“Kalian siapa??! Lepas!!”
“Lepaskan aku!!!” Seorang perempuan muda berteriak sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri dari cengkeraman kuat dua laki-laki di kiri kanannya.
Namun tak satupun dari dua laki-laki berbadan kekar itu menghiraukan rontaan perempuan muda yang mereka seret paksa masuk ke dalam sebuah ruangan.
Pintu ruangan itu terbuka oleh laki-laki lain yang berjaga di depan pintu. Dua laki-laki itu terus menyeret perempuan itu masuk dan mendudukkannya di sebuah kursi kayu.
Satu laki-laki memegang kedua tangan perempuan itu, sementara laki-laki lainnya mengambil gulungan tali yang ada di atas meja tak jauh dari kursi tersebut.
Dengan cepat dan cekatan, laki-laki itu mengikat tubuh sang perempuan dari atas hingga kaki. Tidak menyisakan celah bagi sang perempuan untuk bergerak, meskipun kaki sang perempuan sempat menendang dan melakukan usaha untuk berdiri.
Setelah memastikan sekali lagi bahwa perempuan itu tidak mungkin melepaskan diri, kedua laki-laki tersebut meninggalkan ruangan dengan cepat.
Pintu pun tertutup.
Perempuan muda itu tersengal. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Ia lalu membuka matanya dan melihat ke sekeliling.
‘Ini sebuah kamar tidur.’
Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi. Tapi yang berhasil ia ingat hanyalah bahwa ia pulang dari bekerja, saat di parkiran seseorang membekap mulutnya. Lalu semuanya gelap. Saat sadar, ia tengah diseret menuju kamar ini.
‘Siapa mereka? Mau apa mereka?’ Batin perempuan itu.
Belum lagi pertanyaan-pertanyaan lain melintas di benaknya, pintu itu terbuka kembali.
Suara langkah kaki terdengar masuk. Tampak oleh perempuan itu, sosok laki-laki berbadan tambun dengan wajah bulat dan mata sedikit tertarik ke atas.
“Ah, akhirnya…. Nona Aliya…” ujar laki-laki tambun itu sambil kedua tangannya saling mengusap.
Perempuan terikat yang dipanggil Aliya itu, menyipitkan matanya. Mencoba mengenali lelaki tambun yang kini tengah berjalan mendekati dirinya.
“A-anda… Pak Rudianto?” Kening perempuan bernama Aliya itu berkerut. Ia telah mengenali lelaki tambun di depannya.
Beberapa hari lalu lelaki tersebut bertamu ke rumahnya. Ia adalah teman Bisma, suaminya. Bisma memang memperkenalkan tamu itu padanya.
“Ah, kamu ingat rupanya. Baguslah. Saya tak perlu repot-repot memperkenalkan diri saya lagi,” kekeh Rudianto, sang lelaki tambun itu.
“Anda adalah teman Bisma bukan? Tolong lepaskan saya, Pak. Bisma pasti sekarang kebingungan mencari saya. Saya…”
“Bisma memang teman saya,” potong Rudianto. “Lebih tepatnya, teman bisnis. Kesepakatan antara kami berdua adalah dirimu, Nona Aliya.”
“Maksud Bapak apa?” Mata Aliya berkedut. Dadanya mulai berdetak lebih cepat.
“Bisma membutuhkan uang dalam jumlah besar. Dan saya membutuhkan penghangat untuk teman tidur saya mulai malam ini. Jadi…”
“Apa?!” Kedua bola mata Aliya membulat.
“Ya Nona Aliya. Saya sudah tertarik padamu sejak melihatmu waktu itu dan kebetulan Bisma membutuhkan pertolongan saya berupa sejumlah uang,” mata Rudianto terus mengarah pada Aliya lalu melanjutkan “maka ini adalah bisnis yang saling menguntungkan…”
“Jangan bercanda!!” pekik Aliya. “Kang Bisma ga mungkin seperti itu! Ini akal-akalan anda! Anda akan saya laporkan pada yang berwajib!!”
“Ohoho… Nona, kamu sangat naif. Bagaimana kamu berencana melepaskan diri dari sini dan melapor?” tanya Rudianto lagi sambil terus mendekat dan menggosokkan tangannya. Kedua matanya menyorotkan pandangan cabul yang menjijikkan.
“Jangan mendekat!!” seru Aliya. Ia melotot mengancam lelaki itu agar menghentikan langkah dan tak mendekat padanya.
Wajah bak binatang lapar itu tampak kian mendekat ke wajah Aliya.
‘Jika ini semua memang perbuatanmu, biadab kau Bisma! Biadab kau!’ jerit Aliya dalam hati.
“Arman!!” Pria tambun itu memanggil kencang.
Pintu terbuka lebar dan satu orang bertubuh tinggi besar dengan setelan pakaian serba hitam, masuk dengan setengah berlari.
“Ya Bos?” ujarnya begitu sampai di belakang Rudianto.
