Share

bab 8

Author: Dannisa Idris
last update Last Updated: 2025-08-07 00:39:18

Queen duduk di meja kerja kecil di sudut kamar, tangannya memainkan bulu pena hitam yang tergeletak di samping buku agenda kosong.

Matanya tertuju pada kalender meja. Kulit sintetis coklat tua. Di dalamnya, halaman-halaman tanggal yang sudah ditandai. Bukan oleh tangannya. Tapi tulisan rapi, hitam, teratur. Tulisan tangan Sultan, ia tahu dari bentuk huruf yang tajam dan miring.

Ia membuka halaman minggu ini.

Senin, 22.00 – Kewajiban.

Kata itu ditulis seperti rapat penting. Tanpa hiasan. Tanpa penjelasan. Tapi berat.

Queen menatapnya lama. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan ujung jarinya. “Kewajiban” bisa berarti banyak hal. Tapi dalam konteks pernikahan, apalagi pernikahan yang dikontrak seperti transaksi saham, kata itu hanya punya satu makna.

Ia menutup kalender itu pelan. Jam dinding menunjukkan 21.37.

Masih ada waktu. Tapi entah kenapa, tubuhnya mulai bersiap seperti seekor rusa yang mencium bau serigala dari kejauhan.

Queen berdiri, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan air, membasuh wajah. Lalu membuka laci lemari. Di dalamnya, pakaian dalam baru. Ia mengambil satu set yang paling netral. Putih gading. Tidak terlalu menggoda. Tidak terlalu polos. Seperti dia.

Lalu, ia menunggu. Jam menunjukkan 21.51.

Angin dari AC bergerak pelan, membawa aroma kayu dan sabun. Sepuluh menit kemudian, pintu terbuka perlahan. Sultan masuk. Tubuhnya gelap dilatari cahaya koridor.

Queen tidak berdiri saat Sultan masuk. Ia hanya mengangkat pandangannya, matanya bertemu cahaya sebentar sebelum pria itu menutup pintu dan membawa kegelapan kembali ke kamar.

Sultan mengenakan kemeja putih yang tidak dikancingkan sepenuhnya, lengan dilipat ke siku. Celana hitamnya masih rapi. Sepatunya sudah dilepas di luar.

Queen tidak tahu apakah ia harus menyapa. Tapi instingnya mengatakan ini bukan ruang untuk sapaan.

Sultan tidak bicara. Ia berjalan ke sisi ranjang. Ia berdiri di hadapan Queen. Mata mereka bertemu. Bukan dengan gairah. Bukan rasa malu. Tapi dengan satu kesepahaman sunyi, tubuh ini bukan lagi milik pribadi. Malam ini, semuanya sesuai agenda.

Sultan membuka kancing kemejanya, satu per satu, melepasnya, meletakkannya di ujung ranjang.

Queen masih diam. Masih menatap. Masih duduk. 

Sultan berkata hanya dua kata, seperti aba-aba, “Berbaring. Sekarang.” Suaranya datar. Tidak dingin. Tidak kasar.

Queen mematuhi. Ia membaringkan tubuhnya di sisi kiri ranjang, kepala di bantal, tangan di atas selimut. Dadanya naik turun pelan. Tubuhnya kaku, tapi tidak menolak.

Sultan naik ke ranjang. Napas Queen menahan diri. Jantungnya pelan, tapi keras.

Sultan mendekat. Dan untuk pertama kalinya kulit mereka saling menyentuh.

Ranjang tidak berbunyi. Bahkan ketika tubuh Sultan menekan perlahan di sisi Queen. Gerakannya seperti seseorang yang sudah melakukan ini ratusan kali. Terlatih. Tidak ada getaran. Tidak ada keinginan yang terlihat.

Ia menyentuh leher Queen lebih dulu. Bukan seperti pria mencumbu. Tapi seperti dokter mencari denyut nadi. Jari-jarinya dingin, ujungnya keras, telapak tangannya kering dan hangat.

Queen memejamkan mata.

