Adrian Montclair, miliarder terkutuk, punya waktu hingga ulang tahunnya yang ke-30 sebelum maut menjemput. Satu-satunya cara untuk mengalahkan kutukan adalah menikahi seorang penyihir. Marigold Vale setuju, tapi hanya dengan klausul tambahan yang melarang sentuhan, cinta, dan delusi romantis. Tapi yang lebih berbahaya bukan kutukan, melainkan perasaan yang tumbuh diam-diam.
View More"Aku butuh istri."
Suara itu tenang dan dalam, seolah pria itu baru saja meminta sebotol air mineral.
Marigold Vale—Meri—menyeka tangannya yang belepotan bubuk sihir ke celemek lusuh. Matanya menyipit, menatap sosok jangkung dan tampan di hadapannya. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena pesona, tapi karena kebingungan murni.
"Apa kau yakin... kau tidak salah alamat?" balas Meri, nada suaranya lebih tajam dari yang ia duga. "Ini toko sihir, Tuan. Bukan biro jodoh."
Pria itu, Adrian Montclair—namanya selalu muncul di berita gosip selebriti, dan Meri tidak akan salah mengenali rahang tegas serta tatapan dingin itu—mengabaikan sindiran Meri. "Aku tahu persis di mana aku berada," jawabnya kalem. "Dan aku tahu kau satu-satunya yang bisa membantuku."
Meri menyilangkan tangan di dada, mencoba tidak silau oleh kilatan jam tangan mewah di pergelangan Adrian, yang sepertinya bisa membayar sewa tokonya selama setahun penuh. "Kalau ini soal ramuan cinta, stokku tinggal satu botol," ia berkata datar, menyiratkan bahwa dia tidak punya waktu untuk lelucon murahan.
"Aku terkutuk," kata Adrian tanpa ekspresi, seolah membicarakan cuaca. "Dan satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah menikah dengan penyihir berdarah murni. Sebelum aku berusia 30."
Meri mengerjap. Sekali. Dua kali. Otaknya berputar, mencari punchline dari lelucon terburuk abad ini. Lalu tawa kecil keluar dari tenggorokannya, sumbang dan nyaris histeris. "Oke, kalau ini prank, kalian hampir berhasil."
"Ini bukan lelucon."
Adrian membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dada kirinya. Napas Meri tercekat di tenggorokan, seolah semua udara tiba-tiba dihisap keluar dari paru-parunya. Udara di sekelilingnya mendadak terasa berat, pekat, seolah sihir kuno itu menyedot semua oksigen dari ruangan.
Simbol di dada Adrian terukir samar namun jelas, seolah digambar dengan bayangan paling gelap. Simbol itu… kuno, tua, dan tidak main-main. Sebuah sensasi dingin merayap di kulit Meri.
Ia pernah melihatnya di buku: informasi tentang kematian dan kutukan yang tak terpecahkan.
"Simbol itu cuma muncul kalau—" Meri berbisik, suaranya nyaris hilang, otaknya kalut.
"Kalau hidup seseorang di ambang maut," potong Adrian tenang, seolah sedang membicarakan resep pai. "Tepatnya, empat bulan dari sekarang. Di hari ulang tahunku yang ke-30."
Empat bulan. Ini bukan sekadar kutukan, ini adalah jadwal kematian yang sudah diatur.
"Kenapa aku?" tanyanya pelan, mencoba menstabilkan suaranya yang gemetar. Campuran rasa takut dan tidak percaya membanjiri dirinya.
"Karena kau penyihir berdarah murni, dan... kau cukup putus asa untuk mempertimbangkan tawaranku." Adrian menatap sekeliling toko yang retak di sana-sini, rak ramuan yang nyaris tumbang, dan lilin aromaterapi yang sebagian sudah meleleh dan terlihat menyedihkan.
Kata-katanya menusuk, menghantam Meri tepat di ulu hati, tapi juga tepat sasaran. Dia tahu. Adrian tahu segalanya.
Meri mengangkat dagunya, menantang. "Tawaran apa?"
Adrian mengeluarkan surat kontrak dari tasnya, menaruhnya di atas meja. "Pernikahan kontrak. Tidak perlu cinta. Aku hanya butuh istri untuk mematahkan kutukan ini, dan kau butuh... toko yang tidak ambruk minggu depan."
Sebelum ia sempat membuka mulut untuk memprotes, Adrian sudah bicara lagi—tenang, padat, dan tanpa memberi ruang debat.
