Queen mencoba menyelinap ke sisi ruangan yang lebih sepi, dekat meja hidangan, di mana musik orkestra terdengar lebih samar. Ia tidak lapar, tapi mengambil satu tusuk buah hanya agar terlihat sibuk.
Tangan kirinya memegang gelas. Tangan kanan menggantung bebas, jari-jarinya sedikit gemetar karena udara malam dan tekanan pandangan yang tak kunjung padam. Tiba-tiba, sebuah suara berat dan lambat menyapanya. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajah sang istri baru." Seorang pria tua mendekat. Jasnya mahal, dasinya kontras, dan tongkat kayu gelap di tangan kirinya memberi ilusi kelemahlembutan. Tapi mata pria itu seperti mata seseorang yang tidak pernah diajarkan untuk bertanya sebelum mengambil. Queen tersenyum kecil. Ia sudah terlalu lelah untuk menjawab basa-basi. Pria itu berhenti di depannya. “Boleh?” katanya sambil mengulurkan tangan. Queen berpikir dia ingin berjabat. Ia mengulurkan tangan pelan. Tapi pria itu langsung membungkuk, mengarahkannya ke bibir. Queen menariknya. Tidak kasar. Tapi terlalu lambat. Tangan itu sudah sempat disentuh. Bibir itu nyaris menempel. Ada jejak napas di kulit tangannya. Wajah pria itu tidak tersinggung. Hanya tersenyum. “Itu reaksi yang cepat,” katanya, “tapi belum cukup cepat untuk bertahan lama di sini.” Queen menjawab dengan tenang. “Saya akan belajar.” Ia menatapnya lurus, hingga pria itu tertawa kecil, lalu mundur.Tapi saat Queen menoleh, ia tahu. Sultan melihat. Di seberang ruangan, pria itu berdiri kaku. Wajahnya tetap netral, tapi gelas wine di tangannya nyaris patah oleh tekanan jarinya. Gelas itu, kristal tipis, bergetar sedikit, lalu dia letakkan di atas nampan pelayan yang lewat. Queen tidak bisa membaca pikirannya. Tapi tubuhnya berbicara: sesuatu dalam dirinya sedang terbakar. Cemburu? Penghinaan? Kepemilikan yang terusik? Atau hanya ego yang tersinggung karena barang koleksinya disentuh tanpa izin? Queen tidak tahu. Tapi tubuhnya merespon. Bukan takut. Tapi tegang. Sampai acara usah dan di dalam mobil, Sultan tidak langsung bicara. Tapi sebelum mereka turun. Saat itulah Sultan akhirnya bicara. Tanpa menoleh. Tanpa ekspresi. “Gaun itu terlalu pendek untuk pesta keluargaku.” Queen menjawab pelan, “Itu pilihan Dania.” Sultan tidak bereaksi. Hanya mengatur duduknya, lalu menyandarkan tubuh ke sisi mobil, agak miring ke arah Queen. Sorot matanya kini mengarah langsung ke lehernya. Lalu ke bahu. Lalu ke wajah. Ia mendekat. Tidak menyentuh. Tapi cukup dekat untuk aromanya kembali menyusup ke rongga dada Queen, campuran tembakau dan kehendak yang terlalu lama ditahan. Lalu suaranya turun satu oktaf. “Aku tidak suka dipamerkan. Tapi kau membuat semua orang melihat. Jangan ulangi itu.” Queen menahan napas. Jantungnya berdetak tidak karuan. Ia tahu kata-kata itu bukan perintah. Bukan peringatan. Itu pengumuman: mulai hari ini, tubuhmu tidak lagi netral. Setiap inci dari kulitmu adalah wilayah yang harus diawasi. Sultan menarik diri, kembali duduk tegak. Mobil berhenti di depan rumah. Pintu dibuka oleh sopir. Sultan turun lebih dulu, tanpa menoleh. Queen menyusul, nafasnya tertinggal di dalam kabin. Mereka masuk ke dalam rumah, seorang pelayan menyapa mereka dengan lembut, “selamat datang Tuan dan