"Apakah itu Lucy? Lucy temanku?" Rachel bertanya ketika dia melihat Nicholas menutup telepon. Nicholas menggaruk kepalanya, "Ya...""Mengapa kamu mematikan panggilan?" Rachel semakin curiga."Um, aku hanya sedang tidak ingin bicara," kata Nicholas gugup yang hanya membuat Rachel menyipitkan mata ingin tahu.Telepon Nicholas berdering lagi, Lucy.“Kau masih tidak mau menerimanya juga? Jika kamu tidak memiliki rahasia yang kau simpan, terima telepon dan pasang di pengeras suara agar aku bisa mendengar apa yang kalian bicarakan,” kata Rachel dengan tangan terlipat di dada.Dengan ragu Nicholas menekan tombol hijau,"Nic! Kau gila ya! Kenapa kamu menolak panggilanku? Jadi kau sudah bicara dengan Nenek?! Beritahu Nenek ibuku akan datang malam ini! Okay? Halo? Nico kau di sana kan?"Rachel terperangah, dia menatap Nicholas dengan mata terbelalak."Lucy, apa yang kau bicarakan?""Astaga! Rachel? Apakah itu kau?""Ya, ini aku! Jadi apa yang kalian sembunyikan dariku!” katanya kesal."Lucy, ku
"Rach, haruskah kau membeli sebanyak itu?" kata Nicholas, menatap tumpukan makanan yang dijejalkan Rachel ke dalam bagasi mobil."Julia pasti punya banyak teman di sel nya, bagaimana kita bisa membawanya hanya sedikit makanan? Kau benar-benar pelit!" celoteh Rachel setengah bercanda."Jadi sekarang kau teman dekat Julia atau apa? Kenapa kau begitu peduli padanya padahal dia pernah membahayakan nyawamu," gertak Nicholas saat mengemudikan mobilnya ke Pulau Rikers."Dia sudah bilang maaf, setiap orang selalu punya kesempatan kedua," kata Rachel acuh tak acuh. Dia membuka keripik kentang dan sibuk memasukkannya ke dalam mulutnya.Nicholas tersenyum bangga pada wanita yang duduk di sebelahnya, "Kau selalu mengejutkanku sepanjang waktu, aku tidak menyangka kau bisa bertindak begitu dewasa seperti ini, jangan salahkan aku jika aku akan terus memujimu setiap hari, " ucapnya tulus."Ya Tuhan Nic, kau harus berhenti memujiku! Aku bisa terbang ke langit dan merusak atap mobilmu!" Rachel bercanda
Beberapa minggu kemudian,"Aku tidak percaya diri dengan tubuhku..." bisik Rachel ketika Nicholas mencoba membuka resleting gaunnya. "Jangan merasa seperti itu, kau wanita paling seksi yang pernah kukenal dalam hidupku..." kata Nicholas, mencium bagian belakang lehernya. Gaun Rachel jatuh ke lantai, hanya menyisakan bra dan celana dalam. Dia memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan bibir Nicholas di kulitnya.Dia mengangkatnya dan membaringkannya di tempat tidur dengan lembut. "Kau hanya perlu berbaring dengan santai, aku akan melakukan segalanya..." gumam Nicholas dan mulai menurunkan celana dalam Rachel. "Jangan masuk ke sana, aku tidak ingin kita menyakiti bayi itu," kata Rachel saat Nicholas mulai membenamkan wajahnya di antara pahanya. Nicholas mendongak, dia tersenyum, "Apakah kau merasa tidak nyaman? Maksudku tidak apa-apa, kita bisa melakukannya lain kali?" katanya Nicholas dengan ringan.Rachel berdeham, pipinya memerah, "Entahlah, aku hanya, kau tahu kehamilan ini adalah s
"Hei, kau sudah pulang?" kata Lucy saat Rachel baru saja masuk ke apartemen dengan wajah muram.Rachel tersenyum tipis, "Hei Lucy, kau tidak pergi dengan Charles?" tanyanya, melepas sepatu hak tingginya dan meletakkannya di lemari sepatu."Yup! Charles akan menjemputku sebentar lagi. Rach, ada tiga panggilan hari ini dan ketiganya dari Bank, mereka menagih pinjaman. Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Lucy agak cemas.Rachel mencoba tersenyum, "Ya tentu saja semuanya baik-baik saja! Hanya sedikit terlambat dalam pembayaran, itu saja! Jangan khawatir! Semua akan baik-baik saja," katanya riang.Tapi Lucy tidak terpengaruh, dia menatap Rachel dengan pandangan menyelidik."Kau tidak sedang bokek kan?""Tidak! Aku hanya lupa membayar tagihan, itu saja! Kamu mau Pannacotta? Aku membelinya dalam perjalanan pulang," gumam Rachel mencoba mengubah topik pembicaraan. Lucy mengambil kantong kertas Pannacotta dari Rachel dengan cemberut, "Kau tidak berbohong, kan? Kau tahu kau selalu bisa menga
