Ia tidak menduga seseorang akan mendobrak masuk dan langsung menjatuhkan bos-nya. Penyerang itu mengenakan topi, sehingga Arman tidak dapat melihat dengan jelas muka si penyerang.
“Brengsek kamu!” teriak Arman dan menerjang penyerang bertopi itu.
Ia melayangkan tinju kanannya ke arah penyerang bos-nya. Namun si penyerang memiringkan tubuh untuk menghindar.
Tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Arman, sementara tangan kirinya yang mengepal ia layangkan melalui bawah lengan Arman ke arah dagu Arman.
Bugg!
Hantaman keras mengenai rahang bawah Arman.
Penyerang itu melepaskan genggaman tangan kanannya pada pergelangan tangan Arman lalu melayangkan kembali pukulan. Kali ini ke arah tulang leher Arman.
Buugg!!
Gerakan yang begitu cepat dan tampak simpel itu menyimpan kekuatan cukup besar dan mengenai titik-titik rawan di tubuh Arman.
Dua pukulan itu cukup mematikan, hingga membuat tubuh tinggi besar Arman pun terhuyung ke belakang dengan kedua mata membelalak menahan sakit, sebelum akhirnya ia ambruk ke lantai dan pingsan.
“Siapa kamu?!” Kali ini terdengar Rudianto bersuara. Ia masih terduduk di lantai, kesakitan. “Berani-beraninya menerobos ke vila-ku seperti ini!”
Sang penyerang tampak tidak mempedulikan kalimat Rudianto. Ia melangkahi tubuh Arman yang tergeletak lalu menuju Aliya yang masih terikat di kursi.
Kakinya yang terbungkus celana jeans lalu menekuk satu.
Ia memperhatikan kondisi perempuan muda yang tengah memejamkan mata itu. Tangannya terulur, lalu mengusap pelan samping kepala Aliya.
“Al...” panggilnya lirih.
Aliya perlahan membuka matanya. Namun kentara tampak begitu lemas, ia kembali menutup matanya.
Pria itu seolah mematung.
Meskipun setengah wajahnya terhalang topi yang ia kenakan, namun terlihat kemarahan yang tengah ia tahan.
Rahangnya terkatup rapat dan mengeras. Tangan kiri yang ia tumpukan di atas lutut kirinya mengepal erat hingga urat-urat tangannya menyembul keluar.
“Hey! Jangan kamu pegang-pegang wanitaku! Aku membayar mahal untuknya!!” Suara Rudianto terdengar lagi. Kali ini sangat memekakkan telinga.
Pria bertopi itu menoleh sekilas. Ia pun lalu berdiri dan membalikkan badannya. Kedua kakinya melangkah ke arah Rudianto tergeletak.
“Siapa kamu?! Berani sekali menggangguku?! Apa kamu tidak tau siapa aku, hah?!” hardik Rudianto ketika pria itu berhenti di depannya. Ia berusaha untuk bangun, namun rasa sakit di tubuhnya menahan dirinya untuk tetap di posisi duduk.
“Lalu kau siapa?” Sang penyerang bertopi kini berdiri tepat di hadapan Rudianto dan bertanya dengan nada dingin.
Rudianto menelan ludah. Ia menengadah. Tampak kini sosok pria menjulang tinggi yang begitu tampak mengintimidasi.
Dari bawah, Rudianto bisa melihat bola mata berwarna coklat gelap itu menatapnya tajam.
Suhu ruangan terasa turun sekian derajat. Udara di sekitar pun terasa berat.
“Saya tanya lagi, memang kau siapa?” ulang pria bertopi itu.
“A-aku…” gagap Rudianto mencoba menjawab. “Awas kamu!! Penjaga!!” teriaknya tanpa menoleh.
“Lihat saja nanti!” Bibir Rudianto tertarik ke atas. “Habis kamu! Ketika para penjagaku datang, akan kupastikan kamu akan… kamu akan…”
Lelaki tambun itu terdiam tak melanjutkan kalimatnya. Keringat menetes di dahinya. Ia merasakan tekanan intimidatif yang sangat kuat hanya dari tatapan mata saja dari pria bertopi itu.
Baik Rudianto maupun pria bertopi itu diam.
Hening.
“Kemana kalian?! Penjagaaa!!” teriak Rudianto lebih keras, kali ini ia menolehkan kepalanya ke arah luar kamar. Seketika matanya membelalak.
Ia baru menyadari, dari pintu terbuka itu, ia bisa melihat tiga laki-laki bertubuh kekar telah tergeletak di lantai. Semuanya. Persis seperti Arman.
“Ka-kamu!!” tudingnya pada pria bertopi.
Kali ini pria itu tak hanya diam berdiri. Ia menekuk lututnya sebelah. Badannya lalu membungkuk perlahan ke arah lelaki tambun yang telah bercucuran keringat dingin itu.
Rudianto tahu, pria ini ternyata sangat kuat. Bahkan keempat penjaganya yang kuat dan ia bayar mahal, terkapar tanpa ampun dalam waktu yang terbilang sangat singkat.
Pria ini akan bisa melakukan apapun terhadapnya.
