. Amarah Arjuna yang berkobar sanggup membakar siapa saja yang mencari masalah dengannya.

“Oh ayolah Claudya, ini bukan di kantor. Kita bisa berteman, tapi kalau di kantor, kamu wajib menghormati aku.” Tukas Andreas Lehman, seorang pengusaha terkenal rekan bisnis Arjuna.

Arjuna dan Andreas acap kali sering bertemu membicarakan proyek yang dijalani perusahaan. Pria tampan, mapan, dan diidolakan oleh kaum wanita. Seantero Swiss, terutama Kota Zurich mengenal siapa itu Arjuna Bryatta Kreshnik Eberly Caldwell dan Andreas Lehman.

Pria casanova itu pun lancang meraih tangan Clau, memaksa melakukan berjabat tangan. Disertai kedipan nakal dari sebelah mata Andreas, menyiratkan betapa mengagumi dan menginginkan wanita cantik salah satu pegawai Cwell Grup ini.

“Permisi Tuan.” Pamit Clau hendak mengisi perut ke kantin.

Dirinya memang belum beruntung, karena Andreas mencekalnya, membuat Clau tertahan lebih lama. Jujur kondisi ini sangat tak nyaman, pikirannya hanya satu, takut Arjuna mengetahui dan menghentikan pengiriman uang yang telah disepakati.

“Kamu mau ke mana?” tanya Andreas bersemangat menggoda gadis incaran.

“Saya mau ke kantin Tuan. Maaf tidak bisa menemani anda.” Clau berkelit, berusaha membebaskan diri.

Namun andrenalin Andreas semakin tertantang menaklukan wanita yang selalu menolak. “Kita makan malam bersama, di cafe sekitar sini. Bagaimana?”

Clau membuang muka dan menolaknya dengan berkata, “Tidak bisa, Ibu saya sedang sakit.”

“Wah kalau begitu bagus. Aku bisa mengenal ibumu. Tapi sekarang kita makan dulu. Aku traktir.” Paksa Andreas tak memedulikan raut wajah gelisah Claudya. Terpenting tujuan utama mendekati dan mempersunting Clau berhasil.

“Ah … Tuan jangan, lepas!” sentak Claudya, sebab Andreas lancang menarik pinggulnya.

“Tuan, saya bisa teriak atau memukul anda.” Ancamnya tidak gentar, lebih baik mencari masalah dengan Andreas daripada Arjuna.

“Silakan Claudya, aku tidak melakukan apapun. Ini hal wajar bagi seorang pria memikat wanita. Salahnya di mana?” Andreas menyeringai.

Lidah Clau begitu kelu, tidak kuasa mengatakan bahwa dirinya sudah menikah. Merupakan istri dari Arjuna Caldwell, tapi percuma saja sebab semua menjadi rahasia yang terkubur dalam. Sungguh rasanya Clau ingin melayangkan tinju kepada pria petualang cinta ini. Jangan disangka ia mudah tergoda, karena manusia seperti Andreas sangat dihindari olehnya.

“Aku tahu biaya rumah sakit di sini mahal. Kamu cukup menjadi istriku, tidak perlu bekerja lagi di Cwell Group. Mau?” tawaran berbisa keluar dari bibir manis Andreas.

“Terima kasih, tapi saya tidak tertarik sama sekali. Saya bukan wanita perebut suami orang.” Tanggapan Clau memukul mundur Andreas.

Belitan tangan pada pinggulnya pun terlepas karena keberanian Claudya melawan Andreas. Tanpa keduanya sadari sepasang manik abu-abu mengamati dari luar pintu kaca. Orang itu menggeram, rahang tegasnya berkedut, otot-otot pada leher menegang, kedua tangannya mengepal dengan kuku jari menancap kuat pada telapak tangan. Melangkah mantap memasuki rumah sakit, hendak menunjukkan kekuasaan terhadap wanita cantik bermata coklat di dalam sana.

“Claudya?” intonasi tegas, dingin, menusuk gendang telinga sangat akrab bagi kedua orang itu.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fitria Pangumpia
ceritanya sedih
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status