"Meg, kamu belum tidur?"Nesa membuka pintu ruangan yang di desain khusus sebagai kamar megan. Dia berjalan masuk dan duduk disamping pemilik ruangan. Megan belum juga terlelap meski malam telah menuju puncaknya. "Dua hari ini, aku terlalu banyak tidur," sahut Megan. Ia mengangkat laptop dari pangkuan dan meletakkannya di meja rotan samping sofa. "Jadi susah banget buat memejamkan mata.""Kamu?" Tanyanya balik.Nesa menggeleng pelan. "Belakangan ini, insomnia akut ku kumat lagi.""Bukan belakang hari Nesa, tapi emang setiap hari," elak Megan."Menurutmu karena siapa?" Sindir Nesa sambil cengengesan.Megan terkekeh pelan. "Karena aku?""Ya." Nesa menghela napas lega. "Selama kamu menghilang, hampir setiap hari kami kesana-kemari mencarimu dan bergadang pada malam hari, memikirkan kemungkinan kemana kamu pergi."Megan menatap haru. Dia tidak pernah menyangka, teman-temannya begitu tulus menyayanginya. "Maaf.""Kenapa minta maaf?""Karena aku susah sangat merepotkan kalian," balas Megan
"Zian mana, Nes?" Tanya Baron karena sejak pagi tadi dia tidak menemukan pria cerewet itu dimana pun. "Oh, Zian? Dia ngantar Bu dokter," sahut Nesa. Dia mengalihkan perhatiannya dari layar tablet untuk menyapa wajah imut yang disukainya. "Kamu mau sarapan? Biar aku siapkan," tawarnya.Baron menggeleng. "Nggak usah. Nanti aja, aku sarapan bareng Megan," sahutnya. Dia balik menatap Nesa lamat-lamat. "Kamu ada kegiatan hari ini?"Nesa mengerutkan keningnya, mencoba mengingat jadwalnya hari ini. "Tidak. Aktivitas kantor dimulai besok. Zian masih menunggu konfirmasi dari Megan.""Hmm," Baron mengumam pelan. "Kalau gitu, kamu bisa temanin aku siang ini?""Kemana?" Tanya Nesa. Matanya membulat, tertarik dengan permintaan pria manis itu. "Nanti aja di jalan aku kasih tahu. Kamu siap-siap dulu, begitu Zian balik kita cabut."Nesa mengangguk patuh meski diliputi pertanyaan dan rasa penasaran."Aku bangunin Megan dulu," pamit Baron. Baron membuka pintu kamar Megan, matanya terpaku oleh pemand
"Baron!"Nesa terhenyak kaget, dia mengapai tubuh Baron dan memaksanya untuk mundur. Melihat kondisi yang tidak kondusif, Allen turut membantu untuk menahan Baron agar tidak kembali menerjang tubuh Riley yang terkulai di lantai sambil memegangi wajahnya."Kumohon, Baron. Tenanglah!" Jerit Nesa panik.Dua orang petugas sekuriti menerobos masuk karena mendengar suara gaduh dari luar ruangan. "Apa yang terjadi?!""Cukup," tahan Riley. Dia bangkit dari lantai, menyeka darah di sudut bibirnya. Rasa asin dan bau amis menguar hingga nyaris membuatnya mual."Tapi, Pak,""Tidak apa-apa, hanya salah paham. Kalian keluar saja," perintah Riley. Menghentikan kedua sekuriti yang bersiap untuk menyeret Baron dan Nesa keluar ruangan.Kedua petugas mengangguk paham, bergegas keluar dan menunggu di balik pintu. Bersiaga apabila kondisi mulai tidak kondusif dan mampu diatasi oleh bosnya."Baron?" Alih Riley pada pria pendek yang memukul wajahnya."Apa yang kamu lakukan pada Megan?!" serang Baron."Tenan
"Tante, jangan," Megan segera menahan gerakan Maria yang berlutut dihadapannya. "Jangan begini tante," bujuknya.Maria menggeleng cepat, airmatanya mengalir bersamaan dengan tangis yang pecah tak tertahan. "Megan, Mama nggak bisa kehilangan kamu, nak. Kamu telah menjadi bagian penting dalam hidup Mama dan Riley," rintihnya sedih."Tante, Megan mohon. Bangunlah," bujuk Megan. Dia risih melihat Maria berlutut sembari memohon padanya. Megan kesulitan untuk bergerak sehingga mengirimkan tanda pada para sahabat untuk membantunya."Ayo Tante," Rika segera mengambil alih, mendekap pundak Maria dan membawanya untuk kembali duduk dan menepuk pundaknya pelan untuk menenangkannya.Zian mendekati ketiga wanita itu dan menyerahkan segelas air mineral untuk wanita yang lebih tua. Zian menatap kasihan pada wanita itu namun dia juga tidak bisa memihaknya.Maria menyesap pelan lalu menyerahkan gelas itu kembali. Dia beralih pada Megan dengan airmata yang tak henti mengalir di pipinya."Megan, Mama moh
