Share

BAB 6

Penulis: Dannisa Idris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-07 00:25:23

Pesta keluarga Sultan bukan pesta biasa. Ini adalah pertemuan orang-orang penting, pengusaha, politisi, duta besar, wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seperti pelindung diri. Di tangan mereka ada gelas sampanye. Di mata mereka ada perhitungan.

Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dilihat dengan penuh kalkulasi. Mereka menilai tinggi badannya. Lengkung gaunnya. Senyumnya yang tidak muncul. Tumitnya yang tidak terlalu tinggi. Caranya berjalan yang terlalu pelan atau terlalu ragu.

Sultan melangkah lurus ke tengah kerumunan, lalu berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri, di samping patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sebuah dekorasi.

Seorang wanita tua mendekatinya. Bergaun ungu gelap, rambut keperakan, dan bibir tipis yang digigit sebelum bicara.

“Kamu istri barunya?” katanya, seperti bertanya cuaca.

Queen mengangguk kecil. “Ya, Bu.”

Wanita itu tertawa pelan. “Dulu dia bawa aktris. Sebelumnya pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik.”

Queen mencoba tersenyum. Tapi bibirnya terlalu dingin.

Wanita itu menyeruput minumannya lalu berjalan pergi, meninggalkan aroma alkohol dan penilaian yang belum selesai.

Queen merasa seluruh kulitnya sedang ditimbang. Tapi tidak dengan tangan. Dengan mata. Dengan asumsi. Dengan sejarah Sultan yang menempel di pundaknya kini.

Ia melangkah ke pojok ruangan, di dekat tanaman tinggi yang menyamarkan tubuhnya sedikit. Ia mencuri napas. Tapi sebelum sempat menenangkan diri, ia sadar, mata itu masih mengawasinya.

Dari seberang ruangan, Sultan berdiri sambil berbicara dengan dua pria. Tapi matanya tidak pernah benar-benar berpaling dari Queen.

Tatapannya tidak marah. Tidak hangat. Tidak memanggil. Tapi penuh tekanan diam.

Seolah ia tidak sedang melihat istrinya, melainkan hasil karya yang belum dipoles cukup.

Sepanjang pesta, Sultan tidak bicara pada Queen. Tapi dari jauh, pandangannya terus mengikuti. Tatapan dingin dan dalam, tidak seperti pasangan. Seperti penilai.

Queen menyesap air putih dari gelas kristal yang nyaris kosong, hanya sebagai alasan untuk tetap berdiri tanpa harus berbicara. Tangannya basah, bukan karena es batu, melainkan karena telapak yang berkeringat. Udara malam seharusnya sejuk, tapi kulitnya terasa panas di tempat-tempat tertentu, di bagian punggung yang terbuka, di bawah tulang belikat, di tengkuk. Di tempat yang mungkin, atau pasti, sedang diperhatikan.

Sultan tetap di seberang ruangan. Tapi Queen tahu, dari gerakan mikro matanya, bahwa pria itu belum berhenti melihat.

Dia tidak mengamati. Dia mengukur.

Pandangan Sultan tidak seperti pria yang sedang menikmati keindahan. Bukan tatapan kekasih, bukan suami yang terpesona, bukan lelaki yang cemburu. Tapi seperti juri galeri yang sedang menilai apakah lukisan baru ini pantas digantung di ruang utama, atau hanya cukup disimpan di gudang koleksi pribadi.

Queen mencoba berdiri dengan lebih tegak, menarik napas dan memutar bahunya sedikit agar posturnya tampak lebih pantas. Tapi itu justru membuat leher belakangnya semakin terbuka. Dan ia bisa merasakan tatapan itu menggeser dari punggung atas ke garis belahan.

Di tengah kekakuan itu, seseorang menyapa. Seorang pria paruh baya, dengan senyum yang terlalu lebar dan mata yang terlalu nyaman menatap ke bawah dagunya.

“Selamat malam, Nyonya Sultan,” katanya dengan nada ramah yang terlalu dipoles. “Saya mendengar banyak tentang Anda. Tapi tak menyangka... begini rupanya.”

Queen tersenyum sopan. “Begini bagaimana, Pak?”