“Keluarkan obat itu, minumkan ke dia!” perintah Rudianto.
Anak buah laki-laki tambun yang bernama Arman itu segera mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya dan menyerahkan pada Rudianto. Ia lalu memegangi dengan kuat kepala Aliya.
Aliya menggeleng mencoba menghindar. Namun apalah daya, dengan gerakan terbatas, ia hanya bisa melakukan perlawanan seadanya.
“Lepas!! Mau apa kalian?!” Aliya hanya bisa berteriak putus asa.
“Tolong!! Tolooongg!!” Meskipun jauh dalam hati ia tahu itu akan percuma, namun ia tetap melakukannya. Ia hanya bisa berteriak meminta tolong, dengan secuil harapan yang ia tahu mungkin hampir mustahil.
“Tolooongg!!”
Terdengar kekehan Rudianto. Dengan nada suara mengejek, ia lalu berkata “teriaklah sepuasmu Sayang. Kau pikir akan ada yang bisa menolongmu disini?”
“Cepat buka mulut dia!” katanya pada laki-laki bertubuh besar bernama Arman itu.
Arman, pengawal laki-laki tambun itu, menurunkan tangan kanannya ke dagu Aliya dan menarik rahang bawah Aliya dengan kuat. Tangan kirinya yang berada di atas bibir dan hidung Aliya menekan hidung Aliya.
Rudianto segera membuka tutup botol obat yang ada di tangannya lalu mengulurkan obat itu dan menuangkannya ke dalam mulut Aliya.
“Cepat tutup mulutnya,” perintah Rudianto pada Arman.
Arman segera mendorong rahang bawah Aliya ke atas dan menahan kuat-kuat. Setengah menarik kepala Aliya ke atas, hingga Aliya terbatuk dengan mulut tertutup.
Aliya mengerjapkan mata. Titik air tampak di kedua sudut matanya. Ia tidak ingin menangis, namun rasa sakit di tenggorokan dan kerongkongannya sama sekali tak mampu mengalahkan rasa sakit di hatinya.
‘Tega kau, Bisma… . Sungguh tega kau!’ Aliya menjerit dalam hati.
Matanya kembali mengerjap. Cairan yang terasa sedikit pahit itu telah mengalir masuk sempurna. Tanpa bisa ia muntahkan.
Sungguh tak pernah ada dalam bayangannya, suaminya akan setega ini kepadanya. Segala kekurangan yang suaminya miliki, ia telah maklumi dengan lapang dada.
Namun menjualnya pada laki-laki lain?
Bisma telah menutup sempurna celah bagi dirinya untuk memaklumi, memaafkan, apalagi menerima begitu saja.
“Lepaskan aku,” ucap Aliya begitu Arman melepaskan kedua tangannya dari wajah Aliya. Bola mata Aliya menatap menghiba pada Rudianto. “Tolong… .”
Bukannya menunjukkan rasa simpati, lelaki tambun di hadapan Aliya itu malah terkekeh panjang. Sorot matanya berkilat seolah telah menunggu buruan yang sebentar lagi siap dimangsa.
Meskipun kini Aliya mulai merasakan gelenyar aneh di tubuhnya, ia tetap memberikan tatapan ganasnya pada lelaki tambun itu. “Jangan bermimpi untuk menyentuhku, Pria Tua!!”
“Ah, kau salah, Nona. Aku tak perlu bermimpi untuk menyentuhmu. Ini kenyataan,” kekeh Rudianto lagi. Ia lalu menjulurkan tangannya membelai kepala Aliya.
Aliya hendak melawan, namun ia merasakan rasa panas dari dalam tubuhnya. Rasa panas itu menjalar ke seluruh tubuh begitu cepat. Bulu-bulu halus di sekitar tengkuk, lengan dan kaki Aliya, meremang.
Ia merasakan gerah. Aliya menggerakkan tubuhnya.
Tangan Rudianto yang mengelus kepala Aliya tadi, membuatnya bergerak gelisah. Ia pun mulai kehilangan fokus.
Lemas.
Lelaki tambun itu kini menurunkan tubuhnya, membungkuk. Mukanya ia dekatkan pada muka Aliya. Aliya diam menatap kosong pada lelaki yang wajahnya telah dipenuhi nafsu itu.
Hanya beberapa senti saja. Hanya beberapa detik lagi saja.
Aliya telah pasrah.
Ia memejamkan matanya masih dengan beberapa tetes sisa airmata sebelumnya. Menunggu tragedi ini terjadi pada dirinya, tanpa harus melihatnya.
BRAKK!!
Pintu terbuka paksa dengan lebar.
“Apa yang…”
Duagg!!
Belum sempat Rudianto menyelesaikan kalimatnya, sebuah tendangan menghempaskan tubuh tambunnya hingga terjungkal ke samping.
“Bos!!” Arman langsung berseru kaget.
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah