Mag-log in“Pagi, Nyonya,” suara Dania terdengar dari belakang sebelum Queen sempat benar-benar membuka mata.
Queen mendapati dirinya duduk di kursi rias yang sudah penuh peralatan makeup dan parfum. Dinding putih bersih, kaca besar dari lantai ke langit-langit, tapi lagi-lagi, tak ada cermin besar. Ia mengamati sekeliling, menggumam, “Rumah sebesar ini, tapi aku belum melihat wajah sendiri dari cermin penuh, menarik sekali.” Dania, rambutnya digelung rapi tinggi dan bibirnya merah marun, tersenyum samar. “Kalau Nyonya mau lihat diri sendiri, cukup percaya saja dari reaksi orang lain. Kadang lebih jujur daripada cermin.” Queen menoleh. “Kedengarannya seperti nasihat yang dibungkus sindiran. “Kalau Nyonya mau menganggap begitu, silakan.” Dania mengangkat tiga hanger di tangannya. Semua gaun berwarna putih dan gading. Semua tipis dan terbuka. Queen mengernyit. “Tidak ada pilihan lain?” “Tidak untuk malam ini,” jawab Dania. Ia mengangkat salah satunya, gaun tanpa tali bahu, punggung terbuka sampai hampir ke pinggul. “Yang ini favorit Tuan.” Queen menatapnya tajam. “Favorit karena?” “Beliau lebih suka punggung daripada wajah. Jangan salah paham, Nyonya. Itu bukan hinaan. Itu preferensi.” Queen berdiri, meraih gaun itu dari tangannya. “Kalau begitu aku pilih sendiri. Setidaknya aku yang memutuskan bagian tubuh mana yang ingin diiklankan.” Dania mengangkat alis, tapi tidak berkomentar. Queen masuk ke ruang ganti. Setelah beberapa menit, ia keluar mengenakan gaun yang pas di tubuhnya. Rasanya seperti dibuat khusus, tapi tetap terlalu terbuka. Dania mendekat, merapikan letak rambut Queen agar leher dan punggung terlihat jelas. “Ingat, Nyonya. Malam ini, semua akan menguji Anda.” Queen menatap pantulan kecil di botol parfum di meja rias. “Dan kamu, Dania? Kau di pihak siapa?” Dania menatapnya lewat pantulan itu juga. “Aku di pihak yang bisa membuatku tetap bertahan di posisi saya saat ini.” Sebelum Queen sempat membalas, seorang pria besar berbaju hitam masuk. “Nyonya, mobil sudah siap. Tuan menunggu di dalam.” Queen melangkah ke luar. Di depan mansion, mobil hitam mewah terparkir. Pintu dibuka sopir, “Silakan, Nyonya.” Ia masuk. “Maaf sudah menunggu,” katanya singkat. Sultan tidak menoleh. “Kita tepat waktu.” Mobil melaju. Queen meliriknya dari sudut mata, setelan hitam, dasi tipis, wajah tanpa ekspresi. Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah rumah kaca tinggi dikelilingi taman rapi dan air mancur kecil. Lampu-lampu temaram membuatnya tampak mengundang sekaligus mengintimidasi. Angin malam menyentuh kulit terbuka di punggung Queen, membuatnya refleks menegakkan tubuh. Sultan turun lebih dulu, langkahnya mantap. Queen mengikut di belakang. Ia sempat ingin menarik lengan jasnya agar berjalan berdampingan, tapi menahan diri. Begitu mereka masuk, suara percakapan di dalam ruangan mereda. Semua mata langsung beralih pada mereka. Pesta ini bukan pesta biasa. Lebih seperti ruang pertemuan kekuasaan. Pengusaha, politisi, duta besar, hingga wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seolah itu perisai mereka. Gelas sampanye di tangan, kalkulasi di mata. Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dihitung, dari tinggi badannya, lengkung gaunnya, tumit sepatunya, hingga jarak antara senyumnya dan matanya. Sultan berjalan lurus ke tengah kerumunan. Begitu sampai di lingkaran para pria penting, ia berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri di dekat patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sekadar dekorasi. Seorang wanita tua bergaun ungu mendekat. “Kamu istri barunya?” tanyanya datar, seperti menanyakan cuaca. Queen mengangguk sopan. “Ya, Bu.” Wanita itu tersenyum tipis. “Dulu dia bawa aktris. Pernah pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik.” Queen mencoba tersenyum, tapi bibirnya dingin. Wanita itu menyeruput minumannya lalu pergi, meninggalkan aroma alkohol dan penilaian yang belum