Share

BAB 3

Tangan kanan pria bertopi itu lalu terangkat di depan wajah Rudianto yang tergagap.

Ia lalu berkata “dan mulai detik ini kamu akan takut pada Aliya dan selalu menghindarinya. Kau juga akan lupa tentang hari ini, seolah hari ini tidak pernah terjadi dalam hidupmu.”

Kedua mata Rudianto terus menatap ke arah tangan pria itu tanpa berkedip.

“Tidur,” kata pria bertopi itu lagi sambil menjentikkan jarinya. Sedetik kemudian tubuh Rudianto ambruk dengan kedua mata terpejam rapat.

Pria bertopi itu lalu menghela napas dan berdiri.

“Orang seperti kamu sungguh tidak layak dihormati di kota ini. Kau akan rasakan seperti apa menjadi gelandangan besok,” ujarnya lagi pelan, sebelum berbalik dan kembali melangkah ke arah Aliya.

Dengan cepat ia membuka tali yang mengikat Aliya. Ketika ikatan terakhir terlepas, tangannya telah sigap menangkap tubuh Aliya yang langsung terkulai ke sisi.

Pria itu mengangkat tubuh Aliya dengan kedua lengannya dengan sangat hati-hati.

“Mmh…” Erangan halus terdengar dari mulut Aliya saat tubuhnya sedikit terguncang.

“Al...” panggil pria itu lembut.

Alih-alih membuka matanya, Aliya malah melingkarkan kedua tangannya ke leher pria tersebut. Suara-suara tak jelas keluar dari bibirnya. Ia menggumamkan sesuatu.

“Al?”

“Aroma.. mu…” suara serak dan lirih Aliya lalu terdengar. “Wangi sekali… Benar- benar enak…” Aliya menyusupkan kepalanya ke leher pria bertopi itu.

“Al… Emh,” pria itu sedikit meringis lalu mengatupkan bibirnya rapat. Alisnya sedikit berkerut. Aliya telah menggigit dengan kencang lehernya.

“Sentuh… aku…” rengek Aliya masih dengan suara serak dan lirihnya.

Aliya membuka matanya perlahan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali membuat bulu mata lentiknya bergerak-gerak naik turun. Pandangannya lalu naik ke arah wajah pria yang membopongnya itu.

“Kau…” Tangan Aliya menarik lepas topi yang dikenakan oleh pria itu.

Seraut wajah dengan rahang tegas dan kokoh, kini terlihat oleh Aliya. Alis cukup tebal menaungi kedua mata jernihnya. Hidung mancung terpahat serasi diatas bibir tipis yang terbentuk indah, tampak begitu jelas di mata Aliya yang memandangnya dari arah samping kiri.

Sedikit jambang tebal di sisi telinganya, mempertegas garis aristokrat pria itu. Dan entah mengapa, Aliya merasa yakin, jika pria itu tersenyum akan tampak segaris lesung di pipi kirinya. 

“Kau… Ganteng…”

Aliya sangat ingin menyebut nama pria itu. Namun pikirannya tengah kacau saat ini. Seluruh tubuhnya terasa gerah dan mendorong dirinya untuk bergerak gelisah.

Tangan kiri yang memegangi ujung topi milik pria itu, ia ayunkan hingga topi-pun terlempar. Lalu tangannya kini bergerak membelai pipi sang pria.

“Aku… ah, aku…” Aliya mendesah lirih. Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan dirinya namun  tubuh serta lidahnya tidak tampak hendak berkompromi.

“Kau diberi obat, Al,” ujar pria itu pelan. “Sebentar.” Dengan Aliya masih dalam bopongannya, ia melangkah ke tempat tidur yang ada dalam ruangan itu.

Meletakkan dengan sangat hati-hati Aliya di atas ranjang, ia berujar lagi dengan lembut, “aku akan mencoba membersihkannya. Kau diam dan tenangkan dirimu ya?”

Pria itu duduk menyamping di tepi ranjang. Ia lalu mengangkat tangan kanannya hendak memindai di atas tubuh Aliya.

Namun belum lagi ia sempat menggerakkan tangannya, Aliya mencengkeram pergelangan pria itu. Membuat pria itu menolehkan kepalanya pada Aliya.

Mata mereka bertemu.

Pria itu bisa melihat jelas raut wajah oval Aliya yang telah basah oleh buliran keringat. Bibir Aliya yang berwarna pink pudar itu bergerak-gerak pelan. Kedua alis yang bak tersulam rapi itu, bertaut. Bola mata hitamnya tak juga diam, seolah tengah mengejar satu pandangan.

Perempuan muda itu kehilangan fokus.

Tangan lembut yang menggenggam pergelangan tangan sang pria, bergerak turun ke telapak dan jemari milik sang pria.

Meski tanpa dikatakan, sang pria paham apa yang diinginkan perempuan yang tengah dalam keadaan terbaring ini.

Pria itu menahan napasnya sesaat. Sebelum semuanya menjadi lebih jauh, ia harus segera menetralisir tubuh Aliya dari pengaruh obat perangsang yang diberikan Rudianto tadi.

“Aku akan membantumu menetralisirnya,” kata pria itu akhirnya, sambil melepaskan dengan lembut tangan Aliya yang menggenggam tangannya. “Cobalah untuk santai, Al. Tarik napasmu dalam dan hembuskan perlahan.”

Tanpa banyak bicara lagi, pria itu kemudian melakukan pemindaian pada tubuh Aliya. Ia mengatur napasnya perlahan, kemudian telapak tangannya mengeluarkan hawa hangat.

Aliya terus memandangi pria yang tengah mencoba melakukan penetralisiran terhadap efek obat itu pada dirinya.

Wajah tampan yang seperti familiar.

Ada perasaan hangat menjalar di dalam tubuh dan hatinya. Mungkin karena hal yang dilakukan pria itu padanya, atau mungkin hal lain.

Namun wajah itu. Wajah itu. Aliya seperti akrab akan kehadirannya. Namun lidahnya kelu. Pikirannya buntu. Ia tak bisa memikirkan hal lain selain menginginkan sentuhan dari pria itu.

Obat ini… Sampai kapan pengaruhnya terhadap diriku? Batin Aliya.

“Kau…,” lirih Aliya berkata. “Apakah aku… mengenalmu?” Nada suara Aliya menurun, seiring melemahnya kesadaran Aliya. Kedua matanya terasa berat.

Rasa gelisah yang tadi sempat ia rasakan perlahan menguap, berganti rasa kantuk yang sangat. Namun ia masih bisa merasakan perasaan hangat yang familiar ini. Kehadiran pria itu benar-benar mampu menenangkan hatinya.

Lalu perasaan bahagia ini. Apakah karena ia terselamatkan? Ataukah bahagia karena hal lain? Tapi apa?

Bibir pria itu bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Namun tak satu kata pun terdengar oleh Aliya. Pandangannya mengabur.

Kedua mata Aliya mengerjap lemah, namun bibirnya bergerak pelan.  

“Elang… Kau kah itu?” desisnya sebelum akhirnya semuanya benar-benar gelap bagi Aliya.

* * *

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rifa atul Mahmudah
Cant wait to read next chapter
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status