Pria itu tertawa kecil. “Tidak seperti yang kami harapkan. Tapi jelas lebih cantik dari yang dibayangkan.” Tangannya bergerak pelan ke arah pergelangan tangan Queen, seolah ingin mengambil gelas, atau mungkin sekadar menyentuh.

Queen memundurkan tangannya sepersekian detik lebih cepat dari gerakan itu. Cukup sopan untuk tidak dianggap menolak, cukup tegas untuk memberi batas.

Pria itu terkekeh pelan. “Ah, kamu memang baru. Masih belajar bagaimana jadi milik publik.”

Queen tersenyum. Bibirnya tidak ikut tertawa.

Pria itu melanjutkan kata-katanya, Tatapan Sultan yang sejak tadi hanya memantau dari jauh, kini tak lagi diam. Ia memandangi pria itu, bukan Queen, dengan intensitas berbeda. Bahunya sedikit naik. Rahangnya mengunci. Jari-jarinya mencengkeram batang gelas wine dengan tekanan yang hampir terlihat dari jauh.

Pria itu tampak menyadari sesuatu. Ia mengangguk cepat, menyentuh dadanya sebagai salam sopan, dan mundur perlahan.

Queen tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak menatap Sultan. Tapi ia tahu. Ia merasa. Tatapan itu belum pergi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   bab 8

    Queen duduk di meja kerja kecil di sudut kamar, tangannya memainkan bulu pena hitam yang tergeletak di samping buku agenda kosong.Matanya tertuju pada kalender meja. Kulit sintetis coklat tua. Di dalamnya, halaman-halaman tanggal yang sudah ditandai. Bukan oleh tangannya. Tapi tulisan rapi, hitam, teratur. Tulisan tangan Sultan, ia tahu dari bentuk huruf yang tajam dan miring.Ia membuka halaman minggu ini.Senin, 22.00 – Kewajiban.Kata itu ditulis seperti rapat penting. Tanpa hiasan. Tanpa penjelasan. Tapi berat.Queen menatapnya lama. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan ujung jarinya. “Kewajiban” bisa berarti banyak hal. Tapi dalam konteks pernikahan, apalagi pernikahan yang dikontrak seperti transaksi saham, kata itu hanya punya satu makna.Ia menutup kalender itu pelan. Jam dinding menunjukkan 21.37.Masih ada waktu. Tapi entah kenapa, tubuhnya mulai bersiap seperti seekor rusa yang mencium bau serigala dari kejauhan.Queen berdiri, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan air, m

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 7

    Queen mencoba menyelinap ke sisi ruangan yang lebih sepi, dekat meja hidangan, di mana musik orkestra terdengar lebih samar. Ia tidak lapar, tapi mengambil satu tusuk buah hanya agar terlihat sibuk.Tangan kirinya memegang gelas. Tangan kanan menggantung bebas, jari-jarinya sedikit gemetar karena udara malam dan tekanan pandangan yang tak kunjung padam.Tiba-tiba, sebuah suara berat dan lambat menyapanya. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajah sang istri baru."Seorang pria tua mendekat. Jasnya mahal, dasinya kontras, dan tongkat kayu gelap di tangan kirinya memberi ilusi kelemahlembutan. Tapi mata pria itu seperti mata seseorang yang tidak pernah diajarkan untuk bertanya sebelum mengambil.Queen tersenyum kecil. Ia sudah terlalu lelah untuk menjawab basa-basi.Pria itu berhenti di depannya. “Boleh?” katanya sambil mengulurkan tangan.Queen berpikir dia ingin berjabat. Ia mengulurkan tangan pelan. Tapi pria itu langsung membungkuk, mengarahkannya ke bibir.Queen menariknya. Tidak kasar.