"Enam bulan. Aku akan membiayai penuh renovasi tokomu, menanggung operasional sampai tahun depan…" Ia mengeluarkan selembar cek dari dalam jasnya dan meletakkannya di meja. "…dan ini. Kosong. Tulis angka yang kau mau."
Tangan Meri terasa dingin saat menatap cek kosong yang tergeletak di meja. Angka nol yang bisa ia tulis di sana terasa ironis sekaligus menakutkan. "Kau bercanda," ucapnya, lebih kepada dirinya sendiri, bibirnya terasa kebas.
"Aku tidak pernah bercanda soal hidup dan mati." Adrian menyodorkan satu map tebal. "Ini kontraknya. Semua klausul legal sudah lengkap, tinggal tanda tangan."
Meri menyipitkan mata. Sebuah seringai tipis muncul di bibirnya meski jantungnya bergemuruh tak karuan. "Jadi… kau pikir aku bisa diyakinkan dengan cek kosong dan kertas hukum itu?"
Adrian menatapnya, datar tapi tajam, tatapannya seolah menembus setiap lapis pertahanan Meri, melihat jauh ke dalam kerentanannya. "Tidak. Tapi aku tahu kau sedang kehabisan pilihan."
Meri melirik cek kosong, kemudian ke seluruh sudut tokonya yang memprihatinkan. Jalan keluar dari mimpi buruknya, atau jebakan baru yang lebih besar? Pikirannya kalut.
"Cuma enam bulan," ulang Adrian, suaranya kini sedikit lebih lembut, penuh harap. "Kau hanya harus jadi istriku, mainkan peran itu. Setelah itu, bebas. Hidupmu kembali, tokomu selamat."
Meri menghela napas panjang, menimbang antara akal sehat dan rasa ingin tahu yang mematikan. Ini bisa jadi jebakan, namun bisa juga jalan keluar dari mimpi buruk finansial yang sedang dia jalani. Matanya beralih pada Adrian, mencari celah dalam tatapan dingin pria itu.
"Tapi aku punya satu syarat," kata Meri sambil menyunggingkan senyum licik.
"Apa itu?" Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit, alisnya sedikit terangkat.
"Aku pilih gaun pengantinku sendiri. Dan aku mau pesta yang berkilau."
Adrian terdiam sejenak, lalu tawa pelan, kering, namun tulus keluar dari bibirnya. Meri menatapnya, terkejut. Itu tawa yang tak terduga dari pria kaku itu. "Setuju. Ambil gaunmu, tapi pernikahan kita sah di catatan sipil. Tanpa pesta."
Meri mengerutkan kening, berpikir sebentar, lalu—senyum liciknya kembali, sedikit lebih lebar. Dia punya ide.
"Deal.”
Ruang kerja Adrian terasa lebih dingin. Sinar matahari sore memantulkan cahaya keemasan di meja panjang yang dipenuhi berkas-berkas rahasia Montclair Group. Adrian duduk, satu tangan memutar pelan pena perak, sementara pandangannya fokus ke layar tablet di depannya.Nama-nama muncul rapi di layar—eksekutif yang sudah diwarnai merah, biru, abu-abu. Semua catatan Julian kini ada di genggaman Adrian.“Dia pikir aku tidak tahu siapa saja yang sudah dia dekati…” suara Adrian rendah, nyaris seperti gumaman, tapi penuh ancaman terpendam.Lucien berdiri di samping meja, menyilangkan tangan. “Kalau Julian berani gerak, berarti salah satu dari mereka sudah kasih celah. Anderson, misalnya.”Adrian meletakkan pena, menatap lurus ke asistennya. Se
Ruang kerja Adrian di lantai atas Montclair Group sunyi. Hanya suara jarum jam yang terdengar saat Anderson masuk, wajahnya tegang, keringat tipis menetes di pelipisnya.Adrian tidak menyuruhnya duduk. Ia hanya menatap dengan tatapan datar, membuat pria paruh baya itu semakin gelisah.“Duduklah, Tuan Anderson.” Suara Adrian tenang, tapi dingin. Anderson segera menuruti, punggungnya kaku.Adrian membuka map di mejanya. Beberapa lembar dokumen kontrak luar negeri, tanda tangannya, dan informasi transfer mencurigakan. Anderson langsung pucat.“Lucien menelusuri file lama,” Adrian berkata ringan, seolah hanya membicarakan laporan keuangan biasa. “Kau cukup berbakat… sampai harus menutupi proyek ilegal di Singapore. Kontrak ganda, suap pejabat. Aku punya semua salinannya.”
