Share

2

Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.

“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.

Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.

Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.

“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”

“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Vanya bercanda yang disambut cekikikan kecil orangtua di sana.

Jiraya sengaja melirik Angelo ketika meneguk air putih di gelas. Auranya pendiam, santai, namun jika diperhatikan—Jira mengerjap pelan ketika Angelo menyadari tatapannya lewat maa hazel.

Intimidatif.

Angelo menatapnya tanpa ekspresi khusus. Tidak kaku, tidak hangat, dan tidak ramah. Hanya tatapan santai seperti biasa.Harus dia akui jika kemampuan Angelo dalam berbicara memang mumpuni. Contohnya, ketika Mama dan para orangtua di sana memberinya banyak pertanyaan, dia dapa membagi obrolan itu dengan baik dan santun. Well manner, seperti kata Mama. Santai, sedikit mirip dengannya. Tidak suka terlalu memuji dan berbasa-basi aneh, apalagi bermulut manis. Namun dengan sekali hentakan sudah pandai mengambil hati kedua orangtuanya. Ow, amazed.

Angelo yang pertama kali memutuskan pandangan dan memotong beef-steak dengan gerakan elegan. Jira menunduk memandang salmonnya.

Mungkin akan sulit menghadapi pria seperti Angelo, tapi dia harus mencoba membuat kesepakatan bersama. Bagaimana pun caranya. Meski mati-matian karena chemistry dari dua keluarga ini sudah cukup kuat.

Malam ini Jira sengaja memberikan penampilan terbaiknya untuk menghadapi sang calon mertua seolah-olah dia sangat menanti hal ini terjadi. Namun, justru ini hal yang baik bukan? Semakin banyak orang-orang yang terjerat dalam sandiwara yang akan dibuatnya nanti.

Senyuman lebar terpaksa Jira uraikan secara natural tepat ketika Tante Vanya memeluknya saat acara makan malam sudah selesai. Puji-pujian terlontar. “Tante seneng banget bisa ketemu Jira. Nggak nyangka kamu bisa makin secantik ini dari yang terakhir kita ketemy,” pujinya.

“Terima kasih sudah berkenan datang, Tante.”

Vanya masih memundurkan diri demi memandangnya dengan penuh kekaguman seolah dirinya adalah satwa langka. Wanita itu berdehem halus seraya melirik pada tiga pria dewasa yang berdiri di ruang tamu, mengobrol entah tentang apa. “Jira, kamu sudah berkenalan sama Angelo? Dia anak tunggal tante dan om.”

“Sudah, Tante.” Atau mungkin belum? Well, sebenarnya ‘perkenalan’ mereka dua jam yang lalu tidak pantas disebut kenalan. Perkenalan macam apa yang hanya diwakilkan oleh kedua orangtua tanpa embel-embel jabat tangan atau basa-basi? Hanya sebatas anggukan kecil satu sama lain.

Senyuman senang tertoreh di bibir Tante Vanya. “Angelo itu … walau dia mungkin sedikit cuek, pasti karena dia malu. Maklum, tante belum pernah liat dia bawa perempuan jadi tante pikir itu karena dia ngak pernah berpacaran jadinya dia kaku.” Tangannya kemudian menggenggam kedua tangan Jira, seolah sedang memberi harapan. “Tapi dia anak yang baik, tante berani jamin. Tante harap kamu bisa mengobrol sama dia—dan tante akan bantu bicara.”

Jira mengerjap. “Baik, Tante.”

Lima menit kemudian Tante Vanya masih berceloteh tentang keunggulan putra tunggalnya—lebih seperti mempromosikan, mungkin. Tentang tampan, pekerja keras, baik, dan mapan, tentu saja. “Kalian sama-sama berkarir. Bukan masalah kalau kalian ingin beradaptasi dulu untuk memulai hubungan.” Tante Vanya tertawa kecil seraya meremas pelan tangannya yang bebas seraya melirik Angelo. “Jiraya?”

“Iya, tante?”

Tante Vanya menghela napas, memberikan senyuman lembut pada Jira. “Tante tau pasti kamu sudah diberi tahu oleh orangtua kamu masalah … kamu dan Angelo. Maaf jika kami—tante dan om juga orangtua kamu terkesan memaksa dengan cara tiba-tiba. Kami sangat mengerti kalau salah satu di antara kaian pasti tidak setuju. Kami tahu kalau pasti ada ketidakcocokan, tapi itu bisa dipertimbangkan karena di dalam dunia ini tidak ada pasangan yang cocok, melainkan saling mengerti. Ini nggak menyangkut bisnis sama sekali, tapi pure kami ingin mendekatkan kalian karena kami tahu bahwa sama-sama mempunyai anak tunggal yang masih lajang—dan kebetulan kita saing mengenal dengan baik.”

Jira masih mendengarkan dengan seksama meski dia sendiri gata ingin segera pergi.

“Suatu saat, Jira, kalau Angelo menyakiti kamu, cukup kamu bilang maka kami akan berpihak pada kamu. Bagaimana, Jira?”

“Saya mengerti, Tante.”

Tante Vanya mengusap pipinya layaknya seorang ibu yang penuh kasih sayang dan terselip harapan. “Kami sadar bahwa mungkin kami sangat kolot yang masih saja menjodoh-jodohkan anaknya. Ini kami lakukan, terutama saya yang memberi ini, adalah karena saya percaya jika Angelo dijodohkan dengan wanita baik-baik dari keluarga yang sangat baik. Untuk Angelo, saya pastikan dia adalah pria yang baik untuk kamu.”

Jira hanya diam menanggapi dengan senyuman tipis, menatap Tante Vanya. Baru satu hari mengobrol, Tante vanya langsung menyayanginya. Semakin berat karena ada dua keluarga yang mengharapkan kebersamaan mereka, bukan?

Sekali lagi, Jira tahu tidak ada jalan mundur selain dia sendiri yang harus berbicara pada Angelo.

“Saya mengerti, Tante. Kami—terutama saya tidak bisa menjanjikan banyak hal. Semuanya hanya mengikuti seiring berjalannya waktu,” ujarnya dengan senyuman tenang.

“Terima kasih, Jira. Satu lagi, tante tidak akan memaksa kapan kalian akan menikah karena tante ingin kalian bisa beradaptasi.”

Beberapa menit terlewati dan perbincangan hangat itu diakhiri dengan pamit dari rumah Jira. Meninggalkan Jiraya yang masih terpaku dalam pikirannya sendiri. Tidurnya bahkan tidak tenang. Hal pertama yang ia pikirkan adalah ia tidak terlalu suka beradaptasi dengan orang baru. Hal kedua, dia mempunyai kekasih, Samuel.

Malam ini, seharusnya ia bersama Sam yang baru saja pulang dari Washington DC. Mereka akan menikmati N*****x, bermain game, atau cuddle, ditemani sparkling wine di atas balkon apartemen Sam. Namun yang ia lakukan malam ini justru menyambut kedatangan’jodohnya’ dengan beralasan bahwa dia sedang merevisi naskah para penulis.

Diraihnya ponsel dan mendapati puluhan panggilan tak terjawab dan spam chat tak berujung. Ia menghela napas lelah. Dibanding menjawab, Jira memilih bangkit dari sana dan membuka laptop. Lebih baik menyiapkan jadwal meeting-nya besok bersama para redaksi dan produser film dalam rangka adaptasi film daro novel best seller perusahaan Jira. Tentu seraya memikirkan rencana pernikahannya dengan Angelo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status