"Meg," sambut Riley begitu melihat istrinya muncul dari balik pintu pembatas ruangan."Apa yang kamu lakukan disini?" Sentak Megan langsung.Riley berusaha tenang, mencoba memaklumi sikap kasar yang ditunjukkan Megan. "Aku ingin bertemu denganmu."Dia mengulurkan tangannya, berusaha meraih tubuh Megan dari pelukan Zian. Meski berhasil menekan emosinya untuk memahami situasi yang tengah terjadi, namun hatinya tetap terusik oleh pemandangan kedekatan antara Megan dengan Zian. Pria itu seolah mengantikan perannya selama ini di sisi Megan."Jangan mendekat," tahan Megan. "Bicara dari sana saja," ucapnya dengan suara bergetar seolah ketakutan bila Riley akan kembali menangkap dan mengurungnya.Riley menghela napas berat sebelum menatap wanita itu dengan tatapan sendu. "Bisakah kita bicara berdua saja," bujuknya lalu melirik Zian yang tampak enggan beranjak dari sisi Megan."Zian, lebih baik kamu masuk, mungkin Nesa dan Rika butuh bantuanmu untuk menenangkan Baron," pinta Megan."Nggak," ser
"Aku merindukanmu, Megan," batin Riley sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh istrinya. "Riley," panggil Megan. Keningnya mengerut bingung karena Riley terpaku di tempatnya dan menatap Megan dengan pandangan kosong."Turunkan aku."Riley mendesah kecewa sambil mengutuk dalam hati. Berharap bisa memeluk tubuh yang dirindukannya lebih lama. Dengan berat hati, dia menurunkan tubuh Megan di atas bangku taman lalu turut duduk disampingnya."Kamu lapar?" tanya Riley.Megan menggeleng cepat. "Apa yang dikatakan dokter?" alihnya. Setelah menanti cukup lama, Megan diliputi rasa penasaran, dia tidak sabar untuk mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Ibu mertuanya. "Menurut dokter, Mama harus segera menjalani operasi untuk mengangkat pengumpalan darah yang menekan saraf di otaknya," jelas Riley. Mata Riley memperhatikan seksama, menangkap ekspresi sedih di mata Megan, manik berwarna gelap itu berkaca-kaca, memantulkan kilasan airmata. "Seburuk itu," gumam Megan prihatin. 'Apakah Mega
Allen bergantian, melirik bingung dua orang yang sedari tadi hanya diam. Saling membuang muka—menghindar, layaknya pasangan suami istri yang tengah perang dingin. Dia bertanya-tanya apa yang membuat Riley tiba-tiba menghubungi dan memintanya untuk segera datang ke rumah sakit dengan membawa beberapa barang yang membuat Allen mengerutkan dahi—materai dan stempel.'Apa mereka akan bercerai?!' pikir Allen."Bisa kita mulai?" Seru Megan yang tiba-tiba memecah kesunyian diantara mereka.Allen mengendikkan dagunya pada Riley, meminta penjelasan. Namun sahabatnya itu hanya diam dan enggan untuk menjawabnya."Kalian tiba-tiba meminta ku datang tanpa alasan, hanya untuk melihat aksi diam seperti ini?" ujar Allen kesal karena tak seorangpun mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Rey!" Riley mendesah dalam. "Aku ingin Megan pulang ke rumah tapi dia malah mengajukan beberapa persyaratan dan meminta kamu untuk melegalkan surat perjanjian ini," jelasnya singkat.Dia menyilangkan kakinya, pe
"Megan," desah Riley. Ia merengkuh wajah Megan dengan kedua tangannya. Menyesap bibir itu lebih dalam. Menikmati candu yang memabukkannya.Megan kehilangan arah—meremas kemeja Riley, napasnya mulai memburu karena pria tampan itu tidak memberikan sedetik pun jeda bagi Megan untuk sekedar menghela napas."Hmm," ia melenguh pelan. Lipatan bibirnya terbuka untuk memberi celah, berharap ada udara yang masuk untuk memberi paru-parunya pasokan oksigen. Namun celah itu segera terisi oleh lidah yang menyusup masuk—aktif bergerak, menjilat dinding langit hingga mengabsen setiap sudut. Saat kedua untaian bertemu, mereka saling menyapa—membelit disertai lumatan yang semakin cepat dan basah hingga terdengar decakan saat keduanya bertukar saliva."Rey," erang Megan yang nyaris kehilangan kesadaran. Ia menepuk dada bidang yang menekan—merengkuh tubuhnya. Memaksa pria bertubuh kekar itu melepas jalinan diantara mereka."Meg," desah Riley begitu melepaskan bibirnya. Napasnya memburu, mengimbangi wani