LOGINDemi menyelamatkan keluarganya dari lilitan utang, Queen dipaksa menikah dengan Sultan, pewaris konglomerat yang tampan dan dingin. Sultan menyetujui pernikahan tanpa cinta itu dengan satu syarat kejam, ia berhak atas hidup Queen, tetapi hati tidak boleh terlibat. Namun, saat batasan antara perjanjian dan perasaan menipis, Queen terseret ke dalam intrik warisan, dendam keluarga, dan rahasia masa lalu Sultan yang gelap.
View More“Kenapa Mami sama Papi tega sekali sama Queen?” suaranya rendah tapi tajam. Queen duduk di ujung ranjang, jemarinya mencengkram ujung gaun putih yang terlalu longgar di bahu. Nafasnya berat, matanya menatap lantai.
Vanda, yang berdiri di dekat meja rias, berhenti mengangkat bedak. Tatapannya lembut, meski ada kegugupan yang sulit ia sembunyikan. “Sayang, Mami hanya ingin kamu mengerti. Ini.” Queen mengangkat wajah, sorot matanya bergetar. “Aku tidak mengerti, Mami. Aku anak kalian. Sejak kapan aku jadi barang yang bisa diserahkan begitu saja?” Vanda melangkah mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangannya terulur, tapi berhenti sebelum menyentuh lengan Queen. “Tidak seperti itu. Mami cuma mau kamu selamat. Kita semua selamat.” Queen menggeleng pelan, menahan panas di matanya. “Selamat? Dengan menikah pada orang yang bahkan aku belum pernah bicara? Bagaimana itu bisa disebut selamat?” Vanda menunduk. Bahunya merosot perlahan. Suaranya hampir berbisik saat berkata, “Mami tahu kamu marah. Mami pun ingin punya pilihan lain.” Pintu kamar terbuka pelan. Gala berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak, rahang mengeras. “Ada apa ini?” suaranya datar tapi penuh tekanan. Vanda buru-buru menghapus sudut matanya yang mulai basah. Queen menoleh cepat, tatapannya menusuk. “Papi, jawab aku.” Gala masuk dengan langkah berat, berdiri di depan ranjang. “Apa yang mau kamu tahu?” tanyanya, menatap putrinya lurus-lurus. Queen mendongak, jarinya masih meremas kain gaun. “Kenapa harus aku? Kenapa Papi sama Mami tidak cari cara lain?” Gala menarik napas panjang, lalu berkata tegas, “Karena kita tidak punya pilihan lain, Queen. Semua jalan sudah buntu. Perusahaan di ujung jurang, dan di belakang kita ada puluhan karyawan, keluarga mereka, anak-anak mereka. Mereka akan kehilangan semuanya kalau kita tidak bertindak.” Suara Queen serak, tapi nada sinisnya tetap terdengar. “Jadi aku ini jaminannya?” “Tidak,” jawab Gala cepat, matanya tetap terkunci pada Queen. “Kamu adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan ini semua. Kalau ada cara lain, Papi yang akan ambil. Tapi tidak ada.” Vanda memejamkan mata, kedua tangannya bertaut di pangkuan, seolah kata-kata suaminya juga menusuknya. Queen menunduk, nafasnya terasa berat di dada. Kamar itu seperti mengerut, udara makin padat, dan tak ada satupun kata yang sanggup memecahnya. Queen berdiri dari ranjang, tatapannya tak lepas dari Papi-nya. “Kalau memang tidak ada pilihan, kenapa Papi tidak pernah tanya apa aku mau? Apa aku setuju?” Gala menahan napas, rahangnya mengeras. “Karena ini bukan soal mau atau tidak mau. Ini soal menyelamatkan semua orang yang bergantung pada kita.” “‘Kita’? Atau Papi sendiri?” nada Queen meninggi. Vanda hanya duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat. Matanya mulai basah, dan kali ini air itu benar-benar jatuh membasahi pipinya. Pintu kamar terbuka lebih lebar. Kai berdiri di sana, bahunya naik-turun, menatap ke arah ayahnya. “Aku dengar semua dari bawah. Aku nggak setuju, Papi.” Gala menoleh tajam. “Anak kecil jangan ikut campur urusan orang dewasa.” Kai melangkah masuk, suaranya