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 6

    Pesta keluarga Sultan bukan pesta biasa. Ini adalah pertemuan orang-orang penting, pengusaha, politisi, duta besar, wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seperti pelindung diri. Di tangan mereka ada gelas sampanye. Di mata mereka ada perhitungan. Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dilihat dengan penuh kalkulasi. Mereka menilai tinggi badannya. Lengkung gaunnya. Senyumnya yang tidak muncul. Tumitnya yang tidak terlalu tinggi. Caranya berjalan yang terlalu pelan atau terlalu ragu. Sultan melangkah lurus ke tengah kerumunan, lalu berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri, di samping patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sebuah dekorasi. Seorang wanita tua mendekatinya. Bergaun ungu gelap, rambut keperakan, dan bibir tipis yang digigit sebelum bicara. “Kamu istri barunya?” katanya, seperti bertanya cuaca. Queen mengangguk kecil. “Ya, Bu.” Wanita itu tertawa pelan. “Dulu dia bawa aktris. Sebelumnya pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 5

    Ruang itu terlalu terang untuk pagi hari. Dinding putih bersih, kaca besar dari lantai ke langit-langit, dan meja rias penuh kuas, palet warna, dan parfum mahal. Tapi tak ada cermin besar. Lagi-lagi, tidak ada bayangan diri. Hanya pantulan-pantulan kecil di permukaan logam dan botol kaca. Queen duduk di kursi rias, tangannya saling menggenggam di pangkuan, tubuhnya dililit jubah mandi satin yang terlalu longgar. Kulit bahunya terasa dingin di bawah AC. Dania berdiri di belakangnya. Hari ini, rambutnya digelung tinggi dan bibirnya merah marun. Wajahnya seperti selalu berada di ambang senyum atau penghinaan, dan keduanya bisa keluar tanpa peringatan. “Kita hanya punya waktu dua jam,” katanya, sambil memutar hanger yang tergantung di tangannya. Tiga gaun. Semua putih atau gading. Semua tipis. Semua terlalu terbuka. Queen menatapnya diam. Dania mengangkat satu gaun dengan tangan kiri. Bahannya seperti kabut, ringan, berkilau samar, tanpa tali bahu. Belahan punggungnya menjulur h

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 4

    Pintu kamar itu tidak terkunci, tapi terasa seperti tidak akan pernah benar-benar terbuka untuknya. Queen berdiri di ambang ruangan yang luas dan sunyi. Lantainya dari marmer pucat, dingin meski tidak disentuh langsung. Dindingnya kelabu muda, dengan satu lukisan abstrak besar di atas ranjang. Tak ada jendela. Hanya pintu kaca tinggi mengarah ke balkon kecil, tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ranjang king. Sprei putih. Dua bantal. Tidak ada lipatan. Seperti tempat ini belum pernah dihuni. Queen melangkah masuk. Langkahnya nyaris tak berbunyi, tapi tubuhnya terasa seperti berisik hanya dengan bernapas. Ia menaruh tas kecil di atas kursi, lalu menatap sekeliling. Tak ada koper. Tak ada pakaian. Tak ada foto. Bahkan tak ada cermin. Ia berjalan ke pojok, membuka lemari tinggi. Di dalam tergantung pakaian wanita, semuanya pas ukurannya. Semuanya baru. Tak satu pun miliknya. Queen membuka laci. Pakaian dalam baru, masih berlabel. Lalu ia berdiri, mematung. Kamar mandi menyala

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 3

    Sultan berdiri. Tinggi badannya seperti mendominasi seluruh ruang. Ia mengenakan jam tangan hitam dengan jarum emas, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Rapi. Seperti arsitek dari segala hal yang terjadi hari ini. Ia melangkah mendekat. Pelan. Tapak sepatunya berbunyi pelan di atas karpet tebal, tapi setiap langkah terasa seperti detak jam mundur ke sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Queen tetap duduk. Tak bergerak. Sultan berhenti di belakang kursinya. Napas Queen menahan diri. Tangannya masih di atas paha, kaku. Lalu pria itu menunduk, dan tanpa menyentuhnya, membisikkan satu kalimat ke telinganya, begitu dekat hingga Queen bisa mencium aroma parfum kayu dan tembakau ringan dari napasnya. “Mulai sekarang, jangan buat aku mengulang perintah dua kali. Paham.” Hanya itu. Lalu ia berdiri kembali. Dan berjalan keluar dari ruangan, pintu dibuka oleh seseorang yang Queen tidak sempat liha wajahnya. Queen masih duduk di kursi itu. Tangannya perlahan mengepal di a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status