Malam itu, ruang kerja di penthouse dipenuhi cahaya lampu kuning temaram. Jendela besar menampilkan siluet kota Vileria, berkilau tapi dingin. Adrian duduk di kursi kulit hitam, jasnya masih rapi, tangan mengetuk pelan permukaan meja.Lucien masuk lebih dulu, membawa map tebal. “Jejak terakhir Julian terlacak di kawasan utara. Bukan rumah, lebih mirip gudang. Orang-orangnya keluar masuk, tapi dia sendiri jarang terlihat.”Dr. Zhu menyusul, wajahnya serius. “Aku sudah bicara dengan Cassie. Dari semua yang dia ungkap, jelas: Julian tidak tertarik dengan sihir. Dia hanya peduli satu hal—merebut Montclair. Semua ini tentang tahta yang menurutnya seharusnya jatuh padanya.”Adrian menatap keduanya. “Itu menjelaskan kenapa dia mulai menyerang lewat kenangan. Bukan untuk mengutukku, tapi
Suasana sore tenang, cahaya matahari menembus kaca besar, memantul di lantai. Meri memerhatikan Rowan dan Rosie yang sedang menggambar. Ia baru hendak membuat teh saat suara interkom di dinding berbunyi.Meri mendekat, menekan tombol. Layar kecil menyala, menampilkan wajah seorang kurir dengan kotak kecil di tangan.“Pengiriman untuk Ny. Montclair,” katanya.Meri mengernyit. “Dari siapa?”Kurir menggeleng. “Tidak ada nama pengirim. Petugas keamanan gedung sudah memverifikasi, paketnya aman. Mau dikirimkan naik?”Hati Meri berdebar, tapi ia mengangguk singkat. “Ya, kirimkan.”Beberapa menit kemudian, bunyi bel lift pribadi terdengar. Pintu terbuka, memperlihatkan seorang petugas keamanan gedung, bukan kurir tadi, berdiri sopan sambil menyerahkan paket. “Dari bawah, Nyonya. Sudah dicek, tidak ada perangkat berbahaya.”“Terima kasih,” jawab Meri, meski dadanya terasa berat.Ia meletakkan paket itu di meja makan. Kertas cokelatnya serupa dengan kiriman Adrian beberapa hari lalu. Saat dibu
Setelah semua badai reda, Adrian dan Meri akhirnya memutuskan untuk tinggal di penthouse. Montclair Manor memang penuh kenangan, tapi ada jarak—selalu terasa seperti tempat keluarga besar. Penthouse berbeda. Di sini, setiap sudutnya punya jejak mereka sendiri. Lebih sederhana, lebih pribadi, lebih seperti “rumah” yang benar-benar milik mereka.Pagi itu, cahaya matahari jatuh dari jendela besar, menghangatkan ruang makan. Anak-anak sudah duduk, tapi bukannya sarapan dengan tenang, mereka sibuk berebut selai stroberi. Sendok beradu, tawa bercampur rengekan kecil.“Boleh nggak kalau aku yang olesin dulu?” Rowan merengek, memeluk toples selai seperti harta karun.“Enggak! Aku dulu!” Rosie membalas, wajahnya memerah penuh semangat.Me
Pagi itu Montclair Manor tenang. Cahaya matahari menembus jendela besar, memantul di lantai marmer. Adrian sedang merapikan jas di depan cermin, sementara Meri berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan tatapan yang hangat.“Kenapa lihat aku begitu?” Adrian mengangkat alis, senyum tipis muncul.Meri mengangkat bahu. “Nggak apa-apa. Cuma... kadang aku masih nggak percaya kita bisa sampai sini.”Adrian menghampiri, meraih dagunya singkat. “Kita sudah melewati neraka, Meri. Sisanya... kita jalani sama-sama.”Ketukan pintu pelan memutus momen itu. Seorang pelayan masuk, membawa sebuah kotak kecil berbalut kertas cokelat. “Tuan, ini baru saja diantar. Tidak ada nama pengirim.”Adrian merengut. “Letakkan di meja.”Pelayan pergi. Meri dan Adrian saling pandang. Ada sesuatu yang dingin menyelinap di udara.Adrian membuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah mainan kayu kecil—kuda yang dulu ia kenal betul, hadiah dari ibunya saat masih kecil. Tapi kini, kuda itu diukir ulang dengan goresan simbo
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments