Hujan turun pelan, menetes di jendela toko Vale’s Enchantments. Tapi tentu saja, Merigold Vale tidak pernah diberi kemewahan ketenangan. Apalagi setelah seorang doktor kutukan masuk ke hidupnya, melemparkan satu istilah baru yang sekarang menempel seperti duri di pikirannya. Sihir perjanjian. Perjanjian jiwa?Ia duduk di meja kerja dengan tumpukan buku tua, simbol yang pernah dianggap dekoratif kini terlihat seperti jerat. Setiap catatan dari neneknya, setiap frasa dalam bahasa kuno, seakan menyimpan rahasia.“Pengikatan. Pengikatan jiwa. Bukan sekadar kutukan,” gumamnya, menirukan nada tenang Zhu dengan tambahan nada sinis khas dirinya. “Tentu saja bukan. Karena jelas hidupku belum cukup rumit.”Ia menyentuh halaman lusuh berisi diagram sihir yang nyaris memudar. Lambang di tengahnya mirip sekali dengan simbol di dada Adrian. Simbol yang seharusnya tidak membuat detaknya melonjak seperti sekarang.Ia kembali melihat simbol yang tadi ditunjukkan Zhu. Ia mulai menyadari, lambang serupa
Hari masih terlalu pagi saat Meri mendorong pintu Vale’s Enchantments. Toko itu terlalu sunyi untuk pikiran yang masih bising. Ia menaruh tas di meja. Belum ada pelanggan hari ini. Tidak ada kutukan. Tidak ada... Adrian. “Bagus,” gumamnya. “Akhirnya bisa fokus.” Tapi fokus adalah hal pertama yang menolaknya hari ini. Ia menyalakan pemanas air, lalu mengambil satu set bahan untuk ramuan kejernihan pikiran. Lavender hitam, daun citrus muda, dan sedikit peppermint kering. Ramuan sederhana yang seharusnya bisa ia racik bahkan sambil mengantuk. Namun hari ini, botol peppermint tergelincir dan isinya tumpah “Brengsek,” gumamnya. Ia buru-buru menyapu serpihannya dengan kain basah. Wangi tajam menempel di ujung jarinya. Wangi yang malah mengingatkannya pada Adrian. Meri mendengus, lalu duduk kembali, memaksa diri menyelesaikan ramuan yang kini terasa konyol. Di rak, botol Tenang Vale masih berjajar rapi. Ia menatapnya lama. “Lucu. Kutukannya bisa kutenangkan. Tapi omongannya? Lebih r
Cahaya pagi menerobos lewat tirai jendela penthouse, tapi tidak ada hangat yang terasa. Adrian berdiri di dapur, tangannya menggenggam mug kopi yang belum diminum. Uap panasnya mengabur sejenak di udara, tapi pikirannya jauh lebih berantakan dari itu.Ia belum tidur. Atau mungkin hanya memejamkan mata sebentar—cukup untuk dihantui ulang adegan semalam. Ciuman itu, tatapan Meri, dan penolakan pelan, tapi jelas. Dan kalimat yang terus berputar di kepalanya seperti lagu rusak.Kalau aku bisa mengulangnya... aku akan tetap menciummu.Sial. Ia benar-benar mengatakannya. Seolah kutukannya belum cukup memberi tekanan, sekarang ia malah menambah beban dengan satu keputusan impulsif dan satu kalimat bodoh.Tangannya terangkat menyentuh dada kiri, tempat di mana kutukannya biasa bereaksi. Di tempat yang sama, Meri sempat menyentuhnya—bukan dengan kasih sayang, tapi dengan rasa tanggung jawab. Itu bahkan terasa lebih menyakitkan.Langkah kaki pelan terdengar dari lorong, lalu Adrian menoleh.Mer
Mobil melaju perlahan di jalan menurun yang sunyi. Di dalam kabin hanya ada suara mesin. Tanpa musik, dan tanpa obrolan.Adrian menggenggam setir dengan erat seolah hanya itu satu-satunya hal yang bisa ia kendalikan.Sesekali ia mencuri pandang pada Meri. Ia ingin berbicara apapun. Tentang ciuman itu. Tentang penolakan. Atau tentang apapun untuk memecah keheningan ini. Namun ia tidak tahu harus memulai dari mana.Ia ingin meminta maaf atau menjelaskan. Atau sekadar berkata bahwa ciuman itu bukan kebetulan. Tapi lidahnya terlalu berat untuk jujur, dan pikirannya terlalu kacau.Meri terlalu diam untuk seseorang yang biasa melemparkan lelucon konyol atau komentar sarkas.Meri hanya duduk menyandarkan kepalanya pada jendela, tubuhnya sengaja menjauh dari Adrian. Matanya menatap ke luar, ke arah lampu-lampu jalan.“Jadi begini caramu menutup percakapan?” gumam Adrian, setengah berharap itu bisa memancing reaksi.Tapi Meri hanya menjawab datar, “Kadang diam lebih jujur daripada omonganmu.”
Adrian tak membalas senyum Meri. Matanya baru saja kehilangan fokus dari punggung Dr. Zhu, dan pikirannya belum sepenuhnya kembali ke ruangan ini. Ke Meri.Ia berdiri terlalu santai, seperti tidak terjadi apa-apa malam ini. Tidak ada Cassie. Tidak ada lelang. Tidak ada tatapan Zhu yang terlalu akrab untuk ukuran dua orang yang baru bertemu."Apa yang kalian bicarakan tadi?" tanyanya, nadanya datar. Terlalu datar.Meri mengangkat alis. “Tentang ramuan 'Tenang Vale', dan tentang siapa pembuatnya.”Adrian tak menyahut, tapi otot di rahangnya bergerak nyaris tak kentara.“Dia bilang dia sengaja bikin harga naik,” lanjut Meri sambil memutar gelas di tangannya. “Biar bikin orang bertanya-tanya.”Adrian mengangguk kecil, tapi tak ada komentar.Meri menyeringai kecil. “Tenang. Dia bukan siapa-siapa, dan dia nggak coba merayuku. Cuma... agak dramatis soal filosofi ramuan dan simbolisme magis. Katanya dunia perlu tahu sihir bukan cuma dekorasi estetik.”Ada nada main-main di suaranya, tapi Adria
Musik jazz bergulir lembut di ruang after-party yang disulap dari ballroom kecil hotel. Adrian berdiri di pinggir ruangan, memandangi kerumunan. Jasnya masih rapi, dasi longgar, ekspresi nyaris tak terbaca. Tangannya menggenggam gelas scotch, tapi sudah lima menit tak disentuh.Cassie datang dengan gaya penuh percaya diri dan penuh rencana.“Aku suka gayamu,” katanya, berdiri di sebelahnya, nyaris menempel. “Berani, dramatis dan sedikit... impulsif. Tidak seperti Adrian Montclair yang kukenal.”Adrian tidak langsung menoleh. “Kau pernah bilang aku membosankan.”“Aku bilang kau terlalu stabil.” Cassie tersenyum, memutar martininya. “Tapi malam ini kau—bagaimana menyebutnya—agak liar?”Ia menatapnya dari ujung mata. “Menawar seratus ribu untuk ramuan istri sendiri? Romantis. Atau rasa bersalah.”Adrian tersenyum tipis. “Kau lupa opsi ketiga, strategi.”“Ah, tentu.” Cassie pura-pura kecewa. “Aku lupa kamu sekarang suami yang—maaf—terpaksa baik.”Diam sejenak. Cassie mengambil napas, lalu