Share

3

"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"

Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.

Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak diragukan. Mereka tidak asal pilih pemeran film atau cerita yang akan diangkat.

Dan MagodaMedia beruntung sekarang!

"Ini Vague Entertaint, loh mbak! Ya ampun! Aku mau nangis aja rasanya. Tuh, mbak, sekarang aja tangan aku gemeteran bangeeeet," cicit Dinka. Orang-orang mungkin akan memandangnya berlebihan, tapi sebenarnya hal ini adalah sebuah prestasi!

Mereka kini sedang di dalam ruangan Pak Gerald, sang pemimpin redaksi dari MagodaMedia. Tidak hentinya Dinka berkaca untuk memeirksa penampilannya sendiri.

"Keep calm, Din. Kamu bakal ketemu sama orang-orang hebat, right?" Pak Gerald memberinya ketenangan.

Dinka otomatis langsung menarik napas lalu membuangnya, begitu terus secara berulang. "Yes, keep calm, Din," gumam Dinka. "Btw mbak, makasih banget loh udah dukung saya dari awal novel ini diangkat. Cuma mbak yang mau ngajarin saya konsep baru tanpa menghilangkan tujuan sebenarnya isi novel saya."

"Ya, lagian ini juga pekerjaan saya, Din. Mungkin, cuma kamu yang lebih cepat paham dan enak diatur daripada beberapa yang lain."

Dinka tersenyum senang. Hampir saja Dinka kelepasan menggenggam tangan Jira jika tidak ingat kalau Jira itu punya aura yang selalu membatasi dirinya dengan orang lain. "Seneng banget dipuji sama Mbak Jira, hehe. Anyway, mbak Jira hari ini cantik banget sumpah aku nggak bohong," greget Dinka.

Padahal hari ini Jira hanya mengenakan potongan dress formal tanpa lengan beserta blazer hitam. Rambutnya tergerai rapi tanpa hiasan. Riasannya juga natural look seperti biasa namun tetap percaya diri.

"Thanks. Padahal ini dandanan aku yang paling sederhana."

Dinka mengernyit kagum. "Mbak, sederhananya mbak Jira aja gini. Apalagi yang mewahnya, my God," pujinya tak henti. "Oh ya, Mbak, abis meeting kita makan-makan cantik yuk. Tenang, hari ini aku yang traktir."

Jira tersenyum tipis. "Makasih tawarannya, Din. Tapi aku lagi nggak bisa hari ini."

Meski agak kecewa, namun Dinka tetap mempertahankan senyum sedihnya. "Yah ... nggak apa-apa, Mbak. Next time kita harus lunch bareng ya, Mbak."

Pintu ruangan yang terbuat dari kaca itu terketuk pelan. Tidak lama kemudian terbuka menampakkan wajah Pak Gerald yang penuh rona kebahagiaan di sana. "Jira, Dinka, ayo ke ruang meeting. Mereka sudah menunggu semua di sana."

Dinka bergerak gelisah namun penuh euforia. "Doain saya nggak gugup ya, pak!"

"Calm, Din. This's your time, okay? Let it be smoothly. Semangat!"

Mereka bertiga berjalan beriringan menuju ruang meeting di lantai empat. Saat pintu terbuka, hawa dingin yang diiringi obrolan kecil menyambut mereka. Sudah ada beberapa produser dan tim dari VagueEntertaint , serta tim redaksi MagodaMedia yang memang sudah stand by duduk di sana. Bagi Dinka mungkin ini layaknya es yang mencekam seluruh tubuhnya. Tapi Jira tetap tenang di atas pijakannya. Berjalan anggun, mengulas senyuman formal pada mereka yang menyapa. Memang hal seperti ini sudah biasa baginya. Orang besar atau biasa semuanya sama saja di matanya.

"Nah, ini ibu Jiraya Pramesti. Dia salah satu editor penting di MagodaMedia dan editor dari Dinka Gustiani," kelakar Pak Gerald pada orang-orang yang ada di meja besar mewah tersebut.

Mereka lalu menyapa dua wanita itu. Hampir seluruh pria di sana tertarik dan enggan berpaling dari wajah dingin Jira. Matanya seolah menjadi magnet kuat di sini yang membuat orang ain segan, tapi enggan melepas pandangan.