Sultan menelusuri garis tulang selangka. Lalu bahunya. Lalu turun, membuka bagian atas gaun tidur perlahan, hingga tali tipis tergelincir begitu saja dari bahu Queen.

Ia tidak mencium. Tidak berbisik. Tidak memuji. Jari-jarinya menyentuh sisi payudara Queen, lalu turun ke perut. Ia tidak terburu-buru. Tapi juga tidak memberi ruang.

Queen berbaring diam, nafasnya pendek. Tangannya mengepal di atas seprai. Bukan karena sakit. Bukan karena takut. Tapi karena tubuhnya bingung apakah harus menolak atau hanya menonton dirinya sendiri disentuh seperti lembaran kertas yang sedang dibaca seseorang untuk menghafal isi, bukan menikmatinya.

Sultan naik ke atas tubuhnya. Tidak ada kata. Ia masuk perlahan.

Queen membuka mata, tapi tidak melihat apa pun. Pandangannya ke langit-langit, tapi bukan itu yang ia lihat. Ia sedang melihat dirinya sendiri, dari luar.

Tubuhnya terasa hangat. Tidak sakit. Tapi asing.

Sultan mulai bergerak.

Napasnya tetap teratur. Tidak berat. Tidak terengah. Seolah ia hanya sedang menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Tidak ada gairah yang tumbuh, tapi juga tidak ada kekerasan. Hanya irama yang ia tetapkan sendiri.

Queen menahan nafas beberapa detik. Tapi kemudian menghela pelan. Satu-satunya suara di kamar itu adalah detak jam digital dan suara nafas.

Queen merasakan setiap gerakan Sultan, bukan di kulitnya, tapi di ruang antara tubuh dan kesadarannya. Seperti air yang menetes perlahan di lantai kosong. Tidak keras. Tidak panas. Tapi menimbulkan gema.

Pinggul Sultan bergerak dalam ritme yang nyaris terlalu sempurna. Tidak tergesa, tidak penuh emosi. Ia tahu ke mana harus menyentuh, seberapa dalam harus masuk, seberapa cepat harus mengganti irama.

Queen memejamkan mata, tapi pikirannya tetap terbuka. Ia tidak memikirkan tubuhnya. Ia memikirkan jarak. Jarak antara napas Sultan dan kulitnya. Jarak antara kepalanya dan dinding. Jarak antara siapa dirinya, dan siapa dia sekarang.

Sentuhan di pinggangnya. Di paha. Di pangkal leher. Ia merasa. Tapi tidak merespons. Bukan karena takut. Tapi karena tidak ada yang dipanggil.

Tubuhnya berjalan di atas rel yang dibuat oleh tangan Sultan, dan ia membiarkannya, karena menolak tidak akan membuatnya kembali utuh. Tapi mengikuti pun tidak membuatnya lebih dekat.

Di titik tertentu, Sultan mempercepat gerakannya. Sedikit. Tidak liar. Tidak keras. Tapi cukup membuat tubuh Queen terayun. Payudaranya berguncang kecil. Nafasnya mulai terdengar.

Bukan karena kenikmatan. Tapi karena kesadaran ini sedang terjadi. Mereka sedang bercinta. Tapi tak ada cinta. Tak ada gairah. Bahkan, tak ada kebencian.

Yang ada hanya kesepakatan sunyi bahwa aku menyerahkan tubuhku, kau ambil dengan caramu

Saat Sultan mencapai klimaksnya, ia tidak mengerang. Tidak mengejan. Hanya satu tarikan nafas dalam, lalu diam. Ia bertahan sejenak di dalam Queen, lalu perlahan menarik diri.

Queen membuka mata. Langit-langit tetap sama. Tapi dirinya tidak.

Setelah selesai, Sultan tidak bicara. Ia berdiri, merapikan baju, lalu pergi meninggalkan kamar. Queen tetap di ranjang, merasa lebih kosong dari sebelumnya.

Sultan menarik diri tanpa suara. Tidak menyentuh wajah Queen. Tidak mencium. Tidak bahkan memandang.

