"Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan
"Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka
'Dimana ini? Apa yang terjadi?'Di sebuah ruangan serba putih, seorang wanita terbaring lemah di atas ranjang. Berteman dengan belasan alat medis yang menempel hampir di seluruh tubuhnya. Jarinya bergerak, menyusul jeritan EKG yang berdetak dua kali lebih cepat.Megan White membuka matanya perlahan. Silau! Kata pertama yang bisa dipikirkannya. Setelah matanya beradaptasi dengan cahaya yang masuk, Megan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Meneliti ruangan dan ranjang dimana tubuhnya terbaring.'Rumah sakit?' Tebaknya. Satu nama tempat yang bisa dideskripsikan Megan setelah mengamati dinding yang di dominasi warna putih, tiang infus, peralatan medis yang melekat di tubuhnya dan barang-barang lain yang ada di dalam ruangan.'Apa yang terjadi padaku?' Megan berusaha mengingat kejadian terakhir. Dia terus mencoba mengurut rangkaian kejadian yang menyebabkannya terbaring di atas ranjang ini. Sayangnya gagal, hanya bayangan samar-samar yang muncul, membuat kepalanya berdenyut nyeri.Mega
"Ma," panggil Riley.Ia mendekati Mamanya yang duduk di kursi roda sambil menikmati sinar matahari pagi di taman belakang. Riley mengiring kursi roda menuju gazebo terdekat."Mama dengar, Megan sadar?" tanya Maria begitu keduanya duduk dengan nyaman."Ya. Sekarang dokter sedang memeriksa kondisinya.""Nak, kamu yakin dengan pernikahan ini?"Riley diam, ia butuh waktu untuk menyusun kalimat yang tepat atas pertanyaan Mama. "Ini yang terbaik bagi kita semua, Ma.""Melihat kondisi wanita itu sekarang, akan sulit baginya untuk berjalan lagi. Dia butuh seseorang untuk membantunya.""Tapi, Mama takut Megan tidak akan setuju.""Kita harus membuatnya setuju," tegas Riley."Tapi Rey, jangan memaksa apalagi kasar padanya," larang Maria cemas.Riley tersenyum kecil. "Mama tenang saja, aku tidak akan menyakiti wanita."Maria mendesah dalam. "Maaf, Rey. Ini kesalahan Mama. Seharusnya Mama tidak mendengarkan Celine dan menemui Papa mu," sesal Maria.Riley tersentak kaget. "Mama menemui Papa? Buat ap
Nesa mengigit kuku jempol tangannya. Tiga telah berlalu, tapi dia tak bisa menemukan Megan dimanapun. Wanita itu menghilang bagai di telan Bumi. Satu-satunya harapan hanya Baron, sahabat sekaligus roommate Megan.Dia meremat jemarinya resah, tiap kali bertemu dengan pemilik café itu, Nesa harus berusaha keras agar jantungnya tidak melompat keluar dan mengatupkan bibirnya serapat mungkin agar tidak meneriakkan kata cinta. Megan telah memberinya puluhan kali ultimatum agar mengubur perasaannya dalam-dalam, bila tidak ingin berakhir patah hati. Meski Megan tidak menjelaskan lebih jauh penyebabnya tapi Nesa bisa menebak apa alasan wanita itu melarangnya. Megan pasti memiliki perasaan yang sama sepertinya, mencintai Baron."Hai, Nesa?""Hai, Baron," balas Nesa canggung.Baron menarik kursi dan duduk dihadapan Nesa. "Ada yang bisa ku bantu?""Apa Megan pulang ke Kondo?" Tanya Nesa hati-hati.Baron mengerutkan keningnya. "Tidak. Bukankah dia di lokasi syuting?"Nesa menggeleng. "Megan terakh
"Pergi!" Teriak Megan histeris."Megan, kamu kenapa, Sayang?" Tanya Maria panik. Dia ketakutan melihat perubahan sikap Megan. Tubuh wanita muda itu bergetar ketakutan. Dia menarik kasar rambutnya lalu menutupi wajah dan telinganya. "Ada apa, Ma?" Riley setengah berlari menghampiri Mamanya setelah mendengar teriakan dari dalam kamar. Allen menyusul di belakangnya."Rey, lakukan sesuatu. Megan melukai dirinya sendiri," ujar Maria."Allen, bawa Mama keluar." Perintah Riley cepat."Ayo Tante, kita tunggu disini dulu ya. Biar Riley yang menanganinya," ajak Allen, segera membawa kursi roda Maria keluar ruangan."Megan," panggil Riley, mencoba mengambil alih kesadaran Megan."Aku mau pulang, aku mau pergi dari sini," rengek Megan. Ia meraih lengan Riley, mencari pegangan disana."Aku mau pulang, lepaskan aku.""Tidak," balas Riley tegas. "Kamu tidak akan pergi kemanapun." Megan mengangkat wajahnya, menatap pemilik suara bernada berat dan dingin itu."Kenapa? Aku berjanji, aku tidak akan m
Megan White duduk di sudut ruangan cafe Au lait, di temani laptop dan ponselnya. Ia mengenakan kaus putih berleher panjang yang dilapisi bomber biru gelap, menambah volume di tubuh kurusnya. Meg—begitu biasanya dia disapa, memilih wash jeans warna senada sebagai bawahan dan menambahkan topi putih dengan lambang NY, menekuk dalam, menutupi hampir separuh wajahnya. "Kamu ingin mereka di ganti?" Baron—sang barista datang untuk menyapa customer VIP. Megan mengernyit bingung.Baron menunjuk piring dan cangkir di atas meja. Dia yakin dua hidangan itu tidak tersentuh sejak diantarkan pramusaji dua jam yang lalu. "Oh," Megan tersenyum tipis begitu menyadari maksud Baron. "It's ok, Baron. Kamu tahu 'kan? Aku tidak suka sesuatu yang panas."Baron mengangguk paham. "Kamu ingin sesuatu yang spesial untuk lunch?"Megan berpikir sejenak. "Kurasa aku merindukan lasagna buatanmu." Matanya melebar begitu membayangkan tiap lapisan pasta ditutupi saus bechamel dengan potongan daging dan sayur.Baron t
"Ngapain kemari pagi-pagi buta?"Riley mengencangkan tali bathrobe yang dikenakannya. "Ada masalah?" Tanyanya penasaran begitu melihat kerutan di kening Allen."Sorry, Bro." Allen meletakkan amplop coklat di atas meja, mengetuk dua kali, memberi tanda agar Riley segera melihatnya. "Ini darurat."Riley mengernyitkan keningnya, meraih amplop dan membukanya. Matanya meneliti setiap kata dalam lembaran kertas yang berisi informasi pribadi Megan."Sepertinya dari awal kalian berdua berjodoh," goda Allen sambil menyesap kopinya dari bibir cangkir."Megan, penulis naskah dalam film yang kita garap bulan ini?"Jadi ini alasannya? Pantas saja, Riley tidak merasa asing, seolah pernah melihat wajah Megan di suatu tempat meski tidak dapat mengingatnya secara spesifik."Ya. Dan satu hal lagi, kita baru saja mengajukan gugatan kepada rumah produksi atas tuduhan kelalaian kerja," tambah Allen.Riley tertawa miris. "Segera cabut gugatannya. Kita bisa terkena masalah baru kalau sampai Megan tahu apa y