"Tunggu beberapa menit lagi ya pak. Kami sedang menunggu atasan kami. Tadi pagi beliau sedang menjadi pemateri di seminar," ucap Pak Leo—seorang direktur Vague Entertaint.

"No prob, pak. Kami mengerti," sahut Pak Gerald tenang.

Tidak sampai 5 menit, pintu kaca tersebut terbuka lebar diiringi beberapa orang yang masuk. "Mohon maaf, Pak Gerald atas keterlambatan saya." Pak Gerald lalu berdiri untuk menjabat tangan mereka satu-persatu dengan senyuman hangat.

Kebetulan bagaimana yang lagi-lagi menghampiri Jira? Ketika yang dijabat adalah seorang pria yang baru tadi malam ditemuinya di ruang makannya. 

"Tidak masalah bagi kami. Silakan duduk, Pak Angelo."

Bisa dirasakan oleh Jira jika Dinka sudah gelisah di tempat duduk. "Oh my Lord..."  bisik Dinka penuh keterpanaan menatap Angelo.

Dari awal pria itu berjalan masuk, auranya memang tak dapat dibohongi. Dia penuh kharisma dan elegan. Matanya tak sengaja melirik Jira yang hanya diam tenang menatapnya. Sebelum Angelo duduk, mereka menyempatkan mengulas senyum tipis. Sebagai bentuk keformalan.

Semuanya berjalan dengan baik meski beberapa kali Dinka salah tingkah dan gugup sendiri. Mereka—tim Vague Entertaint justru tidak kaku, malah terkesan santai dan asik. Mungkin bukan itu faktornya. Lihat saja ketika Angelo menatap Dinka, wanita itu langsung keringat dingin.

"Novel Paradoks milik Dinka memang best seller dua bulan terakhir. Hampir 50 toko buku di seluruh Indonesia meminta cetak ulang karena larisnya buku ini," kelakar salah satu tim redaksi MagodaMedia. “Ketika tim Pak Elgar menghubungi tim kami untuk membawa buku ini ke dalam film, saya senang bukan main. Karena jauh dari ekspetasi Dinka sendiri dan kami, buku ini masih belum matang dalam segi alur untuk diangkat ke dalam layar lebar. Apalagi bergenre fantasy.”

Ergal, tim Angelo yang berkisar 26 tahun itu mengangguk antusias. "Kebetulan banget saya salah satu pembaca kamu. Saya tertarik apalagi yang adegan bagian Kanina dan Kenandra harus bertarung di dalam dunia game. Semuanya terasa nyata persis kayak waktu saya lagi nonton fiksi Saya kagum sama intermezzo kamu." Dengan penuh semangat, Elgar mencoba membedah sedikit isi buku Dinka. “Tapi keputusan tetap ada di tangan Pak Angelo.”

Dinka tersenyum haru dan bahagia. Bagaimana mata itu menatap Elgar yang terus memujinya.

Dan... pria itu tidak kalah tampan dari Angelo...

Rapat itu berakhir diakhiri dengan Angelo yang berbicara. "Kamu bisa kirim sinopsis kamu ke email VagueEntertaint. Karena meski karya kamu banyak peminat, saya juga harus banyak memilih dan mempertimbangkan tawaran dari Elgar untuk kamu," jelas Angelo. Bahasa tubuhnya tidak kaku dan justru membuat orang terkesima. “Pengangkatan sebuah buku ke dalam layar lebar itu penuh pertimbangan yang matang karena tentu saja kita akan buat dalam skala besar.”

"Siap, Pak Angelo!" Dinka tersenyum meyakinkan. "Jika bapak bersedia menerima naskah saya, maka saya akan usahakan script yang terbaik untuk proses pembuatan filmnya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin."

Pak Gerald menukas. "Dinka akan dibantu oleh editor terbaik kami, Bu Jiraya. Perusahaan kami memang tidak salah memilih Bu Jira," Pak Gerald tertawa bangga. Terlihat binar kebanggan di matanya ketika menatap Jira.

