Cahaya pagi menelusup masuk dari jendela besar kamar. Meri terbangun pelan, bukan karena alarm, melainkan karena kehangatan yang masih menempel di bibirnya. Malam di tebing, ciuman Adrian… segalanya terasa begitu nyata, begitu berbeda dari kehidupannya. Ia meraba bibirnya. Jantungnya masih berdebar aneh, bukan karena takut, melainkan karena harapan yang tak terduga.Ia bangkit dari ranjang, merasakan udara dingin menyentuh kulit, kontras dengan panas yang membara di dadanya. Aroma kopi tercium samar dari dapur. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.Di dapur, Adrian sibuk menuang kopi. Kaos tipis dan celana tidur cukup membuatnya terlihat seperti bukan bos siapa-siapa—hanya seorang laki-laki di rumahnya sendiri.Tak ada percakapan yang terburu-buru. Hanya pagi, dengan aroma kopi, dan sisa-sisa kehangatan malam sebelumnya yang melayang di udara.Adrian meletakkan mug hangat di depan Meri, lalu bersandar di meja, matanya menatap Meri dengan intensitas yang dalam, mencari sesuatu yang
Musik jazz bergulir lembut di ruang after-party yang disulap dari ballroom kecil hotel. Adrian berdiri di pinggir ruangan, memandangi kerumunan. Jasnya masih rapi, dasi longgar, ekspresi nyaris tak terbaca. Tangannya menggenggam gelas scotch, tapi sudah lima menit tak disentuh.Cassie datang dengan gaya penuh percaya diri dan penuh rencana.“Aku suka gayamu,” katanya, berdiri di sebelahnya, nyaris menempel. “Berani, dramatis dan sedikit... impulsif. Tidak seperti Adrian Montclair yang kukenal.”Adrian tidak langsung menoleh. “Kau pernah bilang aku membosankan.”“Aku bilang kau terlalu stabil.” Cassie tersenyum, memutar martininya. “Tapi malam ini kau—bagaimana menyebutnya—agak liar?”Ia menatapnya dari ujung mata. “Menawar seratus ribu untuk ramuan istri sendiri? Romantis. Atau rasa bersalah.”Adrian tersenyum tipis. “Kau lupa opsi ketiga, strategi.”“Ah, tentu.” Cassie pura-pura kecewa. “Aku lupa kamu sekarang suami yang—maaf—terpaksa baik.”Diam sejenak. Cassie mengambil napas, lalu
Ballroom yang digunakan untuk acara lelang tahunan Montclair Group berkilau seperti kaca. Musik lembut mengalun dari panggung.Meri duduk di samping Adrian di meja utama, tepat di bawah pandangan ratusan pasang mata dan satu sorotan kamera besar. Gaunnya terasa terlalu pas, kursi terlalu empuk, dan nafasnya... terlalu pendek.Di sebelah kirinya, Nenek Montclair tersenyum hangat—satu-satunya hal yang membuat ruangan ini sedikit lebih mudah ditanggung.Tapi di dalam hatinya, Meri masih menggenggam kekosongan.Ia datang... tanpa apa-apa.“Meri, terima kasih sudah datang,” kata nenek, dengan mata yang menelisik tapi tidak tajam. “Ini bukan dunia yang mudah dimasuki, tapi kau melangkah seperti sudah lama mengenalnya.”Adrian tersenyum tipis. “Dia memang cepat belajar.”Nenek mengalihkan pandangannya ke Adrian sejenak, lalu kembali ke Meri.“Jangan pedulikan tatapan orang. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya penting.”Di sekeliling, pesta sudah berjalan, gelas beradu, musik dawai mengalun
Adrian Montclair, pewaris tunggal Montclair Group, pria yang pernah bicara di hadapan seribu investor tanpa berkedip, malam ini… mondar-mandir di depan pintu kamar tamunya sendiri.Lebih tepatnya, kamar Marigold Vale.Satu tangan di saku celana, satu lagi menyentuh pelipis. Napasnya tidak ngos-ngosan, tentu saja tidak. Dia bukan bocah gugup.“Apa susahnya bilang ‘tidur di kamarku aja’?” gumamnya pelan.Hanya saja… tidak ada kutukan aktif untuk menjadi alasan. Ia hanya ingin Marigold ada di sisinya.Sudah tiga kali ia berdiri di depan pintu kamar Meri. Dan tiga kali pula ia mundur lagi, pura-pura ke dapur, pura-pura cari air.Dan sekarang, ia berdiri lagi.“Gila,” desisnya. “Ini konyol.”Akhirnya, ia angkat tangan, ketuk pintu dua kali. Pelan, tapi cukup tegas.Beberapa detik. Tak ada jawaban.Kemudian... klik.Pintu terbuka. Wajah Meri muncul, rambutnya sedikit berantakan, kaos tidurnya kebesaran.Adrian langsung diam. Mulutnya terbuka, tapi otaknya tidak sinkron.“Hm? Kenapa?” tanya
Mobil berhenti di sebuah sudut jalan sempit, salah satu kawasan tua di pusat kota Vileria yang terkenal dengan gang-gang kecil berhiaskan lampu gantung antik dan aroma rempah dari kedai lokal.Adrian melirik keluar jendela. Alisnya terangkat pelan. "Ini... tempat makanmu?"Meri sudah keluar lebih dulu, helaian rambutnya tersapu lembut oleh angin malam. Ia menoleh ke arah Adrian sambil menyilangkan tangan."Kenapa? Kau pikir aku akan memilih restoran bintang lima penuh wine dan pemain musik berseragam?"Adrian menutup pintu mobil perlahan. "Kupikir kau akan memilih sesuatu... yang lebih mainstream. Atau setidaknya, ada daftar anggurnya."Meri mengangkat dagu. "Tempat ini tidak punya daftar anggur. Tapi punya sambal cabai hitam yang bisa membuatmu lupa masalah hidup untuk dua jam."Adrian memicingkan mata. “Aku tidak lupa hidupku, Marigold. Aku mengaturnya.”Restoran itu kecil, hanya lima meja di dalam, dengan dinding bata dan lampu gantung dari kaca berwarna. Aroma rempah dan cabai mem
Senja sudah turun pelan di balik kaca jendela toko. Cahaya matahari menyusup samar, mewarnai rak-rak ramuan dengan rona keemasan yang hangat.Vale’s Enchantments sudah sepi. Tak ada lonceng pintu yang berdenting, tak ada yang bertanya soal kristal pembersih energi atau minyak pelet alami. Hanya Meri, duduk bersila di balik meja kayu, buku-buku catatan tua peninggalan Nenek Vale tersebar di meja—lembaran yang rapuh, tulisan tangan yang hampir hilang, dan simbol-simbol sihir.Ia membuka satu halaman, pelan.“Kutukan tidak selalu ingin dipatahkan. Ada yang hanya ingin dimengerti.”Meri mendesah panjang. Sama kayak yang punya kutukan itu, pikirnya dalam hati.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Adrian.‘Gimana pembukaan tokomu, Marigold? Urusanku belum selesai, tapi nanti kujemput. Tunggu di dalam, jangan kabur.’Meri menatap layar, lama. Lalu bibirnya mengerucut. Kangen atau kontrol CEO ke properti pribadi?Jantungnya berdetak sedikit lebih kencang, lalu ia meletakkan ponsel di sampi