“Ja-jangan macam-macam kamu! Sa-saya pemilik perusahaan ter-terbesar di kota ini!” gagapnya mencoba mengancam sang pria bertopi.
“Oh. Kau pemilik perusahaan terbesar kota ini,” ujar pria itu mengulang. “Baiklah.”
“Dengarkan baik-baik,” kembali pria bertopi itu bersuara. “Mulai besok saya pastikan perusahaan mu tidak ada lagi di kota ini.”
“A-apa?”
Tangan kanan pria bertopi itu lalu terangkat di depan wajah Rudianto yang tergagap. Ia lalu berkata “dan mulai detik ini kamu akan takut pada Aliya dan selalu menghindarinya. Kau juga akan lupa tentang hari ini, seolah hari ini tidak pernah terjadi dalam hidupmu.” Kedua mata Rudianto terus menatap ke arah tangan pria itu tanpa berkedip. “Tidur,” kata pria bertopi itu lagi sambil menjentikkan jarinya. Sedetik kemudian tubuh Rudianto ambruk dengan kedua mata terpejam rapat. Pria bertopi itu lalu menghela napas dan berdiri. “Orang seperti kamu sungguh tidak layak dihormati di kota ini. Kau akan rasakan seperti apa menjadi gelandangan besok,” ujarnya lagi pelan, sebelum berbalik dan kembali melangkah ke arah Aliya. Dengan cepat ia membuka tali yang mengikat Aliya. Ketika ikatan terakhir terlepas, tangannya telah sigap menangkap tubuh Aliya yang langsung terkulai ke sisi. Pria itu mengangkat tubuh Aliya dengan kedua lengannya dengan sangat hati-hati. “Mmh…” Erangan halus terdengar d
Kilas Balik. Beberapa bulan sebelumnya. “Eh, nanti belikan soto bogor tiga bungkus ya.” Aliya menghentikan sejenak kegiatannya menyeterika pakaian. Ia menoleh pada suaminya yang tengah duduk berselonjor di depan TV. “Sekarang?” “Ngga. Ntar malem sepulang kamu ngajar,” jawab Bisma tanpa menolehkan pandangannya dari layar TV. “Kok banyak banget? Satu bungkus buat kita berdua juga cukup, kok.” “Ntar malem kawan-kawanku mau datang kesini. Mau ngobrolin bisnis.” “Oh,” respon Aliya lalu kembali melanjutkan menyeterika. “Uangnya nanti taro aja di atas tas ku di kamar, a. Takutnya aku lupa.” “Uang apa?” tanya Bisma. “Lah, Uang beli soto-nya.” “Ya aku mana ada uang lah. Pake kamu aja dulu, ntar aku ganti.” Seketika Aliya menghentikan kembali tangannya yang tengah menyeterika. “Aa, ini tuh akhir bulan. Aku kan belum gajian. Uang sisa yang ada, cuma cukup buat beli makan sama bensin aku sampai awal bulan nanti.” “Paling berapa sih, buat soto doang? Pake aja dulu yang ada. Ntar aku gan
“Oya, aku juga pinjam lima puluh ribu ya,” suara Bisma memecahkan lamunan Aliya. Ia segera menolehkan kepalanya ke arah suaminya yang masih asyik menonton. “Untuk apa?” “Ya buat rokok-lah.” “Ga ada, aa. Kan nanti buat beli soto.” “Coba deh kamu pinjam siapa dulu kek. Adikmu atau siapalah. Masa iya kita ada tamu, ga disediain rokoknya?” ucap Bisma ringan. Aliya menghela napas kasar. Ia lalu mencabut kabel setrika dari stop kontak listrik, menggulung kabel, melipat kain alas setrika, lalu menyimpan semuanya dengan rapi di sudut ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu itu. Mereka masih mengontrak di sebuah perumahan kecil di wilayah Cibinong, Bogor. Aliya merasa beruntung bisa menemukan kontrakan yang terbilang masih murah di suatu kompleks perumahan. Untuk bayar kontrakan ini pun, Aliya yang harus memikirkannya. “Aku ga bisa pinjam lagi ke adikku, a. Yang terakhir pinjam bulan lalu saja belum lunas,” ujar Aliya sambil berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya. “Emang kamu pinja
“Ya, gapapa Miss Milah. Saya maklum. Mungkin Miss perlu periksakan mata Miss ke dokter, setelah kelas hari ini,” Aliya merespon sambil tersenyum juga. “Apa maksudnya?” Kedua bola mata Milah membesar. “Bukan apa-apa Miss,” sela Aliya cepat. “Saya sedikit khawatir aja. Gelas sebesar ini oleh Miss ga keliatan…” Aliya memasang muka khawatir. “Ka-kamu…” “Morning Miss Aliya, morning Miss Milah!” Suara cukup keras terdengar dari arah pintu masuk. Itu Mr. Eddie. “Morning, Mister…” jawab Aliya dan Milah hampir bersamaan. Ia adalah principal atau kepala sekolah di lembaga kursus ini. Mr. Eddie masuk cukup tepat pada waktunya. Ia mencegah Aliya melakukan kekisruhan yang lebih panjang dengan Milah. Aliya bukan biang keributan. Namun hari ini, sungguh ia tengah tidak dalam suasana hati yang baik untuk bersabar dan hanya diam. “Mister Eddie…!” Milah langsung berbalik dan melangkah mengikuti Mr Eddie ke ruangannya. “Saya mau konsul overview saya, Mister…” Mr. Eddie mengangguk. Ia pun melanju