Jiraya tersenyum anggun. "Kerjasama kita akan ditentukan oleh Pak Angelo sendiri. Kami hanya menunggu keputusan Bapak dan menyiapkan yang terbaik bersama Tim Vague Enterteint. Sebagai editor Dinka, kami mencoba melakukan yang terbaik selama proses script writing dibuat.” Para klien mengangguk setuju. Sementara Jira menatap Angelo yang sama menatapnya dari seberang meja dengan penuh penilaian. Siapa pun tidak ada yang tahu jika atmosfir dingin sedang berlalu-lalang. Sesaat Jira menyesal karena meneytujui proyek Dinka karena jika saja dia tahu hal ini berhubungan dengan ‘calon suaminya’, maka jelas Jira akan menolak. Tapi mungkin, ini akan menjadi jalan bagi Jira untuk memulai permainan sandiwara.

Satu jam meeting selesai. Jiraya sengaja menunggu di sana dan menjadi orang terakhir yang akan keluar dari ruang meeting itu. Seperti diamini saja oleh Angelo, pria itu seolah tahu Jira menunggunya. Pertemuan mereka dimulai dari sorot mata masing-masing.

..

Vanila latte satu, less sugar.” Jiraya melirik pada pria yang duduk santai di depannya. “Ada yang mau dipesan?”

Angelo menggeleng singkat. Hanya menatap lurus pada Jira yang menyerahkan pesanannya pada barista di sana. Mereka duduk tenang tanpa ada yang berniat membuka sepatah kata di pertemuan kedua mereka. Jika memang Angelo belum juga memulai, maka Jira yang akan mengambil alih.

“Langsung ke intinya saja. Kamu pasti juga nggak mau kalau perjodohan ini ada, ‘kan?” Jira langsung menandas tanpa basa-basi. Matanya menyorot tenang pada kelam tajam milik Angelo.

“Intinya?”

“Kita harus segera menikah.”

Angelo nyaris tertawa dalam diamnya, tertawa meledek lebih tepat. Garis wajahnya tidak serius. “Jelasin rencana lo.”

Dengan hati-hati, Jiraya mencoba menjelaskan. “Kita harus segera menikah. Dalam waktu satu bulan, kita urus perceraian—

“Tunggu.” Angelo segera memotong. Dia nyaris tidak percaya jika wanita yang dibangga-banggakan oleh ibunya ini memiliki pemikiran seperti ini. “Pernikahan satu bulan dan lo minta cerai? Mending nggak usah nikah sekalian. Mau taruh dimana muka orangtua kita?”

Sebagai pria dewasa yang semasa hidupnya—bahkan nyaris sepuluh tahun tidak memiliki pasangan, kerap kali ia menggendong tuntutan orangtuanya untuk segera memiliki pasangan. Hal ini didasari karena orangtua mereka yang bingung ketika banyak kolega penting yang menanyakan masalah pasangan anak mereka. Angelo mungkin bisa bodoamat dan melakukan apapun sesuka hati, tapi dia juga memikirkan orangtuanya.

“Kita bisa buat drama.” Jira menyandarkan tangannya di atas meja. Menjelaskan rencananya dengan lugas meski mencoba sedang tidak gentar dengan tatapan meremehkan Angelo. “Setelah satu bulan, kita bisa bikin drama. Entah kamu yang tiba-tiba menghamili orang lain atau aku yang akan berselingkuh. Setelahnya kita bisa jalanin kehidupan masing-masing layaknya orang asing.”

“Nggak waras.” Angelo mencibir. Diraihnya sebatang rokok dan dinyalakan dengan pemantik. Mengisap kuat sampai keningnya berkerut lalu menghembuskan asap tebal itu. “Gue nggak bakal ngerusak citra gue sendiri.”

Jira mencibir dalam hati. Jadi ini yang disebut ibunya sebagai well-manner? Merokok di hadapan perempuan, maksudnya? Angelo lebih terlihat seperti badboy kasar yang kebetulan umurnya sudah tua. Pencitraannya berhasil. “Setelah itu apa? Nama orangtua kita makin jelek demi kepentingan ego.”

“Oke. Aku yang akan berkorban.” Jira mengucap tegas, namun menjeda ketika waitress mengantarkan pesannanya. Perempuan itu menarik napas pelan. “Aku punya pacar. Anggap aja, aku yang akan berselingkuh di sini. Kamu cukup duduk diam dan ikuti permainan ini.”

Angelo menatap aneh pada perempuan dengan hawa dingin di depannya. Sorot tajam dan keras terpancar seolah dia begitu membenci perjodohan. “Lo yakin? Gue nggak bakal tanggungjawab untuk itu.”

“Yakin. Lagi pula menikah dengan kamu itu bukan keinginanku sama sekali. Aku yang paling menentang di sini,” tukas Jira.