selesai. Merasa seluruh tubuhnya seperti sedang dipindai, Queen bergeser ke sudut dekat tanaman tinggi. Tapi bahkan di sana, ia bisa merasakan tatapan. Dari seberang ruangan, Sultan sedang berbicara dengan dua pria. Namun matanya tidak lepas dari Queen. Tatapan itu tidak marah, tidak hangat, tapi penuh tekanan diam. Tatapan yang menuntut. Queen menyesap air putih hanya untuk memberi alasan tetap berdiri. Namun sebelum ia sempat menenangkan diri, suara ramah namun terlalu dipoles terdengar di sampingnya. “Selamat malam, Nyonya Sultan,” sapa seorang pria paruh baya. “Tak menyangka… begini rupanya.” Queen mengangkat alis. “Begini bagaimana, Pak?” “Tidak seperti yang kami bayangkan. Tapi jelas lebih cantik.” Tangannya bergerak pelan, hampir menyentuh pergelangan tangan Queen. Queen memundurkan tangannya sepersekian detik lebih cepat dari sentuhan itu. Sopannya cukup untuk tidak menimbulkan keributan, tegasnya cukup untuk memberi batas. Pria itu terkekeh. “Ah, masih belajar bagaimana jadi milik publik.” Queen hanya tersenyum tipis. Tiba-tiba, bayangan tubuh lain berdiri di sampingnya. Sultan. Tanpa bicara, tangannya meraih pinggang Queen, menariknya sedikit lebih dekat ke sisinya. Genggaman itu tidak kasar, tapi tegas, cukup membuat pria tadi mundur selangkah. “Malam ini, istri saya hanya bicara dengan orang yang saya perkenalkan,” ucap Sultan tenang, tapi nadanya berat. Pria itu tersenyum kaku, memberi salam kecil, lalu pergi. Queen menoleh sedikit. “Kalau tadi kamu mau, kamu bisa saja langsung panggil aku dari seberang.” Sultan tidak melihatnya. “Tidak semua hal perlu teriak dari jauh. Beberapa hal harus dipegang dekat.” Jemarinya di pinggang Queen baru terlepas setelah ia memandunya berjalan melewati kerumunan. Sepanjang langkah mereka, Queen bisa merasakan tatapan-tatapan lain, kali ini bukan menilai, tapi mengamati. Entah mengamati hubungan mereka atau kekuatan siapa yang sedang dipertontonkan.Sultan berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tenang, seperti biasa.Matanya segera tertuju pada dua koper besar di lantai. Ia melangkah masuk, lalu menatap Queen yang berdiri di sisi meja rias.“Cepat juga kamu beres-beresnya,” ucap Sultan sambil menutup pintu di belakangnya.Queen menoleh pelan, bibirnya melengkung kecil. “Aku dibantu Nala. Dan sebagian lagi,” ia menatap koper pria di sebelahnya, “,aku siapkan sendiri.”Sultan menaikkan satu alis, lalu mendekat. “Pakaian aku?”“Hmm.” Queen mengangguk, mencoba terdengar santai. “Kalau kubiarkan kamu yang pilih, pasti ujungnya hanya dua kemeja dan satu celana panjang.”Sultan tertawa kecil, suara rendahnya memenuhi ruangan. “kamu sudah hafal.” Ia berhenti tepat di depan Queen, lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, antara kagum, canggung, dan lembut sekaligus.“Terima kasih,” katanya pelan, namun tulus.Queen menunduk sedikit, pura-pura si
Mobil berhenti di depan rumah mereka. Lampu-lampu di teras sudah menyala lembut, menandakan seseorang menunggu. Begitu pintu terbuka, Sultan keluar lebih dulu, langkahnya mantap namun terlihat sedikit tergesa. Dari arah dalam, Patra sudah berdiri di depan pintu bersama Nala yang membawa tablet dan beberapa map di tangan.“Selamat datang, Tuan, Nyonya,” sapa Nala sopan sambil sedikit menunduk.Patra menambahkan, “Saya baru saja sampai, Tuan. Sudah saya koordinasikan semua sesuai instruksi.”Sultan mengangguk cepat. “Bagus. Kita berangkat besok pagi. Aku mau lihat dulu laporan dari lokasi Lombok.” Tanpa banyak basa-basi, Sultan langsung berjalan masuk ke rumah, Patra mengikuti di belakangnya dengan wajah serius dan tablet menyala di tangan.Queen masih berdiri di depan mobil, memandangi dua orang itu masuk rumah lebih dulu sebelum menoleh ke arah Nala.“Nala, kamu ikut juga?” tanya Queen, suaranya terdengar lembut tapi penasaran.Nala tersenyum kecil. “Iya, Nyonya. Semua sudah diatur. T