Nyonya.” Sultan melirik gaun yang sedang digunakan Queen, beda dengan sebelumnya, kali ini mata nya benar-benar melihat dari ujung kaki sampai ujung kepala. Setelah itu ia memberi perintah keras pada sang pelayan. “Yanti, pastikan kalau gaun ini dan baju-baju yang tidak pantas ada di lemari baju Nyonya, buang baju ini, bakar kalau perlu.” Sang pelayan mengangguk. Queen masih mematung di tempat. Otak nya tidak berhenti berpikir, jika Sultan tidak suka wanita berbaju sexy, kenapa Dania mengatakan hal sebaliknya. Sang pelayan yang dipanggil Yanti oleh Sultan menghampiri Queen. “ Apakah Nyonya mau saya buatkan sesuatu yang hangat.” Queen tersenyum, “ Tidak usah Yanti, jika saya mau sesuatu, saya akan ambil sendiri, tidak perlu repot.” Wajah Yanti langsung berubah sesaat setelah mendengar jawaban Nyonya baru nya itu. “Jangan Nyonya, jika Tuan Sultan tau kalau Nyonya melakukan pekerjaan rumah sendiri, kami semua akan kena masalah.” wajah Yanti berubah memelas. “Baiklah, jika saya membutuhkan apapun, saya akan minta pada kalian.” Senyum Yanti kembali, “Terima kasih Nyonya atas pengertiannya, selamat beristirahat.” Yanti jalan mundur sebelum berbalik badan dan pergi.Queen duduk di meja kerja kecil di sudut kamar, tangannya memainkan bulu pena hitam yang tergeletak di samping buku agenda kosong.Matanya tertuju pada kalender meja. Kulit sintetis coklat tua. Di dalamnya, halaman-halaman tanggal yang sudah ditandai. Bukan oleh tangannya. Tapi tulisan rapi, hitam, teratur. Tulisan tangan Sultan, ia tahu dari bentuk huruf yang tajam dan miring.Ia membuka halaman minggu ini.Senin, 22.00 – Kewajiban.Kata itu ditulis seperti rapat penting. Tanpa hiasan. Tanpa penjelasan. Tapi berat.Queen menatapnya lama. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan ujung jarinya. “Kewajiban” bisa berarti banyak hal. Tapi dalam konteks pernikahan, apalagi pernikahan yang dikontrak seperti transaksi saham, kata itu hanya punya satu makna.Ia menutup kalender itu pelan. Jam dinding menunjukkan 21.37.Masih ada waktu. Tapi entah kenapa, tubuhnya mulai bersiap seperti seekor rusa yang mencium bau serigala dari kejauhan.Queen berdiri, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan air, m
Queen mencoba menyelinap ke sisi ruangan yang lebih sepi, dekat meja hidangan, di mana musik orkestra terdengar lebih samar. Ia tidak lapar, tapi mengambil satu tusuk buah hanya agar terlihat sibuk.Tangan kirinya memegang gelas. Tangan kanan menggantung bebas, jari-jarinya sedikit gemetar karena udara malam dan tekanan pandangan yang tak kunjung padam.Tiba-tiba, sebuah suara berat dan lambat menyapanya. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajah sang istri baru."Seorang pria tua mendekat. Jasnya mahal, dasinya kontras, dan tongkat kayu gelap di tangan kirinya memberi ilusi kelemahlembutan. Tapi mata pria itu seperti mata seseorang yang tidak pernah diajarkan untuk bertanya sebelum mengambil.Queen tersenyum kecil. Ia sudah terlalu lelah untuk menjawab basa-basi.Pria itu berhenti di depannya. “Boleh?” katanya sambil mengulurkan tangan.Queen berpikir dia ingin berjabat. Ia mengulurkan tangan pelan. Tapi pria itu langsung membungkuk, mengarahkannya ke bibir.Queen menariknya. Tidak kasar.