meninggi. “Kenapa setiap kali aku bicara, Papi selalu bilang aku anak kecil? Aku juga bagian dari keluarga ini!” “Cukup, Kai!” suara Gala membentak, keras dan penuh tekanan. Vanda tiba-tiba berdiri, suaranya bergetar tapi nyaring. “Berhenti kalian berdua! Tidak ada yang mendengarkan siapa pun di sini. Semua hanya saling menyalahkan.” Ruangan seketika hening, hanya terdengar napas berat masing-masing. Queen menatap Mami-nya yang berdiri di tengah, tubuhnya gemetar menahan emosi. Ada rasa iba yang menggerogoti dadanya. Ia melangkah pelan mendekati Vanda. “Mami… aku pergi sekarang.” Vanda mengangguk, tidak berkata apa-apa. Kai masih menatap Queen, matanya memohon. Gala memalingkan wajah, seakan menutup semua emosi di baliknya. Queen berjalan keluar kamar, melewati lorong sempit, menuruni tangga. Di luar, udara sore terasa berat. Di ujung gang, sebuah mobil hitam panjang menunggu dengan mesin menyala. Sopir berseragam hitam membuka pintu belakang tanpa bicara. Queen menoleh sekali ke rumahnya, ke jendela yang tirainya sedikit terbuka, lalu masuk ke dalam mobil. Pintu menutup rapat di belakangnya, dan suara mesin menjadi satu-satunya yang ia dengar ketika mobil mulai bergerak menjauh.Sultan berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tenang, seperti biasa.Matanya segera tertuju pada dua koper besar di lantai. Ia melangkah masuk, lalu menatap Queen yang berdiri di sisi meja rias.“Cepat juga kamu beres-beresnya,” ucap Sultan sambil menutup pintu di belakangnya.Queen menoleh pelan, bibirnya melengkung kecil. “Aku dibantu Nala. Dan sebagian lagi,” ia menatap koper pria di sebelahnya, “,aku siapkan sendiri.”Sultan menaikkan satu alis, lalu mendekat. “Pakaian aku?”“Hmm.” Queen mengangguk, mencoba terdengar santai. “Kalau kubiarkan kamu yang pilih, pasti ujungnya hanya dua kemeja dan satu celana panjang.”Sultan tertawa kecil, suara rendahnya memenuhi ruangan. “kamu sudah hafal.” Ia berhenti tepat di depan Queen, lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, antara kagum, canggung, dan lembut sekaligus.“Terima kasih,” katanya pelan, namun tulus.Queen menunduk sedikit, pura-pura si
Mobil berhenti di depan rumah mereka. Lampu-lampu di teras sudah menyala lembut, menandakan seseorang menunggu. Begitu pintu terbuka, Sultan keluar lebih dulu, langkahnya mantap namun terlihat sedikit tergesa. Dari arah dalam, Patra sudah berdiri di depan pintu bersama Nala yang membawa tablet dan beberapa map di tangan.“Selamat datang, Tuan, Nyonya,” sapa Nala sopan sambil sedikit menunduk.Patra menambahkan, “Saya baru saja sampai, Tuan. Sudah saya koordinasikan semua sesuai instruksi.”Sultan mengangguk cepat. “Bagus. Kita berangkat besok pagi. Aku mau lihat dulu laporan dari lokasi Lombok.” Tanpa banyak basa-basi, Sultan langsung berjalan masuk ke rumah, Patra mengikuti di belakangnya dengan wajah serius dan tablet menyala di tangan.Queen masih berdiri di depan mobil, memandangi dua orang itu masuk rumah lebih dulu sebelum menoleh ke arah Nala.“Nala, kamu ikut juga?” tanya Queen, suaranya terdengar lembut tapi penasaran.Nala tersenyum kecil. “Iya, Nyonya. Semua sudah diatur. T