Begitu mereka kembali ke ruang makan, aroma nasi goreng dan sambal udang masih memenuhi udara. Vanda yang sedang menyiapkan potongan buah langsung menoleh dan tersenyum melihat keduanya datang.“Lama sekali teleponnya,” ucapnya ringan, tapi matanya menatap Queen penuh tanya. “Semuanya baik-baik saja, kan?”Queen tersenyum kecil sambil duduk kembali di kursinya. “Baik, Mi. Cuma urusan kantor, nggak terlalu besar.”Sultan ikut duduk di sampingnya, kali ini ekspresinya sudah jauh lebih tenang. Gala mengangguk pelan, lalu berkata sambil menatap Sultan, “Urusan kantor memang nggak ada habisnya. Tapi jangan sampai lupa makan, itu yang penting.”“Tenang, Papi,” jawab Sultan dengan senyum singkat. “Saya sudah janji tidak akan lewatkan makan buatan Mami.”Vanda tersenyum bangga, lalu mendorong piring berisi potongan buah ke arah Sultan. “Bagus. Setelah ini makan buah, biar sehat. Tapi wajah kamu kayaknya tegang, ada masalah besar?”Sebelum Sultan sempat menjawab, Queen menyela cepat, nada suar
Suasana meja makan perlahan mulai tenang. Piring-piring sudah hampir kosong, hanya tersisa beberapa butir nasi dan sisa kerupuk udang yang hancur di sudut meja. Udara hangat dari dapur bercampur dengan aroma nasi goreng dan tawa kecil yang masih menggantung di ruangan.Gala menyandarkan punggungnya ke kursi, menepuk perut dengan puas. “Sudah lama nggak makan seramai ini. Rasanya beda kalau semuanya kumpul begini.”Queen tersenyum. “Mami memang jago masak. Aku sampai lupa kalau ini udah piring kedua.”Vanda menatap putrinya dengan pandangan penuh sayang. “Makan yang banyak nggak apa-apa, Mami senang lihat kamu makan lahap begitu.”Kai yang duduk di seberang langsung nyeletuk. “Kalau tiap kali pulang Kakak sama Abang makan segitu banyak, bisa-bisa Mami tambah semangat masak tiap hari.”“Boleh juga,” sahut Vanda sambil terkekeh. “Asal kamu bantu cuci piringnya, Kai.”Tawa ringan kembali terdengar. Tapi di tengah kehangatan itu, ponsel Sultan bergetar di meja, suara getarnya terdengar jel
Vanda muncul dari dalam membawa piring kecil berisi pisang goreng hangat. “Kalian ini sudah ngobrol dari tadi belum sarapan benar,” katanya sambil meletakkan piring di meja. “Ayo makan, biar nggak masuk angin.”Queen bangkit cepat membantu Mami nya, mengambilkan tisu dan piring kecil. “Aku bantu, Mi.”Vanda melirik dengan senyum menggoda. “Akhirnya anak Mami ini bisa juga bantu.”“Biasanya sibuk urusan sendiri,” sela Gala, membuat Queen melotot manja. Mereka semua tertawa.Sultan ikut mengambil sepotong pisang goreng dan mencicipinya. “Ini enak sekali, Mi. Lembut.”Vanda tersenyum senang. “Kalau suka, nanti Mami bawakan untuk kalian pulang ke rumah. Tapi janji, Queen harus belajar bikin juga.”Queen menatap Maminya pura-pura kesal. “Mami selalu menyeret aku ke dapur.”“Ya, biar Sultan tahu istrinya bukan cuma jago tanda tangan sama baca laporan,” jawab Vanda cepat. Mereka semua tertawa lagi, dan tawa itu menggema di halaman, ringan, jujur, dan penuh rasa sayang.Kai muncul dari dalam
Queen membuka mata perlahan. Cahaya matahari sudah menembus tirai kamarnya, membuat ruangan terang. Tangannya meraba sisi kasur, kosong. Ia langsung terangkat, menatap sekeliling.“Eh?” gumamnya, sedikit kaget karena Sultan tidak ada.Ia bangkit perlahan, menyampirkan cardigan tipis, lalu melangkah keluar kamar lamanya. Aroma masakan khas rumah memenuhi udara. Dari arah dapur, terdengar suara Vanda.“Baru bangun, Queen?” suara Vanda terdengar agak kesal.Queen menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu tersenyum canggung. “Iya, Mi. Tadi malam agak susah tidur.”Vanda menatapnya tajam sambil menyilangkan tangan di dada. “Kamu sudah jadi istri orang, jangan kebiasaan bangun siang. Lihat tuh, Sultan dari subuh sudah ikut olahraga sama Papi di halaman.”Mata Queen membesar. “Sultan? Sama Papi?”“Ya, masa sama kucing?” Mami menyahut cepat. “Dari pagi mereka sudah di halaman belakang. Kamu malah molor.”Queen terdiam, masih berusaha membayangkan sosok Sultan yang biasanya kaku dan serius