Rachel terdiam beberapa saat, mencoba mencerna semuanya. Dia memejamkan matanya, mengingat apa yang terjadi tadi malam. Lalu ingatan itu keluar...Saat ia mencondongkan tubuh ke pria yang duduk di sebelahnya, menggigit bibirnya dengan gairah yang tiba-tiba membara. Kemudian bayangan samar mereka berciuman dan meraba-raba satu sama lain melintas di kepalanya membuat pipinya memerah karena malu pada dirinya sendiri. Lift berdenting terbuka, lantai 68, kamar president suite, semuanya tergambar dengan jelas.Ia menggigit bibirnya lebih keras saat ia berhasil mengingat semuanya.Ia ingat ketika ia dengan penuh semangat melepas pakaian pria itu satu per satu dan melompat ke tubuh berototnya. Ia, Rachel Clarke, wanita menyedihkan yang tidak pernah tidur dengan pria mana pun karena terlalu sibuk memilih."Tunggu! Gawat! Bisakah kau minggir sebentar?" katanya gugup meminta pria itu untuk turun dari tempat tidur.Dengan mengantuk pria itu bergerak, ia menutupi bagian bawah tubuhnya dengan banta
Bau antiseptik tercium di udara, mata Rachel berkedut perlahan lalu terbuka lebar."Apakah kau sudah sadar?" tiba-tiba Nicholas Anthony berada di sampingnya."Ah, mengapa kau lagi..." gumamnya, membuang muka dengan kesal.Nicholas Anthony mencibir, satu bibirnya terangkat."Hei dengarkan aku baik-baik, hanya karena apa yang terjadi tadi malam bukan berarti aku menyukaimu, kau tahu apa yang terjadi kan? Aku yakin kamu akan ingat sekarang, kau yang mulai menciumku dan...""Hentikan! Ya Tuhan! Itu terdengar sangat menjijikkan!" Rachel menutup telinganya. Dia tidak menyangkalnya karena dia bisa mengingat semuanya dengan baik sekarang. Dia menutup matanya rapat-rapat, "Aku mabuk tadi malam, oke? Jadi apa pun yang aku lakukan itu ilegal, kau tidak bisa menganggapnya serius!" ia mengoceh tanpa berani menatap mata Nicholas, ia masih malu dengan apa pun yang ia lakukan tadi malam.Nicholas Anthony mengangguk, tangannya terlipat di depan dada."Kau benar, aku tidak bisa menyangkalnya. Oke! Semo
"Ikut aku," kata Nicholas dingin."Aku tidak datang ke sini untukmu," kata Rachel singkat, ia berjalan menjauh dari Nicholas sambil mengepalkan tangannya erat-erat, sebaiknya ia membatalkan niatnya."Kau yakin akan terus bertingkah seperti itu? Aku tahu kau membutuhkan uang cepat, ayolah, jangan terus bersikap kekanak-kanakan, itu tidak akan menyelesaikan masalahmu," gumam Nicholas santai, tangannya terulur untuk menarik tangan Rachel dan membawanya masuk ke dalam gedung apartemen.Rachel menggigit bibirnya, berpikir dengan keras tentang solusi yang mungkin bisa menyelesaikan masalahnya. 'Astaga! Aku benar-benar tidak punya pilihan!' ocehnya dalam tanpa suara."Lepaskan tanganku! Aku lapar, beri aku makanan!" seru Rachel akhirnya. Ia berbalik badan dan berjalan ke lobi apartemen dengan Nicholas berjalan di belakangnya menahan tawanya.Semua orang mengangguk dan tersenyum sopan saat mereka berjalan melintasi lobi. Yah, tentu saja, bagaimana tidak, ia sedang berjalan dengan pemilik gedu
"Dia temanmu?" Nicholas bertanya, menunjuk dagunya ke Trey Cole yang menatap Rachel dengan antusias. Rachel mengerutkan kening, matanya tertuju pada lengan Nicholas yang melingkar di pinggangnya."Rachel?" suara Trey menyadarkannya. Rachel tersenyum kaku, "Trey Cole! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini!" katanya sambil mencoba melepaskan diri dari Nicholas tetapi ia gagal, Nicholas tidak berniat untuk melepaskannya."Ya aku juga, kantorku ada di dekat sini, kau tinggal di gedung ini?" tanya Trey menatap Rachel dengan riang."Tidak, um...""Sayang, kau kan tinggal di sini, begitu kita menikah, tempat ini akan menjadi milikmu juga, mengapa kau masih malu-malu mengakui hal itu..." Nicholas tiba-tiba memotong kata-kata Rachel. Ia menatapnya dengan satu alis terangkat, mengisyaratkannya akan perjanjian yang akan mereka buat, Rachel meringis tetapi tidak mengatakan apa-apa.Trey menganggukkan kepalanya beberapa kali, "Begitukah? Mungkin kita bisa minum bersama kapan-kapan!" ka