Di pelataran parkir. Aliya baru saja melambai pada pak Amas, satpam di tempat ia bekerja, ketika ia terhentak sedikit ke depan oleh senggolan seseorang dari belakang. Ia menolehkan kepalanya. “Sorry,” tukas Milah yang kini telah dua langkah berada di depan Aliya. Sudut kiri bibirnya tertarik ke atas. “Miss ngehalangin saya.” Aliya menghela napas. Ia mengabaikan ulah Milah yang seakan memancingnya untuk marah. Ia meneruskan langkahnya ke arah parkiran motor. “You mau ngasih privat lagi hari ini?” Pertanyaan dari Milah itu tidak digubris Aliya. “Hati-hati Miss, jangan pake bahan-bahan milik kantor untuk kepentingan pribadi ya.. Ngga etis dan melanggar hak cipta,” tambah Milah lagi yang mengekori Aliya. Aliya lagi-lagi mengabaikannya. “Kasian banget sih kamu, segitunya nyari tambahan. Emang kamu beneran punya suami, Miss? Kok kaya ga ada faedahnya gitu ya…” Langkah Aliya terhenti. Ia lalu berbalik menghadap Milah yang sedari tadi mengikutinya di belakang. “Saya rasa yang ga ad
Aliya lalu mencoba melihat profil teman f******k lainnya. Ia hendak melakukan uji coba dengan klik info pertemanan yang ada di sebelah kiri itu. Jarinya bergerak dan meng-klik kembali. Matanya menatap layar. Berhasil. Ia lakukan kembali pada dua orang teman lainnya. Penghapusan pertemanan, bisa dilakukan tanpa kendala. “Lah, ini ga ada gangguan. Bisa hapus pertemanan…” gumam Aliya dengan mata terus menatap pada layar. Setelah ia mengajukan permintaan pertemanan kepada ketiga teman yang tadi ia hapus, jarinya kembali bergerak. Mencari profil akun asing yang tadi gagal untuk di hapus status pertemanannya. Mata Aliya menatap lekat pada layar. Jarinya terlihat beberapa kali mengetuk tombol. Namun, pada akun f******k milik seseorang bernama Einhard itu, Aliya sama sekali tidak bisa menghapus pertemanan. Pilihan ‘Hapus Pertemanan’ itu sama sekali tidak merespon, tak peduli berapa kali Aliya meng-klik nya. “Aneh sekali…” gumam Aliya.
Dalam bungkusan plastik itu adalah jas hujan. Aliya mengeluarkannya perlahan. Kepalanya kembali menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun tidak terlihat satu pun orang yang lalu lalang di sana, yang tampak mencurigakan.Aliya kembali melihat barang di tangannya. Itu jas hujan satu set, dengan label tag yang masih menggantung. Jas hujan ini tebal dan halus, terasa seperti jas hujan mahal.Secarik kertas terselip dalam lipatan jas hujan itu.[Pakailah. Jika telah tidak dibutuhkan lagi, boleh berikan pada yang lebih membutuhkan]Kening Aliya berkerut. Lagi-lagi pandangannya beredar ke sekelilingnya. Mencari siapa kira-kira orang yang begitu iseng atau terlalu dermawan meletakkan jas hujan di atas motornya, seakan tahu ia tengah membutuhkannya. Apalagi jas hujan ini tampak mahal.Suara gemuruh di langit membuyarkan keraguan Aliya.‘Duh… semoga ga ada apa-apa dengan aku memakai ini,’ ujarnya dalam hati.Ia segera mengenakan ja
“Hai Miss Diani,” balas Milah dengan senyuman ramah. ‘Aissh! Giliran nyapa miss Diani nih orang ramah banget. Luar biasa lihai pasang topengnya,’ gerutu Aliya dalam hati. “Lagi ngomongin orang yang ga punya teman sama sekali, Miss?” cetus Milah bertanya pada Diani sambil melirik Aliya. Diani terkekeh. “Ngga juga. Itu Miss Aliya sedang nyiapin bahan overview tentang anak introvert,” jawab Diani spontan. Kali ini Aliya yang melirik. Dengan ujung matanya ia seolah menyatakan terima kasih pada Diani atas jawabannya ke Milah. Aliya sangat paham, Diani bukan tipe perempuan yang suka bergosip ataupun menggunjingkan orang lain, terutama rekan kerja sendiri. Diani juga seorang pekerja keras dan seseorang yang tegas. Meskipun ia seorang perempuan, ia tidak pernah ragu untuk menyatakan pendapat dan menyampaikan jika sesuatu yang salah adalah salah. Diani juga guru part-timer satu-satunya yang hampir tidak pernah ditegur Mr. Eddie. Tidak heran memang, jika Milah pun agak segan terhadap Dian