Sultan duduk di sisi ranjang, punggung membelakangi Queen, mengangkat celananya perlahan, mengancingkannya kembali dengan ketenangan seseorang yang habis mengikat dasi, bukan habis memasuki tubuh orang lain. Ia berdiri. Menarik kembali kemejanya dari tepi ranjang. Mengenakannya. Lengan demi lengan. Tidak tergesa.

Queen belum bergerak. Gaun tidurnya separuh terbuka, sebagian tersingkap di pahanya, tapi tubuhnya tetap terdiam. Ia bahkan tidak tahu apakah ia masih bernapas.

Sultan berjalan ke arah pintu. Tangannya menyentuh gagang. Sebelum ia membuka, ia berkata. Tanpa menoleh, “Satu kali cukup. Kau tidak punya hak jika ingin lebih, aku yang menentukan.”

Lalu pintu terbuka. Dan tertutup lagi. Queen tetap di tempatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   bab 8

    Queen duduk di meja kerja kecil di sudut kamar, tangannya memainkan bulu pena hitam yang tergeletak di samping buku agenda kosong.Matanya tertuju pada kalender meja. Kulit sintetis coklat tua. Di dalamnya, halaman-halaman tanggal yang sudah ditandai. Bukan oleh tangannya. Tapi tulisan rapi, hitam, teratur. Tulisan tangan Sultan, ia tahu dari bentuk huruf yang tajam dan miring.Ia membuka halaman minggu ini.Senin, 22.00 – Kewajiban.Kata itu ditulis seperti rapat penting. Tanpa hiasan. Tanpa penjelasan. Tapi berat.Queen menatapnya lama. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan ujung jarinya. “Kewajiban” bisa berarti banyak hal. Tapi dalam konteks pernikahan, apalagi pernikahan yang dikontrak seperti transaksi saham, kata itu hanya punya satu makna.Ia menutup kalender itu pelan. Jam dinding menunjukkan 21.37.Masih ada waktu. Tapi entah kenapa, tubuhnya mulai bersiap seperti seekor rusa yang mencium bau serigala dari kejauhan.Queen berdiri, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan air, m

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 7

    Queen mencoba menyelinap ke sisi ruangan yang lebih sepi, dekat meja hidangan, di mana musik orkestra terdengar lebih samar. Ia tidak lapar, tapi mengambil satu tusuk buah hanya agar terlihat sibuk.Tangan kirinya memegang gelas. Tangan kanan menggantung bebas, jari-jarinya sedikit gemetar karena udara malam dan tekanan pandangan yang tak kunjung padam.Tiba-tiba, sebuah suara berat dan lambat menyapanya. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajah sang istri baru."Seorang pria tua mendekat. Jasnya mahal, dasinya kontras, dan tongkat kayu gelap di tangan kirinya memberi ilusi kelemahlembutan. Tapi mata pria itu seperti mata seseorang yang tidak pernah diajarkan untuk bertanya sebelum mengambil.Queen tersenyum kecil. Ia sudah terlalu lelah untuk menjawab basa-basi.Pria itu berhenti di depannya. “Boleh?” katanya sambil mengulurkan tangan.Queen berpikir dia ingin berjabat. Ia mengulurkan tangan pelan. Tapi pria itu langsung membungkuk, mengarahkannya ke bibir.Queen menariknya. Tidak kasar.

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 6

    Pesta keluarga Sultan bukan pesta biasa. Ini adalah pertemuan orang-orang penting, pengusaha, politisi, duta besar, wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seperti pelindung diri. Di tangan mereka ada gelas sampanye. Di mata mereka ada perhitungan. Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dilihat dengan penuh kalkulasi. Mereka menilai tinggi badannya. Lengkung gaunnya. Senyumnya yang tidak muncul. Tumitnya yang tidak terlalu tinggi. Caranya berjalan yang terlalu pelan atau terlalu ragu. Sultan melangkah lurus ke tengah kerumunan, lalu berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri, di samping patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sebuah dekorasi. Seorang wanita tua mendekatinya. Bergaun ungu gelap, rambut keperakan, dan bibir tipis yang digigit sebelum bicara. “Kamu istri barunya?” katanya, seperti bertanya cuaca. Queen mengangguk kecil. “Ya, Bu.” Wanita itu tertawa pelan. “Dulu dia bawa aktris. Sebelumnya pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 5