Begitu mereka kembali ke ruang makan, aroma nasi goreng dan sambal udang masih memenuhi udara. Vanda yang sedang menyiapkan potongan buah langsung menoleh dan tersenyum melihat keduanya datang.“Lama sekali teleponnya,” ucapnya ringan, tapi matanya menatap Queen penuh tanya. “Semuanya baik-baik saja, kan?”Queen tersenyum kecil sambil duduk kembali di kursinya. “Baik, Mi. Cuma urusan kantor, nggak terlalu besar.”Sultan ikut duduk di sampingnya, kali ini ekspresinya sudah jauh lebih tenang. Gala mengangguk pelan, lalu berkata sambil menatap Sultan, “Urusan kantor memang nggak ada habisnya. Tapi jangan sampai lupa makan, itu yang penting.”“Tenang, Papi,” jawab Sultan dengan senyum singkat. “Saya sudah janji tidak akan lewatkan makan buatan Mami.”Vanda tersenyum bangga, lalu mendorong piring berisi potongan buah ke arah Sultan. “Bagus. Setelah ini makan buah, biar sehat. Tapi wajah kamu kayaknya tegang, ada masalah besar?”Sebelum Sultan sempat menjawab, Queen menyela cepat, nada suar
Suasana meja makan perlahan mulai tenang. Piring-piring sudah hampir kosong, hanya tersisa beberapa butir nasi dan sisa kerupuk udang yang hancur di sudut meja. Udara hangat dari dapur bercampur dengan aroma nasi goreng dan tawa kecil yang masih menggantung di ruangan.Gala menyandarkan punggungnya ke kursi, menepuk perut dengan puas. “Sudah lama nggak makan seramai ini. Rasanya beda kalau semuanya kumpul begini.”Queen tersenyum. “Mami memang jago masak. Aku sampai lupa kalau ini udah piring kedua.”Vanda menatap putrinya dengan pandangan penuh sayang. “Makan yang banyak nggak apa-apa, Mami senang lihat kamu makan lahap begitu.”Kai yang duduk di seberang langsung nyeletuk. “Kalau tiap kali pulang Kakak sama Abang makan segitu banyak, bisa-bisa Mami tambah semangat masak tiap hari.”“Boleh juga,” sahut Vanda sambil terkekeh. “Asal kamu bantu cuci piringnya, Kai.”Tawa ringan kembali terdengar. Tapi di tengah kehangatan itu, ponsel Sultan bergetar di meja, suara getarnya terdengar jel
Vanda muncul dari dalam membawa piring kecil berisi pisang goreng hangat. “Kalian ini sudah ngobrol dari tadi belum sarapan benar,” katanya sambil meletakkan piring di meja. “Ayo makan, biar nggak masuk angin.”Queen bangkit cepat membantu Mami nya, mengambilkan tisu dan piring kecil. “Aku bantu, Mi.”Vanda melirik dengan senyum menggoda. “Akhirnya anak Mami ini bisa juga bantu.”“Biasanya sibuk urusan sendiri,” sela Gala, membuat Queen melotot manja. Mereka semua tertawa.Sultan ikut mengambil sepotong pisang goreng dan mencicipinya. “Ini enak sekali, Mi. Lembut.”Vanda tersenyum senang. “Kalau suka, nanti Mami bawakan untuk kalian pulang ke rumah. Tapi janji, Queen harus belajar bikin juga.”Queen menatap Maminya pura-pura kesal. “Mami selalu menyeret aku ke dapur.”“Ya, biar Sultan tahu istrinya bukan cuma jago tanda tangan sama baca laporan,” jawab Vanda cepat. Mereka semua tertawa lagi, dan tawa itu menggema di halaman, ringan, jujur, dan penuh rasa sayang.Kai muncul dari dalam
Queen membuka mata perlahan. Cahaya matahari sudah menembus tirai kamarnya, membuat ruangan terang. Tangannya meraba sisi kasur, kosong. Ia langsung terangkat, menatap sekeliling.“Eh?” gumamnya, sedikit kaget karena Sultan tidak ada.Ia bangkit perlahan, menyampirkan cardigan tipis, lalu melangkah keluar kamar lamanya. Aroma masakan khas rumah memenuhi udara. Dari arah dapur, terdengar suara Vanda.“Baru bangun, Queen?” suara Vanda terdengar agak kesal.Queen menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu tersenyum canggung. “Iya, Mi. Tadi malam agak susah tidur.”Vanda menatapnya tajam sambil menyilangkan tangan di dada. “Kamu sudah jadi istri orang, jangan kebiasaan bangun siang. Lihat tuh, Sultan dari subuh sudah ikut olahraga sama Papi di halaman.”Mata Queen membesar. “Sultan? Sama Papi?”“Ya, masa sama kucing?” Mami menyahut cepat. “Dari pagi mereka sudah di halaman belakang. Kamu malah molor.”Queen terdiam, masih berusaha membayangkan sosok Sultan yang biasanya kaku dan serius












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments