Tangan kanan pria bertopi itu lalu terangkat di depan wajah Rudianto yang tergagap.
Ia lalu berkata “dan mulai detik ini kamu akan takut pada Aliya dan selalu menghindarinya. Kau juga akan lupa tentang hari ini, seolah hari ini tidak pernah terjadi dalam hidupmu.”
Kedua mata Rudianto terus menatap ke arah tangan pria itu tanpa berkedip.
“Tidur,” kata pria bertopi itu lagi sambil menjentikkan jarinya. Sedetik kemudian tubuh Rudianto ambruk dengan kedua mata terpejam rapat.
Pria bertopi itu lalu menghela napas dan berdiri.
“Orang seperti kamu sungguh tidak layak dihormati di kota ini. Kau akan rasakan seperti apa menjadi gelandangan besok,” ujarnya lagi pelan, sebelum berbalik dan kembali melangkah ke arah Aliya.
Dengan cepat ia membuka tali yang mengikat Aliya. Ketika ikatan terakhir terlepas, tangannya telah sigap menangkap tubuh Aliya yang langsung terkulai ke sisi.
Pria itu mengangkat tubuh Aliya dengan kedua lengannya dengan sangat hati-hati.
“Mmh…” Erangan halus terdengar dari mulut Aliya saat tubuhnya sedikit terguncang.
“Al...” panggil pria itu lembut.
Alih-alih membuka matanya, Aliya malah melingkarkan kedua tangannya ke leher pria tersebut. Suara-suara tak jelas keluar dari bibirnya. Ia menggumamkan sesuatu.
“Al?”
“Aroma.. mu…” suara serak dan lirih Aliya lalu terdengar. “Wangi sekali… Benar- benar enak…” Aliya menyusupkan kepalanya ke leher pria bertopi itu.
“Al… Emh,” pria itu sedikit meringis lalu mengatupkan bibirnya rapat. Alisnya sedikit berkerut. Aliya telah menggigit dengan kencang lehernya.
“Sentuh… aku…” rengek Aliya masih dengan suara serak dan lirihnya.
Aliya membuka matanya perlahan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali membuat bulu mata lentiknya bergerak-gerak naik turun. Pandangannya lalu naik ke arah wajah pria yang membopongnya itu.
“Kau…” Tangan Aliya menarik lepas topi yang dikenakan oleh pria itu.
Seraut wajah dengan rahang tegas dan kokoh, kini terlihat oleh Aliya. Alis cukup tebal menaungi kedua mata jernihnya. Hidung mancung terpahat serasi diatas bibir tipis yang terbentuk indah, tampak begitu jelas di mata Aliya yang memandangnya dari arah samping kiri.
Sedikit jambang tebal di sisi telinganya, mempertegas garis aristokrat pria itu. Dan entah mengapa, Aliya merasa yakin, jika pria itu tersenyum akan tampak segaris lesung di pipi kirinya.
“Kau… Ganteng…”
Aliya sangat ingin menyebut nama pria itu. Namun pikirannya tengah kacau saat ini. Seluruh tubuhnya terasa gerah dan mendorong dirinya untuk bergerak gelisah.
Tangan kiri yang memegangi ujung topi milik pria itu, ia ayunkan hingga topi-pun terlempar. Lalu tangannya kini bergerak membelai pipi sang pria.
“Aku… ah, aku…” Aliya mendesah lirih. Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan dirinya namun tubuh serta lidahnya tidak tampak hendak berkompromi.
“Kau diberi obat, Al,” ujar pria itu pelan. “Sebentar.” Dengan Aliya masih dalam bopongannya, ia melangkah ke tempat tidur yang ada dalam ruangan itu.
Meletakkan dengan sangat hati-hati Aliya di atas ranjang, ia berujar lagi dengan lembut, “aku akan mencoba membersihkannya. Kau diam dan tenangkan dirimu ya?”
Pria itu duduk menyamping di tepi ranjang. Ia lalu mengangkat tangan kanannya hendak memindai di atas tubuh Aliya.
Namun belum lagi ia sempat menggerakkan tangannya, Aliya mencengkeram pergelangan pria itu. Membuat pria itu menolehkan kepalanya pada Aliya.
Mata mereka bertemu.
Pria itu bisa melihat jelas raut wajah oval Aliya yang telah basah oleh buliran keringat. Bibir Aliya yang berwarna pink pudar itu bergerak-gerak pelan. Kedua alis yang bak tersulam rapi itu, bertaut. Bola mata hitamnya tak juga diam, seolah tengah mengejar satu pandangan.
Perempuan muda itu kehilangan fokus.
Tangan lembut yang menggenggam pergelangan tangan sang pria, bergerak turun ke telapak dan jemari milik sang pria.
Meski tanpa dikatakan, sang pria paham apa yang diinginkan perempuan yang tengah dalam keadaan terbaring ini.
Pria itu menahan napasnya sesaat. Sebelum semuanya menjadi lebih jauh, ia harus segera menetralisir tubuh Aliya dari pengaruh obat perangsang yang diberikan Rudianto tadi.
“Aku akan membantumu menetralisirnya,” kata pria itu akhirnya, sambil melepaskan dengan lembut tangan Aliya yang menggenggam tangannya. “Cobalah untuk santai, Al. Tarik napasmu dalam dan hembuskan perlahan.”
Tanpa banyak bicara lagi, pria itu kemudian melakukan pemindaian pada tubuh Aliya. Ia mengatur napasnya perlahan, kemudian telapak tangannya mengeluarkan hawa hangat.
Aliya terus memandangi pria yang tengah mencoba melakukan penetralisiran terhadap efek obat itu pada dirinya.
Wajah tampan yang seperti familiar.
Ada perasaan hangat menjalar di dalam tubuh dan hatinya. Mungkin karena hal yang dilakukan pria itu padanya, atau mungkin hal lain.
Namun wajah itu. Wajah itu. Aliya seperti akrab akan kehadirannya. Namun lidahnya kelu. Pikirannya buntu. Ia tak bisa memikirkan hal lain selain menginginkan sentuhan dari pria itu.
Obat ini… Sampai kapan pengaruhnya terhadap diriku? Batin Aliya.
“Kau…,” lirih Aliya berkata. “Apakah aku… mengenalmu?” Nada suara Aliya menurun, seiring melemahnya kesadaran Aliya. Kedua matanya terasa berat.
Rasa gelisah yang tadi sempat ia rasakan perlahan menguap, berganti rasa kantuk yang sangat. Namun ia masih bisa merasakan perasaan hangat yang familiar ini. Kehadiran pria itu benar-benar mampu menenangkan hatinya.
Lalu perasaan bahagia ini. Apakah karena ia terselamatkan? Ataukah bahagia karena hal lain? Tapi apa?
Bibir pria itu bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Namun tak satu kata pun terdengar oleh Aliya. Pandangannya mengabur.
Kedua mata Aliya mengerjap lemah, namun bibirnya bergerak pelan.
“Elang… Kau kah itu?” desisnya sebelum akhirnya semuanya benar-benar gelap bagi Aliya.
* * *
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah