Share

Bab 3. Tidak Ada Jalan Keluar

Chiara mendudukkan tubuhnya di kursi ruang tamu dengan lemas. Pagi ini ia berkeliling mencari lowongan pekerjaan, tapi tak ada satu pun yang ia dapatkan. Setelah lelah mencari, akhirnya ia memutuskan untuk pulang dengan tangan hampa.

"Bagaimana ini?" desahnya berat. Ia tak tahu lagi harus mencari ke mana uang lima ratus ribu dolar. Mencari pekerjaan saja sesulit ini, diterima pun gajinya tak akan bisa membayar uang sebanyak itu.

Chiara juga tak memiliki saudara ataupun sahabat yang bisa ia mintai tolong untuk meminjamkan uang padanya. Semuanya telah pergi meninggalkannya sejak usaha ayahnya bangkrut lima belas tahun yang lalu. Dan kematian ayahnya satu tahun setelahnya.

Orang kepercayaan keluarga Chiara telah berkhianat dengan membawa semua uang hasil penjualan. Ayah Chiara bingung harus membayar karyawannya dengan apa, hingga ia mencari pinjaman ke banyak orang. Bukannya membaik, keadaan usahanya semakin buruk. Ayah Chiara tenggelam dalam depresi yang berkepanjangan. Sampai suatu ketika ayah Chiara mengajak istrinya serta Chiara untuk berlibur. Tapi, pria paruh baya itu justru menabrakkan mobilnya ke pohon besar di pinggir jalan. Dia meninggal di tempat, sementara Chiara selamat, dan istrinya koma sampai detik ini.

Chiara menarik napas dengan berat. Setiap kali ia mengingatnya dadanya begitu sesak. Seharusnya ia tidak selamat. Seharusnya ia juga mati. Agar ia tak perlu lagi menanggung beban hidup yang sulit ini.

"Apa Daddy bahagia di sana? Daddy tidak merindukan Mommy dan Chiara?" Chiara mendekap mulutnya dan mulai terisak. Hingga bunyi ponselnya mengejutkannya.

Chiara terperanjat dan buru-buru mengambil ponsel yang ada di sisinya. Ia mengernyit melihat nomor pihak rumah sakit menghubunginya.

Dengan cepat Chiara mengusap air matanya. Ia berdeham sebelum menjawab telepon, memastikan suaranya tak terdengar parau.

"Halo," sapa Chiara ramah. Ia mendengarkan sahutan dari ujung telepon sambil mengangguk. "Bagaimana keadaan ibu saya?"

Pihak rumah sakit mulai menjelaskan kondisi ibunya. "Ibu Anda masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dan sesuai keputusan kepala rumah sakit, jika Anda tidak segera melunasi biaya rumah sakit sampai minggu ini. Semua alat medis di tubuh ibu Anda akan dilepas, dan beliau akan dipindahkan ke kamar biasa yang tidak memiliki fasilitas lengkap."

Chiara mengerjap cepat. "Bukannya jatuh temponya masih akhir bulan? Kenapa mendadak sekali? Saya belum memiliki uang untuk membayarnya. Bisa Anda memberikan tenggang waktu lagi? Saya janji akan membayarnya tepat waktu," jawabnya memohon dengan sangat.

"Maaf. Keputusan kepala rumah sakit tidak bisa diganggu gugat. Silahkan Anda ke rumah sakit untuk melunasi biayanya. Terima kasih."

"Tapi...." Sebelum Chiara sempat menjawab. Sambungan telepon sudah diputus secara sepihak.

"Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?" Chiara mengacak rambutnya frustrasi. Matanya berkaca-kaca. Tangisannya tak bisa dihindari. Ia kini meringkuk di kursi sambil terisak. "Aku harus bagaimana? tanyanya lagi di tengah isakannya.

Sementara di tempat lain, Lucas dan Albert terlihat sedang berjalan tegap menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung rumah sakit.

"Apa kau yakin ini akan berhasil, Tuan?" tanya Albert dilingkupi rasa ragu. Ia menghentikan langkahnya sebelum berhasil mencapai mobilnya.

"Kau meragukanku?" Lucas balik bertanya dengan kedua alis berkerut samar. "Dia pasti akan berubah pikiran."

Lucas menarik napas dan melepaskannya dengan tenang. Tidak ada lagi yang bisa menolak keinginannya. Termasuk gadis itu. Ia sudah mencari tahu semua tentangnya, dan sesuatu yang membuat gadis itu tunduk padanya. Namun, ada perasaan ganjil yang kini meresap di dada Lucas.

"Albert..." Lucas menoleh pada pengawalnya sekaligus sekretarisnya itu.

"Iya, Tuan?"

"Cari tahu lebih dalam lagi tentang kecelakaan yang menimpa keluarga Chiara lima belas tahun lalu. Kemudian laporkan semuanya padaku," titah Lucas yang dijawab anggukan oleh Albert.

"Baik, Tuan."

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status