Benar-benar karakter yang keras. “Oke. Tapi waktunya cuma 25 hari.”

Jira langsung mendelik tidak terima. “Kenapa cuma segitu? Satu bulan itu udah singkat dan kamu mau motong lagi?”

“Tanggal 19 oktober gue harus flight ke Jepang selama seminggu. Kalo kita jalanin drama itu setelah tiga puluh hari, gue nggak sempet. Lo mau secepetnya berakhir, kan?”

“Iya, tapi nggak dalam waktu secepat itu!”

Angelo berdecih. “Kenapa ngebet banget nikah sama gue, sih? Lo bisa balik ke pacar lama lo dalam waktu yang cepat.”

Makian tertahan di mulut Jira demi menjaga kesopanan dan moral dirinya sendiri. Lebih baik mengalah saja daripada Angelo akan memandangnya sebagai wanita yang terlalu ngebet.

“Baik. Kita persiapkan pernikahannya setelah ini.”

Jiraya mengulurkan sebuah kertas berisi rentetan angka dan kalimat yang berurutan beserta pulpen di atas meja. “Ini kontrak selama kita menikah. Kamu boleh tambah tanpa mengubah jika kamu mau.”

Wanita gila ini memang mempersiapkan dirinya menghadapi perjodohan bodoh ini, pikir Angelo. Dibacanya satu-persatu poin-poin di atas kontrak itu dengan seksama.

KONTRAK PERNIKAHAN

1. Tidak ada sentuhan fisik dalam bentuk apapun

2. Menjalani hidup masing-masing tanpa melarang apapun (bekerja, hang out, etc)

3. Tidur di kamar masing-masing

4. Segala hal yang dilakukan oleh salah satu pihak tidak boleh diganggu gugat oleh pihak lain (begitu pun sebaliknya)

5. Tidak melibatkan perasaan dalam bentuk apapun

6. Selama kontrak berlangsung (pernikahan) pihak yang bersangkutan tidak boleh membocorkan pada orangtua dari kedua belah pihak

Tertanda,                                                                              Tertanda,

Jiraya Pramesti                                                                    Angelo Wiratama

Angelo mengangguk membaca dan tanpa ragu menandatanganinya. Tidak lupa Jiraya langsung menempelkan materai 10.000 di samping tanda tangan mereka berdua. Setelah ini, dia akan mengikuti permainan sandiwara yang dibuat oleh Jira sebagaimana mestinya, sebelum dia akan menjalani hidupnya seperti biasa lagi—hidup tanpa ada campur tangan perempuan mana pun di hidupnya.

“Thanks,” ucap Jira setelah menaruh kembali kontrak itu ke dalam tasnya. “Aku harap kita bakal adil setelah ini.”

Suatu kebetulan yang sebenarnya tidak Jira harapkan adalah mereka ada di satu proyek yang sama. Hal itu akan semakin membuat sandiwaranya semakin besar apalagi jika pernikahan mereka akan terendus nantinya.

“Dan pastiin pacar lo buat nggak ganggu gue, atau tau kalo kita menikah. Kalau pun dia tau kita bakal menikah, gue nggak mau dia nyentuh urusan kita.”

“Aku nggak akan biarin itu terjadi.”

Angelo mematikan rokoknya di atas asbak, seraya menatap Jira kembali dengan mata tajamnya. Garis wajah yang tegas dan sedikit dicampuri khas semi-oriental dengan sorot mata penuh penilaian, membuat Angelo terlihat seperti pria yang santai tapi sebenarnya misterius. Seseorang yang pergerakannya akan sulit dibaca. Sama seperti Jira. Pria itu berdiri dengan merapikan jas formalnya.

“See you.”

Jira hanya menatap punggung lebar Angelo yang berlalu dengan penuh percaya diri. Sekali lihat saja, kharisma Angelo mampu membuat orang di sekitarnya segan. Namun justru, hal itu yang Jira butuhkan. Pemikiran dan misi mereka sama-sama untuk mengembalikan kehidupan mereka sebelum perjodohan bodoh ini dimulai. Dimulai dari dia menemui Angelo di cafetaria kantor, Jira memutuskan untuk mengorbankan dirinya sebagai ‘tersangka’ di dalam hubungan mereka. Hanya ini jalan satu-satunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status