    Ruang itu terlalu terang untuk pagi hari. Dinding putih bersih, kaca besar dari lantai ke langit-langit, dan meja rias penuh kuas, palet warna, dan parfum mahal. Tapi tak ada cermin besar. Lagi-lagi, tidak ada bayangan diri. Hanya pantulan-pantulan kecil di permukaan logam dan botol kaca. Queen duduk di kursi rias, tangannya saling menggenggam di pangkuan, tubuhnya dililit jubah mandi satin yang terlalu longgar. Kulit bahunya terasa dingin di bawah AC. Dania berdiri di belakangnya. Hari ini, rambutnya digelung tinggi dan bibirnya merah marun. Wajahnya seperti selalu berada di ambang senyum atau penghinaan, dan keduanya bisa keluar tanpa peringatan. “Kita hanya punya waktu dua jam,” katanya, sambil memutar hanger yang tergantung di tangannya. Tiga gaun. Semua putih atau gading. Semua tipis. Semua terlalu terbuka. Queen menatapnya diam. Dania mengangkat satu gaun dengan tangan kiri. Bahannya seperti kabut, ringan, berkilau samar, tanpa tali bahu. Belahan punggungnya menjulur h

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 4

    Pintu kamar itu tidak terkunci, tapi terasa seperti tidak akan pernah benar-benar terbuka untuknya. Queen berdiri di ambang ruangan yang luas dan sunyi. Lantainya dari marmer pucat, dingin meski tidak disentuh langsung. Dindingnya kelabu muda, dengan satu lukisan abstrak besar di atas ranjang. Tak ada jendela. Hanya pintu kaca tinggi mengarah ke balkon kecil, tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ranjang king. Sprei putih. Dua bantal. Tidak ada lipatan. Seperti tempat ini belum pernah dihuni. Queen melangkah masuk. Langkahnya nyaris tak berbunyi, tapi tubuhnya terasa seperti berisik hanya dengan bernapas. Ia menaruh tas kecil di atas kursi, lalu menatap sekeliling. Tak ada koper. Tak ada pakaian. Tak ada foto. Bahkan tak ada cermin. Ia berjalan ke pojok, membuka lemari tinggi. Di dalam tergantung pakaian wanita, semuanya pas ukurannya. Semuanya baru. Tak satu pun miliknya. Queen membuka laci. Pakaian dalam baru, masih berlabel. Lalu ia berdiri, mematung. Kamar mandi menyala

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 3

    Sultan berdiri. Tinggi badannya seperti mendominasi seluruh ruang. Ia mengenakan jam tangan hitam dengan jarum emas, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Rapi. Seperti arsitek dari segala hal yang terjadi hari ini. Ia melangkah mendekat. Pelan. Tapak sepatunya berbunyi pelan di atas karpet tebal, tapi setiap langkah terasa seperti detak jam mundur ke sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Queen tetap duduk. Tak bergerak. Sultan berhenti di belakang kursinya. Napas Queen menahan diri. Tangannya masih di atas paha, kaku. Lalu pria itu menunduk, dan tanpa menyentuhnya, membisikkan satu kalimat ke telinganya, begitu dekat hingga Queen bisa mencium aroma parfum kayu dan tembakau ringan dari napasnya. “Mulai sekarang, jangan buat aku mengulang perintah dua kali. Paham.” Hanya itu. Lalu ia berdiri kembali. Dan berjalan keluar dari ruangan, pintu dibuka oleh seseorang yang Queen tidak sempat liha wajahnya. Queen masih duduk di kursi itu. Tangannya perlahan mengepal di a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status