Pesta keluarga Sultan bukan pesta biasa. Ini adalah pertemuan orang-orang penting, pengusaha, politisi, duta besar, wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seperti pelindung diri. Di tangan mereka ada gelas sampanye. Di mata mereka ada perhitungan. Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dilihat dengan penuh kalkulasi. Mereka menilai tinggi badannya. Lengkung gaunnya. Senyumnya yang tidak muncul. Tumitnya yang tidak terlalu tinggi. Caranya berjalan yang terlalu pelan atau terlalu ragu. Sultan melangkah lurus ke tengah kerumunan, lalu berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri, di samping patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sebuah dekorasi. Seorang wanita tua mendekatinya. Bergaun ungu gelap, rambut keperakan, dan bibir tipis yang digigit sebelum bicara. “Kamu istri barunya?” katanya, seperti bertanya cuaca. Queen mengangguk kecil. “Ya, Bu.” Wanita itu tertawa pelan. “Dulu dia bawa aktris. Sebelumnya pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik
Ruang itu terlalu terang untuk pagi hari. Dinding putih bersih, kaca besar dari lantai ke langit-langit, dan meja rias penuh kuas, palet warna, dan parfum mahal. Tapi tak ada cermin besar. Lagi-lagi, tidak ada bayangan diri. Hanya pantulan-pantulan kecil di permukaan logam dan botol kaca. Queen duduk di kursi rias, tangannya saling menggenggam di pangkuan, tubuhnya dililit jubah mandi satin yang terlalu longgar. Kulit bahunya terasa dingin di bawah AC. Dania berdiri di belakangnya. Hari ini, rambutnya digelung tinggi dan bibirnya merah marun. Wajahnya seperti selalu berada di ambang senyum atau penghinaan, dan keduanya bisa keluar tanpa peringatan. “Kita hanya punya waktu dua jam,” katanya, sambil memutar hanger yang tergantung di tangannya. Tiga gaun. Semua putih atau gading. Semua tipis. Semua terlalu terbuka. Queen menatapnya diam. Dania mengangkat satu gaun dengan tangan kiri. Bahannya seperti kabut, ringan, berkilau samar, tanpa tali bahu. Belahan punggungnya menjulur h
Pintu kamar itu tidak terkunci, tapi terasa seperti tidak akan pernah benar-benar terbuka untuknya. Queen berdiri di ambang ruangan yang luas dan sunyi. Lantainya dari marmer pucat, dingin meski tidak disentuh langsung. Dindingnya kelabu muda, dengan satu lukisan abstrak besar di atas ranjang. Tak ada jendela. Hanya pintu kaca tinggi mengarah ke balkon kecil, tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ranjang king. Sprei putih. Dua bantal. Tidak ada lipatan. Seperti tempat ini belum pernah dihuni. Queen melangkah masuk. Langkahnya nyaris tak berbunyi, tapi tubuhnya terasa seperti berisik hanya dengan bernapas. Ia menaruh tas kecil di atas kursi, lalu menatap sekeliling. Tak ada koper. Tak ada pakaian. Tak ada foto. Bahkan tak ada cermin. Ia berjalan ke pojok, membuka lemari tinggi. Di dalam tergantung pakaian wanita, semuanya pas ukurannya. Semuanya baru. Tak satu pun miliknya. Queen membuka laci. Pakaian dalam baru, masih berlabel. Lalu ia berdiri, mematung. Kamar mandi menyala
Sultan berdiri. Tinggi badannya seperti mendominasi seluruh ruang. Ia mengenakan jam tangan hitam dengan jarum emas, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Rapi. Seperti arsitek dari segala hal yang terjadi hari ini. Ia melangkah mendekat. Pelan. Tapak sepatunya berbunyi pelan di atas karpet tebal, tapi setiap langkah terasa seperti detak jam mundur ke sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Queen tetap duduk. Tak bergerak. Sultan berhenti di belakang kursinya. Napas Queen menahan diri. Tangannya masih di atas paha, kaku. Lalu pria itu menunduk, dan tanpa menyentuhnya, membisikkan satu kalimat ke telinganya, begitu dekat hingga Queen bisa mencium aroma parfum kayu dan tembakau ringan dari napasnya. “Mulai sekarang, jangan buat aku mengulang perintah dua kali. Paham.” Hanya itu. Lalu ia berdiri kembali. Dan berjalan keluar dari ruangan, pintu dibuka oleh seseorang yang Queen tidak sempat liha wajahnya. Queen masih duduk di kursi itu. Tangannya perlahan mengepal di a